Literasi: Takutkah Guru
Guru, Digugu lan ditiru, semua orang pasti paham bahkan setuju. Guru merupakan panutan maupun teladan bagi siswanya, dalam masyarakat umum seorang guru sangat di hargai, bahkan sebutan melekat ke ranah masyarakat, Pak Guru dan Bu Guru. Tak jarang pula guru (pendidik) selalu dimintakan pendapat akan sebuah masalah, bahkan menjadi seorang teladan dan disegani. Namun, apakah guru cukup menjadi teladan? Dengan pertanyan tersebut perlunya penguat untuk menjadikan guru sejati dan revolusioner. Artinya, yang perlu disoroti di sini juga semangat guru dalam mengemban tugas mulianya.
Tugas dan kewajiban guru telah diatus dalamm UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: (a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis, (b) mempunyai komitmen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan (c) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. UU ini memberikan kepercayaan penuh kepada pendidik agar dapat menciptakan pendidikan yang mempunyai makna, menyenangkan, kreatif dan dinamis bagi peserta didik.
Tidak hanya sebuah kepercayaan yang di berikan pemerintah, akan tetepi tunjangan dan berbagai tunjangan difasilitasi oleh pemerintah. Sertifikasi salah satunya, yang membuat guru semakin berlomba-lomba memperolehnya, berbagai persyaratan dipenuhi mulai dari prsyaratan A-Z. yang salah satunya karya ilmiah, pada kenyataan persyaratan ini merupakan sesuatu yang dijadikan momok mengerikan, Menulis Karya Ilmiah.
Lemahnya budaya menulis di kalangan guru pastinya mempunyai sebab yang jelas, kurang budaya membaca dan litelatur dalam menulis. “menulis itu ibarat kita kencing, kalau kita ingin kecing kita harus minum yang banyak, begitu juga menulis, kita harus banyak-banyak membaca agar kita dapat menulis”, ungkap penyair dari Guluk-guluk Sumenep, yang terkenal dengan sebutan penyair Sandal Jepit, pernyataan yang disampaikan pada Sekolah Literasi Gratis perdana di STKIP PGRI Ponorogo tanggal 04 September 2016.
Rendahnya guru akan budaya membaca dan menulis ini berbanding terbalik dengan kenyataan yang dihadapi maupun dijalankan, seorang guru/pendidik memerintah bahkah memaksa murid untuk membaca dan membaca serta tulis-menulis dengan acaman-acaman yang berbagai cara dan taktik agar siswa gemar baca dan tulis.
Rendahnya budaya literasi (membaca dan menulis) yang dilakukan guru menjadi warisan yang melegenda sepanjang masa, paradigma tempo dulu masih melekat. Buku pegangan yang usang di makan jaman menjadi senjata ampuh dalam proses pembelajaran, padahal kalau kita mau membuka diri (guru) banyak buku/litelatur terbaru untuk menjadikan siswa/murid kita menjadi pembuka dunia dengan tangan mungil yang terampil.
Jika ada pertanyaan yang akan dilontarkan kepada guru, berapa banyak buku yang bapak/ibu guru baca pada setiap bulannya? Berapakah karya tulis yang bapak ibu guru ciptakan dalam satu bulan terakhir? Atau ada pertanyaan berapa kali bapak ibu guru membeli sepatu baru dalam bulan ini?. Pembaca bisa merasa geli jika membayangkan jawabanya.
Selain mengajar, Seorang guru yang mempunyai tugas tambahan yang sangat penting, yaitu membaca dan menulis. Dengan membaca seorang guru dapat menemukan berbagai pengetahuan yang akan menunjang proses pembelajaran, dapat dikatakan juga membaca merupakan sisi tertulis dari bentuk dunia ini, sedangkan menulis yang didasari dari budaya membaca bisa menghasilkan berbagai gagasan yang menarik, untuk mengembang ide yang diciptakan dari proses berpikir. Membaca dan menulis menjadikan otak manusia (guru) bisa menjadi lebih segar dan mempunyai manfaat yang besar. Dalam percakapan penulis dengan Dr. Teguh Wiyono, SP.Og., di salah satu warung kopi di kota Ponorogo menyatakan “Otak manusia jika digunakan untuk berfikir, akan jauh dari penyakit Pikun (lupa ingatan). Karena pada hakikatnya membaca dan menulis (literasi) membuat otak kita berkerja (berfikir)” ungkap beliau.
Seiring dengan perkebangan jaman literasi mulai pudar oleh persepektif global yang kian merajai pikiran penerus bangsa, anak-anak kita lebih senang menonton televisi daripada membaca buku, mereka lebih mencintai gadget dan televisi. Padahal mereka hanya pasif duduk di hadapan televisi, dan asyik bermain gadget tanpa mengenal waktu. Bahkan tak jarang pula guru mengijinkan mereka membawa telephon genggamnya ke sekolah, dengan dalih guru sebagai tempat informasi, padahal hal tersebut sering di salah gunakan oleh siswa: update status di FB, BBM-an, dan sebagainya.
Literasi: STKIP PGRI Ponorogo
Budaya literasi yang berlangsung Negara kita tercinta masih perlu perhatian khusus, perlunya motivasi dan inovasi guna menumbuh kembangkan budaya ini (literasi). Sutejo mengatakan “inti dari sekolah literasi di STKIP PGRI Ponorogo, menumbuh kembangkan budaya menulis dan membaca dengan motivasi dan inovasi dari berbagai penulis yang handal”. Hal tersebut disampaikan pada saat pembukaan sekolah literasi gratis di STKIP PGRI Ponorogo (04 September 2016). Ketua adat literasi di STKIP PGRI Ponorogo, “menambahkan perlunya adanya kemauan yang besar untuk bisa melaksanakan budaya literasi, Pemuda khususnya pendidik/Guru harus bisa memanfaatkan kesempatan yang diadakan oleh STKIP PGRI Ponorogo tentang adanya sekolah literasi gratis ini, karena akan berlangsung selam 1 tahun, pada setiap minggunya, ungkap Doktor alumnus UNESA Surabaya dan DPK IV di STKIP PGRI Ponorogo, yang juga penulis kurang lebih 20 judul buku yang menjadi acuan perkuliahan yang tidak hanya di kota Ponorogo maupun luar Ponorogo. Penumbuhan budaya literasi ini tak hanya menjadi tanggung jawab guru dan pemerintah maupun lembaga pendidikan yang lain. Akan tetapi merupakan tanggungjawab bersama, yang harus terjaga dan upaya sosialisasi secara menyeluruh dan berkesinambungan. Upaya pengenalan budaya literasi di tahap dasar menjadi salah satu solusi. Selain itu, tempat yang menerapkan budaya literasi harus mampu memberi motivasi dan inovasi terhadap lingkungannya untuk membudayakan gerakan membaca dan menulis. Akhir kata: Mari kita jadikan membaca seperti air. Tak akan mampu menghilangkan haus dan dahaga tanpanya.
Penulis: Heru Setiawan, M.Pd.
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo
*Artikel pernah dimuat Jawa Pos Radar Ponorogo, Edisi September 2016.