Mbah Moen dan “Risalah Sarang”
Oleh: Dr. H. Sutejo, M. Hum.
Tafsir baru atas ‘lita’arafu’, yang Mbah Moen pesankan adalah sebagai saling mengisi dan bekerja sama jauh lebih progresif dan kontekstual dibandingkan dengan tafsir-tafsir yang berkembang selama ini, yang cenderung mengartikan lita’arafu dengan hanya sebatas saling mengenal. Indonesia berdiri di atas bangunan kebinekaan dan keragaman suku, bangsa, budaya harus ditopang kesadaran individunya untuk saling mengisi dan bekerja sama satu dengan yang lainnya. Bagi A. Helmy Faishal Zaini, pemikiran demikian “melesat jauh” melampaui zamannya (Kompas, 6/8/2019).
Tafsir semacam ini, tak akan lahir dari pribadi yang tak memiliki kejernihan mata batin serta rasa cinta Tanah Air yang mendalam. Maret 2017, ketika turbulensi politik meningkat dan isu kebinekaan memanas, Kiai Maimoen sebagai mustasyar (penasihat) PBNU menjadi tuan rumah Silaturahim Ulama Nusantara di Pesantren Al-Anwar, Sarang. Sebanyak 99 ulama berkumpul dipimpin Mbah Moen. Di sinilah, yang kemudian tulis A. Helmy Faishal Zaini, disebutnya dengan “Risalah Sarang”. Dunia kampus, dunia pendidikan secara umum, karena itu, dipandang sangat penting untuk senantiasa menanamkan nilai-nilai kebinekaan sehingga terbangun kerukunan hidup berbagsa yang harmonis sebagaimana misalnya pesan beragama di balik “Islam Nusantara” yang dicetuskan oleh NU dan “Fiqih Kebhinekaan” yang dikemukakan oleh Muhammadiyah.
Selanjutnya, apa yang menarik dari “Risalah Sarang” ini? Opini A. Helmy Faishal Zaini, kemudian mendokumentasikan pesan-pesan futuristik yang menarik untuk dijadikan modal kehidupan berkebinekaan di tanah air. Sebuah bangsa majemuk yang wajib diperjuangkan oleh bangsa Indonesia di satu sisi, dan di sisi lain bagi seluruh elemen bangsa ini. Terdapat lima pesan penting yang terkandung di balik “Risalah Sarang”.
Pertama, Nahdlatul Ulama senantiasa mengawal Pancasila dan NKRI serta keberadaannya tak dapat bisa dipisahkan dari keberadaan NKRI itu sendiri. Untuk ini, pesan ini –sesungguhnya bukan sekadar bagi NU—tetapi juga seluruh komponen bangsa. Kita terlahir tak bisa memilih “Rahim Ibu Pertiwi”, kodrat kelahiran demikian, tentu wajib diperjuangkan dengan saling menjaga keberadaan, menghormati, menghargai, dan memberikan hak hidup bagi semua secara beradab.
Kedua, pemerintah dihimbau agar menjalankan kebijakan-kebijakan yang lebih efektif untuk mengatasi isu sosial, termasuk menerapkan kebijakan yang lebih berpihak ke yang lemah (afirmatif) seperti reformasi agraria, pajak progresif, pengembangan strategi pembangunan ekonomi yang lebih menjamin pemerataan serta pembangunan hukum ke arah penegakan hukum yang lebih tegas dan adil dengan tetap menjaga prinsip praduga tak bersalah di berbagai kasus yang muncul.
Pesan “kemanusian yang berkeadilan” demikian, tentu wajib dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah, untuk membangun keseimbangan kehidupan yang harmonis. Mengendalikan kekurangan-kekurangan dengan memperbaikinya di segala bidang, adalah tanggung jawab pemerintah pertama-tama, kemudian diikuti oleh masyarakat dan keluarga untuk mendorong percepatan cita-cita “kemakmuran yang berkeadilan”. Bukankah tujuan Negara adalah mewujudkan kemakmuran rakyatnya? Sebuah filosofi berkehidupan-berkebangsaan secara rahmah.
