Generasi Literasi, Generasi Revolusi
“JIKA engkau menemukan buku tertumpuk rapi, maka ‘mungkin’ saja ada sebuah peradaban yang terpenjara. Culiklah sebab engkau sedang mencoba menyelamatkan peradaban.” Berikut adalah kutipan dalam buku Anak-Anak Revolusi karya Budiman Sujatmiko, seorang aktivis dan politisi. Kutipan tersebut bukan ditujukkan untuk melegitimasi orang yang mengambil buku tanpa izin, melainkan menunjukkan bagaimana perlakuan mayoritas orang terhadap buku, termasuk orang Indonesia. Buku adalah sumber dari segala sumber pengetahuan untuk mengembangkan maupun merevolusi peradaban yang seharusnya dibaca dan dipelajari namun yang sering terjadi hanya dibiarkan tertumpuk rapi. Hakikat revolusi menurut KBBI diungkapkan sebagai perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang.
Terkadang orang tidak menyadari bahwa sebenarnya ada pintu revolusi menuju peradaban yang lebih baik, di mana pintu itu masih terkunci di balik sampul buku penuh debu. Debu yang menutupi itu harus dibersihkan lalu mulai membuka lembar demi lembarnya, maka akan terkuaklah betapa luar biasanya pengetahuan yang dapat diperoleh dari buku yang dianggap tidak berharga. Bacalah, ini sama artinya kita sedang mencoba menyelamatkan peradaban dari penjara yang mengerikan.
Generasi literasi adalah generasi revolusi, karena ada kemungkinan besar dalam ruang gerak literasi itulah kita dapat merekayasa zaman melalui gagasan yang kita tulis.
Melangkah untuk menyelamatkan dan mengubah peradaban dapatlah dilakukan dengan cara sederhana, misalnya membudayakan literasi. Literasi, memang belum terlalu populer di telinga kita, apalagi masyarakat seperti Ponorogo. Literasi merupakan kombinasi dari kegiatan membaca dan menulis. Membaca dan menulis adalah dua kemampuan dasar yang menjadi cikal bakal lahirnya peradaban manusia sampai sekarang. Pada awalnya manusia berkomunikasi menggunakan bahasa lisan atau isyarat yang hanya bersifat sementara, namun seiring berjalannya waktu manusia mulai berfikir agar komunikasi itu bersifat permanen, yaitu melalui tulisan. Tulisan hanya bisa dimengerti oleh pembuatnya. Untuk itu lahirlah kesepakatan cara memahami komunikasi tulisan yaitu bagaimana cara membacanya agar semua orang paham. Sejarah ini menunjukkan betapa pentingnya literasi untuk kemajuan peradaban.
Literasi telah menjadi budaya manusia dan salah satu kemampuan dasar sebagai gerbang untuk memahami berbagai ilmu. Oleh karena itu, saat ini literasi menjadi salah satu parameter kemajuan suatu bangsa. Melalui literasi berarti berkaitan dengan melek aksara, seberapa besar tingkat melek aksara suatu bangsa tentunya akan me munculkan kesadaran untuk mengenyam pendidikan. Pendidikan yang akan meningkatkan kemajuan bangsa diberbagai bidang, seperti ekonomi dan kesejahteraan.
Seperti negara Jepang yang telah membudayakan literasi dan hasilnya tentu tak diragukan lagi. Jepang menjadi negara maju yang mempunyai segudang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat disejajarkan dengan negara-negara di Eropa. Kebiasaan membaca orang Jepang sudah dimulai sejak dini, jadi tidak mengherankan lagi kalau mereka selalu membawa buku ke mana saja dan membacanya di mana saja ketika ada waktu luang. Lalu, bagaimanakah dengan masyarakat Indonesia?
Sebenarnya budaya literasi di Indonesia sudah ada, akan tetapi generasi kita belum mempunyai kesadaran berliterasi. Seperti yang diungkapkan Ra M.Faizi, seorang penyair dari Sumenep saat menjadi pemateri di Sekolah Literasi Gratis STKIP PGRI Ponorogo (Minggu, 4/9/2016) bahwa generasi kita kurang bergairah dalam budaya literasi karena tidak diasah langsung, mereka cenderung malas membaca dan selalu mengeluh. Pola pikir yang demikian harus dibuang jauh-jauh dan diganti menjadi pola pikir generasi literasi, dimana kegiatan membaca dan menulis menjadi makanan sehari-hari.
Campur tangan pemerintah juga sangat mempengaruhi dalam suksesnya penerapan literasi di Indonesia. Pemerintah harus terjun langsung ke tengah generasi dan melakukan kerja nyata. Sebagaimana program yang telah dicanangkan oleh mantan Mendikbud, Anis Baswedan bahwa semua pelajar di Indonesia diwajibkan membaca buku nonakademik selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Jika program ini benar-benar diterapkan, maka budaya literasi di Indonesia akan semakin maju. Disamping program tersebut pemerintah juga harus menyediakan fasilitas yang mendukung kegiatan literasi. Misalnya, perpustakaan yang dilengkapi dengan berbagai jenis buku.
Lingkungan keluarga juga harus turut serta dalam gerakan literasi, terutama orang tua. Semestinya orang tua memberikan contoh untuk selalu membaca dan mencintai buku. Secara tidak langsung anak-anak akan mengikuti contoh tersebut. Jika kebiasaan ini terus berlangsung, maka budaya literasi akan tertanam. Semoga hal ini menjadi jalan untuk gerenasi literasi Indonesia, generasi yang merevolusi bangsa untuk menuju Indonesia sejahtera. Meskipun tidak terjadi secara instan namun lama kelamaan akan terlihat perubahannya melalui proses yang ada.
Penyair M. Faizi menyebutkan, “membaca dan menulis tidak seperti makan ketika lapar dan minum ketika haus.” Maksudnya membaca dan menulis tidak berdampak langsung terhadap kehidupan, tidak seperti ketika lapar dan haus, apabila sudah makan dan minum akan terasa kenyang dan dahagapun hilang. Lain halnya dengan membaca dan menulis, hal tersebut tidak berdampak langsung melainkan memerlukan proses yang panjang. Nikmati saja prosesnya.
Generasi literasi adalah generasi revolusi, karena ada kemungkinan besar dalam ruang gerak literasi itulah kita dapat merekayasa zaman melalui gagasan yang kita tulis. Gagasan untuk merevolusi peradaban negeri ini sehingga menjadi negeri yang lebih maju. Satria Dharma, seorang Konsultan Budaya Literasi Kemendikbud sekaligus pendiri IGI (Ikatan Guru Indonesia) juga mengatakan bahwa budaya literasi adalah kunci kemajuan suatu bangsa. Jadi, masih ragukah kita untuk membudayakan literasi?. (*)
Penulis: Iin Rismawati, Mahasiswa PBSI 2015 STKIP PGRI Ponorogo, Panitia SLG STKIP PGRI Ponorogo
Sumber: Jawa Pos, Radar Ponorogo edisi Sabtu, 17 September 2016