Mbah Moen dan Nasionalisme
Oleh: Dr. H. Sutejo, M. Hum.
Mbah Moen adalah nama panggilan. Ya, panggilan abrab beliau dari KH. Maimoen Zubair. Harian Kompas (edisi 6/8/2019), paling tidak menerbitkan dua tulisan menarik: (i) Obituari KH Maimoen Zubair: Sang Guru Bangsa itu Telah Pergi (hal.1), dan (ii) opini dari Sekjen PBNU, A. Helmy Faishal Zaini yang berjudul Perginya Ulama Pengawal Pancasila (hal. 6). Sungguh kepergian beliau sangat mengejutkan, meski sebelumnya beliau pernah bercerita kepada para santri jika beliau ingin meninggal pada hari Selasa. Sebab, ayah, kakek, dan buyutnya juga meninggal pada hari Selasa. Ternyata, itu kemudian menjadi wasiat beliau yang terkabulkan. Tanggal 6 Agustus 2019, beliau berpulang ke “langit kesucian”. Tempat kembali segala dzat diperjalankan. Sementara itu, jika kita menengok kelahiran beliau, yakni tanggal 28 Oktober 1928 adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Sumpah Pemuda.
Adapun isi dari Sumpah Pemuda itu adalah “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Tak mengherankan, jika beliau dikenal sebagai ulama besar, sang guru bangsa, yang setia mengawal kebinekaan, pengawal Pancasila. Sungguh, sebuah inspirasi bagi bangsa Indonesia, bukan saja bagi cendekia, kaum terdidik, rakyat, tetapi para birokrat dan pejabat Negara.
Filosofi kelahiran beliau bertepatan dengan Sumpah Pemuda, seakan mentasbiskan sebagai ikon “persatuan-kesatuan” bangsa. Tidak mengherankan, jika sepak terjang, gagasan, pemikiran, dan keteladan beliau –nyaris sebagaimana implementasi—dari hakikat dan pesan Sumpah Pemuda. Salah satunya, tentu adalah “Risalah Sarang” yang menjadi pengingat dan pemantik bangsa Indonesia untuk mengawal kebhenikaan Indonesia.
***
Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, KH Maimun Zubair. Lima bulan yang lalu, pernah menyampaikan orasi kebangsaan pada Apel Kebangsaan “Kita Merah Putih” di Lapangan Pancasila, Simpang Lima, Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (17/3/2019). Mendaras perjalanan beliau, tentu tak bisa diceritakan dalam satu dua tulisan (artikel), tetapi sebuah “buku kehidupan” yang panjang, entah berbatas berapa ribu halaman. Inilah yang diakui Sekjen PBNU, di kolom opini Kompas 6 Agustus 2019, hal. 6.
Beberapa poin yang menarik direnungkan dari opini A. Helmy Faishal Zaini selaku Sekjen PBNU dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, hakikat pesan filosofi makna di balik ‘lita’arafu’. A. Helmy Faishal Zaini sampai mengungkapkan begini, “Luas pengetahuan dan dalamnya keteladanan membuat kita harus bekerja keras untuk menampung samudra ilmu dan teladan yang diwariskannya. Dari Mbah Moen saya mendapatkan ilmu soal makna kata lita’arafu dalam Al-Hujurat: 13, “Ya ayyuhan-nas, inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa, wa jaalnakum syuuban wa qabaila lita’arafu”.
Makna saling mengisi dan bekerja sama jauh lebih progresif dan kontekstual dibandingkan dengan tafsir-tafsir yang berkembang selama ini yang cenderung mengartikan lita’arafu dengan hanya sebatas saling mengenal. Saling mengisi adalah kata kunci yang ingin dikemukakan Mbah Moen. Indonesia yang berdiri di atas bangunan kebinekaan dan keragaman suku, bangsa, budaya harus ditopang kesadaran individunya untuk saling mengisi dan bekerja sama satu dengan yang lainnya. Saya kemudian merenungkan pesan filosofis kebinekaan ini dengan nyes.