Ketiga, pemerintah dan para pemimpin masyarakat dihimbau terus membina dan mendidik masyarakat agar mampu menyikapi informasi-informasi yang tersebar secara lebih cerdas dan bijaksana sehingga terhindar dari dampak negatif. Pesan ketiga dari “Risalah Sarang” ini sesungguhnya merupakan refleksi penting berkaitan dengan fenomena hoaks di satu sisi, dan pada sisi yang lain, bagaimana membangun dan mengembangkan sistem informasi masyarakat yang transparan, akuntabel, dan mendidk. Masyarakat yang cerdas dalam berkomunikasi di era teknologi digital, era terknologi informasi, era yang pernuh disrupsi di segala bidang.
Regulasi arus informasi barangkali penting “ditata-ulang”, dan dalam bahasa “Risalah Sarang” penting untuk “mendidik dan membina” masyarakat, tentu yang terbaik adalah melalui pendidikan formal yang pertama-tama. Sekolah dan lembaga pendidikan tinggi (PT), misalnya, penting untuk mengendalikan bagaimana informasi-informasi itu “terjamin kebaikannya” bagi kehidupan intelektual di satu sisi dan pada keharmonisan kehidupan pada sisi lainnya. Sebaliknya, jangan sampai PT, justru menjadi “sarang radikalisme” atau korban informasi hoak.
Keempat, para pemimpin negara, pemimpin masyarakat, termasuk pemimpin NU agar senantiasa menjaga kepercayaan masyarakat dengan senantiasa arif dan bijaksana dalam menjalankan tugas masing-masing dengan penuh tanggung jawab, adil, dan amanah dengan menomorsatukan kemaslahatan masyarakat dan NKRI. “Risalah Sarang” adalah salah satu bukti betapa karisma Mbah Moen sebagai pengayom umat tak bisa dimungkiri, begitulah tulis Sekjen PBNU, A. Helmy Faishal Zaini. Kepentingan bangsa karena itu, sekali lagi, adalah kepentingan bersama. Menarik untuk dijadikan filosofi hidup dan berkehidupan bagi segala elemen masyarakat untuk bisa menekan berbagai kepentingan kelompok dan mengedepankan kepentingan bangsa. Bukankah kini, kita adalah contoh kehidupan ber-Islam yang mendapat kerlingan positif dari berbagai Negara? Sungguh, ironis jika kita terjebak dalam kepentingan golongan atau “paham” keberagamaan.
Kelima, mengusulkan diselenggarakannya forum silaturahmi di antara seluruh elemen bangsa guna mencari solusi berbagai permasalahan yang ada, mencari langkah-langkah antisipatif terhadap kecenderungan perkembangan di masa depan, dan rekonsiliasi di antara sesama saudara sebangsa. Pengayom umat dan visi kebangsaan “Risalah Sarang” adalah salah satu bukti betapa karisma Mbah Moen sebagai pengayom umat tak bisa dimungkiri.
Di sinilah, maka kebersamaan hidup di Negara yang bineka ini adalah sebuah kodrat kebangsaan. Kita tak bisa memilih. Bahwa tanah air Indonesia sebagaimana diisyarakatkan dalam Sumpah Pemuda, tentu menjadi wajib untuk diistikomahi dan diperjuangkan bersama. “Bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Trisula pesan nasionalisme ini, barangkali yang mengalir pada darah Mbah Moen, seorang kiai kharismatik, yang baru saja meninggalkan kita. Nadi nasionalisme dan ajaran tentang “keharmonisan dalam kebinekaan” tentu adalah mimpi semua elemen bangsa. Bangsa yang berkemajuan dan berkeadaban, yang mempu mengeliminasi perbedaan dan mengarusutamakan kesamaan untuk kemaslahatan bersama. Lembaga pendidikan tinggi penting untuk memelopori gerakan untuk mengamalkan “Risalah Sarang” sebagai wasiat besar dan berkah bagi bangsa Indonesia. []
***
Sutejo adalah
Ketua STKIP PGRI Ponorogo,
Ketua Litbang PCNU Ponorogo,
Anggota Dewan Pakar PC ISNU Ponorogo,
Ketua Bidang Pengembangan SDM PGRI kabupaten Ponorogo,
Anggota Dewan Pakar PW LTNU Jawa Timur.