Jihat Literasi
Seorang ulama Islam terkemuka dunia, Yusuf Qardhawi, dalam kitab Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihad Menurut Al-Quran dan Sunnah yang diterbitkan Mizan setebal 1260 halaman, menuliskan bahwa jihad masyarakat sipil itu dapat meliputi: (i) jihad ilmu, (ii) jihad sosial, (iii) jihad ekonomi, (iv) jihad pendidikan, (v) jihad kesehatan, dan (vi) jihad lingkungan (2010:147-155). Untuk mewujudkan jihad sipil itu, maka jihad literasi –sungguh menjadi—alternatif yang brilian.
Profesor Djoko Saryono, ketika menjadi pemateri di Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP PGRI Ponorogo, menegaskan bahwa literasi bagi bangsa ini merupakan kewajiban, keharusan. Literasi meliputi filosofi belajar yang sangat luas, mendalam, dan futuristik. Dia menunjukkan bahwa peradaban dunia, bermuara dari kekuatan dan kedahsyatan literasi. Yunani, Romawi, India, Cina, dan dunia Islam dalam imperium pertama adalah bukti otentik yang tak terbantahkan.
Literasi hakikatnya adalah sebuah kegiatan kebermaknaan, yang akan memahamkan, menyadarkan, dan memaknakan pelakunya dalam kehidupan. Baik keluarga, masyarakat, dan bangsanya. Jika kita ingin maju, maka kita harus literatif. Melek baca, melek tulis, peka sosial, sensitif ilmu, dan cerdas hidup.
Dari keenam jihad yang disinggung Qardhawi, jelas membutuhkan kemampuan literatif itu. Semakin literatif, maka akan berpeluang untuk melakukan jihad sipil. Bukankah puncak literasi adalah kebermaknaan atas segala aspek hidup? Sebuah kemampuan mensinergiskan ilmu pengetahuan untuk memberdayakan hidup.
Jika mengamati kehidupan masyarakat yang tidak berbentuk, misalnya, sungguh ini adalah cermin masyarakat buta literasi. Kenakalan remaja, penyimpangan sosial, kejahatan, korupsi, dan dekadensi moral secara umum; menggambarkan lemahnya literasi ilmu, terlebih literasi teks spiritualitas mereka. Dengan demikian, tentu, penting untuk memanggil kembali akan pentingnya melakukan jihad literasi.
***
Di sinilah, menarik untuk dikutipkan pandangan Qardhawi, tentang pentingnya melakukan salah satu jenis jihad sehingga maslahah bagi umat manusia. Yakni, jihad melawan hawa nafsu, yang diklasifikasikan menjadi empat tingkatan: (i) melakukan jihad terhadap diri sendiri untuk mempelajari kebaikan, petunjuk, dan agama yang benar; (ii) jihad terhadap diri untuk mengamalkan ilmu yang sudah dipelajari; (iii) berjihad terhadap diri untuk mendakwahkan dan mengajarkan ilmu kepada orang-orang yang belum mengetahui; dan (iv) berjihad dengan kesabaran ketika mengalami kesulitan dan siksaan dari makhluk dalam berdakwah di jalan Allah dan menanggung semuanya dengan hanya mengharapkan ridha Allah (2010:82).
Keempat tingkatan jihad terhadap hawa nafsu ini –sesungguhnya—berkaitan dengan pentingnya pencarian ilmu di satu sisi dan keberkahannya pada sisi yang lain. Dalam mewujudkan derajad keilmuan, maka –mau tidak mau—membutuhkan kecerdasan berliterasi. Dengan demikian, apa yang kita lakukan sesungguhnya merupakan jihad literasi. Sebuah kerelaan berkorban, baik jiwa, raga, dan material untuk mewujudkan amal keilmuan.
Siapakah yang wajib melakukan jihad literasi? Siapapun kita: orang tua, masyarakat, dan terlebih kaum terdidik. Bukankah jihad adalah kewajiban? Maka, orang tua wajib memfasilitasi anak-anak dengan berbagai buku dan media lainnya agar peka dan menyatu dengan sumber literasi. Masyarakat memberikan ruang-ruang literasi (baik teks maupun non teks) sehingga lahirkan masyarakat yang literatif. Apalagi, kaum terdidik, wajib mengorbankan dirinya secara istikomah dalam mewujudkan anak-anak generasi yang melek literasi. Jika tidak, akan menjadi dosa profesi yang akan ditagihkan di kemudian waktu.
Karena itu, mari kita budayakan jihad literasi di segala lapisan kehidupan! Dengan seratus persen keyakinan, istikomah melakoni, dan dengan beragam dan derajat kemampuan yang kita miliki. []
Penulis: Dr. Sutejo, M.Hum.
Doktor pendidikan, Ketua STKIP PGRI Ponorogo.
*Artikel terkait telah dipublikasikan Jawa Pos Radar Ponorogo, Saptember 2016.
Previous