Kontan mengingatkan saya pada dua buku karya sahabat Aksin Wijaya. Pertama, Kontestasi Merebut Kebenaran Islam di Indonesia: Dari Berislam secara Teologis ke Berislam secara Humanis (Penerbit IRCiSoD Yogyakarta, 2019). Kedua, buku yang berjudul Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia: Kritik Atas Nalar Agamaisasi Kekerasan (Mizan, 2018). Keduanya, merespon apa yang popular dengan gerakan 212, terutama gerakan jilid II, selalu membawa orang yang banyak ke Monas, yang selalu mengatasnamakan Islam, dan hendak membela Islam dan umat Islam, baik orang yang mereka tuduh sebagai penista agama, maupun orang-orang, dan khususnya pemerintah, yang juga dituduh sebagai pembela penista agama.
Tidak saja itu, juga dua buku lainnya yang inspiratif terkait pesan filofis “lita’arafu” itu, yakni buku yang berjudul Islam Nusantara: Jalan Panjang Moderasi Beragama di Indonesia (Quanta Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2019) karya dari Prof. Dr. H. Nasruddin Umar, M.A. Empat tahun sebelumnya, pun juga ada buku menarik yang dikeluarkan oleh ormas Muhammadiyah. Buku itu berjudul Fiqih Kebinekaan: Pandangan Islam tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim (Mizan, 2015). Sebuah buku terbitan Ma’arif Institute for Culture and Humanity kerja bareng dengan Mizan Publishing House.
Beberapa pesan kerberagamaan yang menarik direnungkan. Nasaruddin Umar, misalnya, “menyejajarkannya” dengan konsep-karakteristik Islam yang tumbuh di Nusantara seperti lahirnya Islam inklusif, dan Islam Nusantara oleh Nahdlatul Ulama (NU). Beberapa negara yang mayoritas Muslim juga memiliki istilah khusus untuk mencirikan kekhususan Islam di negerinya. Sebut misalnya, Mahadir Muhammad mengenalkan Islam Hadharah, Benazir Bhutto memperkenalkan Islam inklusif, dan Pak SBY mengenalkan Islam Rahmatan Lil Alamin.
Sementara itu, Aksin Wijaya juga menekankan pesan agama sebagai rahmatal lil’alamin. Eksplorasi penulisan dua buku Aksin Wijaya, beroreantasi pada pemikiran kritis-analitis-kultural: bagaimana sesungguhnya beragama yang indah humanis? Sebuah diskusi menarik tentang “logika” tarik-menarik antara “kontestasi beragama” secara teologis ke beragama secara humanis –tentu dalam konteks beragama Islam. Pewacanaan yang konsisten tentang bagaimana beragama yang santun, beradab, toleran, etik, dan humanis; menjadi pemikiran yang konsisten diperjuangkan Aksin Wijaya.
Kehadiran Islam Nusantara, yang kata tulis Nasruddin Umar, lebih akrab dengan Islam inklusif adalah sebuah pemahaman yang selalu berusaha menampilkan Islam sebagai ajaran yang penuh kasih sayang (rahmah), toleransi (tasamuh), berkeadilan (‘adalah), menekankan aspek pertemuan, titik temu, dan perjumpaan (kalimah sawa’); bukan menampilkan kekerasan (tasyaddud) dan terorisme (irhab) (hal. 112). Islam yang bisa tegak di atas atau di samping nilai lokal-kultural. Islam yang mampu memberi ruang terhadap kearifan lokal. Bahkan, Islam yang mampu menjadi wadah peleburan (melting pot) terhadap pluralitas nilai dan norma yang hidup di masyarakat. []
***
Sutejo adalah
Ketua STKIP PGRI Ponorogo,
Ketua Litbang PCNU Ponorogo,
Anggota Dewan Pakar PC ISNU Ponorogo,
Ketua Bidang Pengembangan SDM PGRI kabupaten Ponorogo,
Anggota Dewan Pakar PW LTNU Jawa Timur.