Mengenang “Kak” Sultan pada Hari Pramuka
Jakarta -Sangat umum dipahami masyarakat bahwa 14 Agustus adalah hari lahirnya Gerakan Pramuka. Pemahaman ini sebenarnya keliru. Lahirnya Gerakan Pramuka bukan pada tanggal 14 Agustus, melainkan 10 Mei. Lalu, pada 14 Agustus itulah Organisasi Gerakan Pramuka diperkenalkan kepada khalayak umum sebagai satu-satunya organisasi kepanduan yang ada di Indonesia, dengan ditandai penyerahan Panji Gerakan Pramuka dari Presiden Sukarno kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX atau yang biasa dikenal oleh anggota Gerakan Pramuka sebagai Kak Sultan sangatlah besar. Banyak kebijakan yang diambilnya demi memajukan generasi penerus bangsa, kaum muda, lewat Gerakan Pramuka ini. Sebagai anggota Gerakan Pramuka, kepribadian beliau patut dijadikan tauladan di era krisis identitas seperti hari ini. Beliaulah yang dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia.
Akrab dengan Anak-Anak
Suatu hari, Kak Sultan berkeliling gang-gang sempit di seputaran Yogyakarta
dengan mengendarai jip kesayangannya. Ketika itu, anak-anak Pramuka baru saja
pulang latihan. Usia mereka masih kanak-kanak, jadi ada saja kelakuan mereka
yang nakal. Mereka menghadang jip Kak Sultan yang berjalan pelan sembari
berteriak lantang, “Salam Pramuka!”
Kak Sultan pun menginjak rem jip beken miliknya, membalas salam yang
dilontarkan sambil melempar senyum kebapakan, lalu mempersilakan mereka naik ke
dalam jip miliknya. Dengan rasa bangga, mereka diantar pulang oleh Kak Sultan,
sang pencetus nama Pramuka.
Sepenggal kisah
menarik dari buku Sri Sultan: Hari-Hari Hamengku Buwono IX (Sebuah
Presentasi Majalah Tempo) yang pernah juga menghiasi Majalah Pramuka, 30
April 1984 itu begitu indah untuk direnungkan. Ngarso Dalemyang
begitu tinggi derajatnya tak terlihat jumawa menghadapi rakyat, pun anak-anak
yang terbilang jahil menggodanya. Prinsip seorang kakaklah yang terpatri dalam
dirinya. Sabar, among, dan bersahabat menghadapi anak-anak.
Memang, Dorojatun, nama kecil Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sangat akrab
dengan anak-anak. Tak heran, Kak Sultan sangat gemar mengikuti kegiatan
kepanduan di masa mudanya. Mantan Ketua Harian Kwartir Nasional 1961-1983 itu
begitu berjasa dalam membangun bangsa lewat kegiatan kepramukaan. Salah
satunya, keberanian untuk melindungi prinsip-prinsip kepramukaan yang pada saat
itu masih dikenal dengan sebutan Kepanduan.
Munculnya Istilah Pramuka
Pada 1960, Presiden
Sukarno berkeinginan menyatukan berbagai organisasi kepanduan yang ada di
Indonesia menjadi satu organisasi. Kehendak itu dimandatkan kepada Menteri Prijono.
Polemik pun terjadi. Aziz Saleh mencurigai inisiatif Prijono mengganti kacu
pandu menjadi merah. Beliau curiga tendensi perubahan kacu itu berafiliasi
dengan ideologi selain Pancasila. Aziz Saleh pun melaporkan wacana Prijono itu
kepada Kak Sultan.
Dalam posisi seperti itulah Kak Sultan bertindak tegas untuk kokoh tetap pada
pendirian, memakai kacu berwarna merah-putih, simbol Indonesia yang berideologi
Pancasila, sebagai langkah membedakan pandu yang ada di Indonesia dengan yang
lain. Kak Sultan pun memunculkan istilah pramuka, yang berasal dari kata dalam
Bahasa Jawa, para muka (yang di depan) sebagai istilah
pengganti kata Kepanduan.
Agar istilah Pramuka tidak disamakan dengan Pioner Muda, muncullah ide
kepanjangan “Praja Muda Karana”. Ide itu berasal dari Mahasiswi
Universitas Indonesia Fakultas Sastra bernama Soemartini. Yang pernah menjabat
sebagai Direktur Arsip Nasional.
Jejak Kepedulian
Jejak kepedulian Kak Sultan dengan masyarakat pun tak kalah dramatis. Di kala
Kak Sultan tengah berada di perjalanan Sleman-Yogyakarta, seorang embok pasar
yang kesulitan mencari transportasi melambaikan tangan. Sontak, Kak Sultan pun
mengerem mobilnya, lalu turun sambil mempersilakan si embok tadi masuk mobil.
Kak Sultan mengangkat tenggok berisi penuh beras yang akan dijual ke pasar.
Sesampainya di pasar, si embok dipersilakan turun. Sembari menurunkan tenggok,
Kak Sultan menolak dengan halus upah seadanya dari si embok.
Para pedagang pasar yang melihat Kak Sultan menurunkan tenggok itu berbisik-bisik bak kerumunan Lebah. Kak Sultan pun pergi meninggalkan pasar. Si embok yang kemudian mengetahui bahwa penolongnya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX seketika pingsan. Kak Sultan sendiri baru mengetahui kejadian pasca-pengantaran itu setelah beritanya tercetak di koran.
Begitu merakyatnya Kak
Sultan. Tak memandang strata sosial, derajat, dan pangkat. Hanya satu yang
terus digelorakan: bagaimana caranya melayani rakyat dan memajukan bangsa dan
negara.
Bukan Baju Kedodoran
Barang tentu, Hari Pramuka menjadi euforia tersendiri bagi para anggotanya. Setiap instansi sekolah pun sudah pasti berlomba-lomba mengadakan acara memperingatinya, karena Pramuka menjadi kegiatan wajib di setiap sekolah di Indonesia. Namun, besarnya organisasi ini sudah tentu harus direnungkan kembali. Sejauh mana peran dan perkembangannya mendidik kaum muda. Sejauh mana keberhasilannya mengatasi disintegrasi bangsa dan membentuk kokohnya karakter kaum muda Indonesia.
Entah kita sadari atau tidak, sejauh ini masih banyak PR yang tentunya harus dipikirkan oleh para anggotanya. Jangan sampai Organisasi Gerakan Pramuka hanya terlihat besar tanpa efek samping bagi perkembangan kaum muda bangsa. Terlebih hanya menjadi simbol kuantitas anggotanya dibanding dengan organisasi kepanduan di negara lain. Apalagi, jika Gerakan Pramuka hanya dijadikan ladang penambang uang oleh berbagai pihak, sudah pasti prinsip Pramuka itu telah musnah dari jiwa para penggiatnya.
Jangan sampai lupa akan perannya sesuai AD/ART Gerakan Pramuka, non-politis,
dan menyumbangkan segenap pikiran demi kemajuan bangsa. Semoga Gerakan Pramuka
tak dipakai hanya untuk kegiatan tendensius oleh salah satu golongan. Jangan
sampai pula organisasi ini menjadi baju kedodoran yang dipakai oleh semua orang
tanpa tahu makna dan tugasnya di masyarakat.
Penulis: Frengki Nur Fariya Pratama staf LPPM dan penggiat Sekolah Literasi Gratis STKIP PGRI Ponorogo, anggota Pramuka Garuda Pandega
Sumber Berita: https://news.detik.com/kolom/d-4665384/mengenang-kak-sultan-pada-hari-pramuka