Belajar Nasionalisme Bung Hatta
Oleh: Dr. H. Sutejo, M.Hum.
Hari ini, adalah hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bung Hatta adalah salah satu proklamator bangsa yang berduet dengan Bung Karno. Merenungkan nasionalisme Bung Hatta adalah ruang belajar sepanjang massa.
Nasionalisme yang ditawarkan Bung Hatta, pertama-tama, tampaknya adalah “nasionalisme literasi”. Bangsa yang besar, tentunya, yang menjadikan literasi sebagai panglima perubahan dan peradaban. Tak mengherankan, begitu dahsyatnya pesan filosofis Bung Hatta untuk mencintai buku. “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” Begitulah kata beliau. “Selama dengan buku, kalian boleh memenjarakanku di mana saja, karena dengan buku, aku merasa bebas.” Literasi yang handal akan menciptakan kebudayaan yang handal pula.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengagungkan buku, bukan bangunan fisik. Tersebab, buku adalah media ampuh untuk membangun kualitas SDM bangsa yang berdaya guna. Manusia unggul yang mampu mempertaruhkan bangsanya untuk tegak berdiri diantara bangsa lain. Bangsa yang mengedepankan budaya baca sehingga melek budaya itu akan menjadi kunci utamanya.
“Membaca tanpa merenungkan adalah bagaikan makan tanpa dicerna.” Begitulah selanjutnya pesan Bung Hatta. Sebagai pembaca yang baik, kita dituntut memiliki permenungan tinggi hingga menemukan saripati kehidupan untuk membangun kebudayaan bangsa. Membangun humanitas yang berkadilan, demokratis, dan berkeadaban.
Karakter besar yang diimpikan dari bangsa literat, dengan doyan baca-tulis adalah menjadi bangsa yang jujur dan mampu membela negerinya dari ancaman siapa pun yang akan menguasai. Bukan menyerahkan bangsanya kepada bangsa yang lain, baik langsung maupun tidak langsung. “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur sulit diperbaiki.” Kejujuran, karena itu, bisa jadi adalah salah satu saripati moralitas karakter di balik bangsa yang literat. Jiwa nasionalisme yang paling dalam. Bukankah cinta bangsa akan luntur tanpa kejujuran?
***
Menjadi warga Negara Indonesia tentu akan mengesankan jika dibalut oleh kebanggaan. “Hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatanku.” Begitulah pengakuan Bung Hatta. Begitu indah dan menggugah. Mari direnungkan perbuatan-perbuatan apakah yang dapat disumbangkan untuk tegaknya bangsa besar ini, rumah kebinekaan yang luar biasa dibandingkan bangsa lain di dunia.
Pesan Bung Hatta yang tak kalah mengesankan adalah bagaimana kita mampu menjadi bangsa dengan kebudayaan yang kokoh. “Kebudayaan tidak dapat dipertahankan saja, kita harus berusaha mengubah dan memajukan, oleh karena kebudayaan sebagai kultur, sebagai barang yang tumbuh, dapat hilang dan bisa maju.” Di sinilah, maka kebudayaan wajib dirawat, ditumbuhkan, dan diperjuangkan agar mencapai maqom terindahnya. Salah satu akar kebudayaan yang manjur adalah kokohnya akar literasi suatu bangsa. Bangsa Jepang adalah contoh paling gemilang dalam membangun literasi nasionalisme berbasis budaya lokal bangsanya.
Marilah, belajar dari pahlawan bangsa. Memiliki jiwa-jiwa berkorban untuk kemanusiaan, untuk bangsa, untuk kehidupan, dan untuk kebaikan adalah jejiwa kepahlawan yang penting untuk ditumbuhkembangkan. Ingat pesan Bung Hatta berikut: “Pahlawan yang setia itu berkorban, bukan buat dikenal namanya, tetapi semata-mata membela cita-cita.”
Para pahlawan bangsa ini, Negara ini, telah begitu banyak berkorban untuk kemerdekaan. Generasi selanjutnya –termasuk kita— tentu tinggallah mengisi dan memerjuangkan untuk tidak tertinggal dari bangsa lain. Bangsa yang memiliki cita-cita besar, bangsa unggul sebagaimana dipesankan Presiden RI Joko Widodo dalam pidatonya di depan sidang MPR 2019 kemarin. Jargon Presiden dalam judul pidatonya, “Berkarya, Bergerak, dan Berjuang untuk Cita-cita Bersama.”
