Nglaras Nasionalisme Sutan Syahrir
Oleh: Dr. H. Sutejo, M.Hum.
Setiap kali datang momen “Proklamasi”, ingatan terbanyak orang adalah kepada dwitunggal Soekarno-Hatta. Dua sahabat yang sevisi tetapi seringkali berbeda pendapat tetapi bisa selalu saling hormat. Ternyata, di balik kisah proklamasi ada semangat untuk menyegerakan proklamasi, yakni gagasan Sutan Syahrir yang kemudian diikrarkan proklamasi awal oleh Soedarsono, dua hari sebelum Proklamasi yang kita kenal sekarang ini.
“Hari ini, Selasa (15/8/2019) merupakan hari bersejarah bagi Cirebon. Tepat 74 tahun lalu, salah seorang putra dari mantan Menteri Pertahanan (Menhan) era Soeharto, Juwono Soedarsono, yakni dr Soedarsono memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Momen pembacaan naskah proklamasi itu dilakukan di Alun-alun Kejaksan Cirebon pada 15 Agustus 1945, atau dua hari sebelum Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sejarawan dan budayawan Cirebon Nurdin M Moer menyebutkan Soedarsono tergabung dalam kelompok Sutan Syahrir.” Begitulah tulis Sudirman Wamad melalui detikNews (https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4666747/kilas-balik-proklamasi-kemerdekaan-indonesia-15-agustus-di-cirebon). Artinya, dua hari sebelum proklamasi yang dilakukan oleh Soekarno, telah ada proklamasi yang dibacakan Soedarsono di aloon-aloon kejaksaan Cirebon. Hal itu, dilakukan oleh Soedarsono sesaat setelah mendapatkan informasi dari Sutan Syahrir melalui Radio BBC London, bahwa Jepang telah menyerahkan kekuasaan kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945.
Sebagai generasi bangsa, kita sering kali tidak mengenal informasi ini. Maka, bisa dipahami memang, karena kepeloporan Soekarno dan Syahrir berbeda. Artinya, Soekarno lebih berpengaruh daripada Sutan Syahrir. Di sinilah, maka kita bisa menemukan sesungguhnya, terdapat mutiara pesan Sutan Syahrir yang menarik untuk direnungkan.
***
“Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita.” Begitulah tulis Bung Syahrir. Sebuah perbedaan “sudut pandang” ternyata sudah menjadi hal biasa sebagaimana Dwitunggal Proklamator RI 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta; kemudian pun bercerai karena perbedaan pandangan. Tetapi, semangat memperjuangkan kemerdekaan, berikut langkah-langkah untuk mengisinya, adalah “harga mati” bagi para pahlawan nasional itu.
Pesan Bung Syahrir, yang menantang sesungguhnya adalah, bahwa kemerdekaan itu bukanlah sebuah akhir pencapaian. Hanya sebuah “pintu berbuat” untuk mendapatkan “harkat dan martabat” sejati sebuah bangsa sehingga mampu ikut mewarnai dunia. Beginilah pesan Bung Syahrir, “Kemerdekaan nasional adalah bukan pencapaian akhir, tapi rakyat bebas berkarya adalah pencapaian puncaknya.” Sebuah pesan filosofis yang menantang.
Bahkan, kemudian ia pun berpesan keras: “Perjuangan kita sekarang ini tak lain dari perjuangan untuk mendapat kebebasan jiwa bangsa kita. Kedewasaan bangsa kita hanya jalan untuk mencapai kedudukan sebagai manusia dewasa bagi diri kita.” Di sinilah, sungguh pesan ini, mendapatkan relevansi yang dalam: (i) kita terus berjuang untuk mendapatkan kebebasan jiwa bangsa, dan (ii) kita butuh kedewasaan berbangsa sehingga bisa melahirkan rakyat yang dewasa pula. Bangsa yang dewasa dengan demikian, adalah bangsa yang memiliki harga diri, kemampuan, otak brilian, kreativitas-inovitas, soft skill kompetitif, dan memiliki kemandirian di segala bidang. Mimpi menjadi bangsa dewasa tentu, wajib terus untuk dikobar-juangkan agar tidak menjadi “anthek-anthek” saja dari bangsa-bangsa di dunia.
Kesadaran akan persatuan bangsa misalnya, wajib terbingkai oleh kesadaran sejarah, kesamaan visi, serta dilakuan secara demokratis dan humanis agar berdaya guna, berdaya ledak dahsyat bagi generasi bangsa selanjutnya. “Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa hanya akan menghasilkan anak banci, persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat dan merusak pergerakan.” Begitulah, Bung Syahrir berpesan. Berbagai indoktrinasi –baik intelektual, politik, hukum, keamanan, maupun sosial—hanya akan melahirkan “kekerdilan anak negeri”, dalam bahasa Bung Syahrir disebutnya sebagai “anak banci”. Jika pergerakan dalam bingkai persatuan demikian, dikhawatirkan akan terus merusak jiwa, menyakiti, dan berdaya rusak terhadap pergerakan bangsa.