Ingat pesan Bung Hatta, “Untuk mencapai cita-cita yang tinggi, manusia (pahlawan) melepaskan nyawanya pada tiang gantungan, mati dalam pembuangan, tetapi senantiasa menyimpan dalam hatinya luka wajah tanah air yang duka.” Seakan menitipkan pesan derita para pahlawan untuk dibaca, dinikmati, diinternalisasi, dan direfleksikan kembali hero juangnya sehingga tak terlupakan oleh generasi. Sehingga menjadi dinamo besar yang menggerakkan dan mengobarkan semangat nasionalisme.
Dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa yang terjaga, maka persatuan dan kesatuan adalah modal berharga. Berbeda dalam pilihan, mestinya tetap mementingkan kepentingan kemajuan dan kekohonan Negara. “Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.” Begitulah, seakan-akan, Bung Hatta menyampaikannya dengan wanti-wanti.
Nasionalisme yang kokoh mestinya berdiri di atas kaki sejarah. Kaki-kaki pengalaman masa lalu yang dijadikan titik tolak, titik gerak yang memberikan arah dan petunjuk mengisi kemerdekaan. “Biarlah pengalaman masa lalu kita menjadi tonggak petunjuk, dan bukan tonggak yang membelenggu kita.” Begitulah Bung Hatta, sejarah tak boleh membelenggu. Sebaliknya, adalah tonggak yang penting dirawat untuk mengukur gerak.
Di sinilah, maka penting bagaimana bangsa ini memikirkan kesinambungan dinamika negeri untuk tidak terberai. Tugas terberat seorang pemimpin, kata Bung Hatta adalah menyiapkan pengganti yang mampu mengawal masa depan bangsanya. Bukan sebaliknya, kita suka berebut kuasa –sama sekali tidak memikirkan—pengganti yang memiliki jiwa kenegaraan yang handal. Bukankah Bung Hatta pernah berpesan: “Pemimpin sejati adalah pemimpin yang sanggup menyediakan penggantinya.”
***
Untuk itu, pendidikan kita –khususnya perguruan tinggi (PT)—tentu memanggul tugas berat, tugas yang tidak ringan. Membangun Negara dan menyiapkan SDM yang berkualitas, menjadikan generasi dengan mentalitas yang jujur dan berkarakter. Ingat bagaimana Bung Hatta memesankan bahwa “Tak ada harta pusaka yang sama berharganya dengan kejujuran.” Kejujuran bagi bangsa ini, karena itu, wajib dikawal dan diperjuangkan. Khususnya, pendidikan adalah pilar besar yang dapat berkontribusi untuk mewujudkannya. Baik itu pendidikan formal, nonformal, dan informal. Peta jalan pendidikan ini wajib kokoh adanya.
PT tentu akan sangat penting memiliki filosofi yang jelas. Bukan membebek-bebek, apalagi membungkuk-bungkuk pada kapitalisasi kehidupan yang sama sekali tidak mendewasakannya. PT wajib menjadi teladan perubahan. Teladan filosofi hidup yang bisa mengubah pikiran generasi. “Filosofi meluaskan pandangan serta mempertajam pikiran.” Begitulah pesan Bung Hatta. Hanya dengan filosofi (apa, bagaimana, dan mengapa) misalnya berkiprah di PT tentu akan menjadi pemandu kesadaran yang setiap saat menarik untuk terus direnungkan.
Mari kita menguatkan filosofi gerakan dalam mengisi kemerdekaan dengan karakter masing-masing. Sebab, filosofi yang diambil suatu PT misalnya, akan memandu mengarahkan ke mana generasi yang ingin diciptakannya. Jangan mempersoalkan perbedaan filosofi, tetapi mari jadikan perbedaan adalah kekuatan untuk saling melengkapi. Berkarya dan berbuat untuk kemajuan bersama.
Terakhir, mari kita renungkan pesan Bung Hatta berkaitan dengan filosofi berikut. Filosofi untuk membangun dan menumbuhkembangkan nasionalisme generasi dalam gerak-laku yang berbeda tetapi berorentasi pada visi cita yang sama. “Apa sebenarnya yang disebut filosofi, lebih baik jangan dipersoalkan pada permulaan menempuhnya. Akan hilang jalan nanti karena banyak ragam dan paham. Tiap-tiap ahli berlainan pendapatnya tentang apa yang dikatakan filosofi. Tiap-tiap filosofi pun lain-lain pula tujuannya.” []
Sutejo adalah
Ketua STKIP PGRI Ponorogo,
Ketua Litbang PCNU Ponorogo,
Anggota Dewan Pakar PC ISNU Ponorogo,
Ketua Bidang Pengembangan SDM PGRI kabupaten Ponorogo,
Anggota Dewan Pakar PW LTNU Jawa Timur.
2 Komentar pada Belajar Nasionalisme Bung Hatta