Mengisi kemerdekaan kini, setelah 74 tahun merdeka, tentu sangat penting untuk merenungkan, merefleksikan, nglaras jiwa-rasa-hati, sehingga menemukan format penting untuk berbuat yang begitu berarti. “Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan.” Pesan inilah barangkali yang menarik direnungkan dalam konteks kenikian. Pertaruhan adalah alamiah, wajib diperjuangkan sekuat kemampuan, di situlah potensi kemenangan sebagai bangsa dapat diimpikan.
Jika ingin maju dalam sejarah dunia, generasi bangsa ini wajib merawat kebangsaan. Jiwa nasionalisme berbalut hakikat humanitas adalah pilar penting dalam memperjuangkan kodrat kemanusiaan dalam bingkai kemerdekaan. Bukan seolah-olah merdeka, tetapi jiwa dan realitas sosial serta pemikiran begitu terjajah oleh bangsa lain. Beginilah pesan Bung Syahrir, “Dan hanya semangat kebangsaan, yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusiaan yang dapat mengantar kita maju dalam sejarah dunia.” Mewujudkan kemajuan bangsa, mutlak berkaki keadilan dan kemanusiaan dalam bingkai 100 persen cinta kebangsaan.
Sementara, itu kritik tajam Bung Syahrir sesungguhnya pada realitas partai politik. Kesan-pesan kerasnya terhadap “era paling demokratis” di masa Soekarno, melahirkan aforisme Bung Syahrir yang mengatakannya begini: “Partai itu tidak perlu banyak anggota, sedikit saja jumlahnya, asal paham, militan, menguasai keadaan, serta memahami teori-teori perjuangan.” Dengan demikian, hakikat partai hanyalah sebuah “jalan perjuangan”, bukan jalan-jalan kekuasaan yang diperebutkan tanpa perbuatan bervisi kebangsaan.
***
Di sinilah, maka perjuangan membutuhkan seni. Seni menguatkan dan mendewasakan dalam langkah dan perbuatan perjuangan. Baik memperjuangkan maupun mengisi kemerdekaan. “Hidup yang tak diperjuangkan tak dapat dimenangkan.” Begitulah pesan Bung Syahrir. Apa yang menarik direnungkan dalam konteks kekinian? Mutiara pesan tentang perbedaan dan pilihan gerakan yang tetap bervisi kebangsaan itulah sejatinya cinta bangsa. Sementara, perbedaan sungguh bukanlah ancaman untuk mewujudkan persatuan bangsa.
Visi persatuan dalam kebinekaan karena itu, wajib digembalakan secara demokratis –bukan melalui kekerasan dan indoktrinasi—sehingga tak melahirkan generasi banci yang kemudian hanya mahir dalam kata, tetapi minus dalam perbuatan. Banci, karena tidak memiliki harga diri untuk berdiri tegak untuk bersaing dengan bangsa-bangsa yang lain di dunia. Era mutakhir, berkebangsaan kita, sungguh nilai luhur kemandirian (lahir batin) adalah impian semua warga Indonesia. Termasuk tentu –yang paling mendasar—kemandirian dalam mengelola dan menikmati pendidikan nasional bangsa berbasis pesan leluhur yang adiluhung dan berdaya lesap tinggi! Berbasis moralitas-humanitas, bukan kognitivikasi, apalagi mesinisasi ala Barat yang diidolakan kini.
Mencintai kebudayaan adalah mencintai seni sastra. Bangsa yang berkebudayaan tentu adalah bangsa yang mampu memahami khasanah sastra Nusantara dalam bingkai nilai filosofis kemandirian dan kebangsaan. Ingat pesan pesastra Cina, Lu (Lu Shun), bahwa orang-orang yang membaca sastra yang patut disebut orang-orang berbudaya (Alif Danya Munsyi, 2005:64). Maka, merindukan pemimpin dan birokrat sastrawi –dalam renungan kemerdekaan kali ini– adalah keteladanan termudah untuk mewujudkan bangsa yang berbudaya. Terlebih, keteladanan setiap hari dalam membangun bangsa ini adalah guru dan dosen tentunya wajib menjelma sebagai teladan sastrawi. []
Sutejo,
Ketua STKIP PGRI Ponorogo
Ketua Litbang PCNU Ponorogo,
Anggota Dewan Pakar PC ISNU Ponorogo,
Ketua Bidang Pengembangan SDM PGRI kabupaten Ponorogo,
Anggota Dewan Pakar PW LTNU Jawa Timur.
1 Komentar pada Nglaras Nasionalisme Sutan Syahrir