Peran Keluarga dalam Pembentukan Karakter Anak
Perkembangan teknologi komunikasi yang sangat pesat telah menciptakan komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, masuk di berbagai pelosok pedesaan maupun keramaian perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain). Dampak negative dari fenomena ini adalah semula batas budaya barat dan timur terlihat jelas, namun sekarang ini yang terjadi adalah membaurnya budaya luar dengan budaya lokal. Kondisi yang demikian menjadi berbahaya ketika budaya yang tidak baik dari luar ditelan mentah-mentah oleh anak-anak dalam sebuah keluarga.
Anak merupakan salah satu aset yang menentukan kelangsungan hidup, kualitas dan kejayaan suatu bangsa di masa mendatang. Baik buruknya sebuah bangsa sangat tergantung atas kualitas generasi yang mewarisinya. Oleh karena itu anak perlu dikondisikan agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan dididik sebaik mungkin, Sehingga di masa depan dapat menjadi generasi penerus yang berkarakter serta berkepribadian.
Usia anak-anak merupakan golden age (masa emas) yaitu kondisi kehidupan yang penuh dengan kepekaan. Masa peka adalah masa yang menuntut pendampingan yang sungguh-sungguh, karena hanya datang sekali seumur hidup manusia. Masa ketika terjadinya pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosial emosional, konsep diri, disiplin kemandirian, seni, moral dan nilai-nilai agama.
Keluarga adalah lingkungan yang pertama dan utama(primary group) dikenal oleh anak. Alasannya, institusi terkecil dalam masyarakat ini telah mempengaruhi perkembangan individu anggota-anggotanya, termasuk sang anak. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai bentuk kepribadiannya di masyarakat. Oleh karena itu tidaklah dapat dipungkiri bahwa sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja. Mengingat banyak hal-hal mengenai kepribadian seseorang yang dapat diruntut dari keluarga (Mardiya, 2000: 10).
Maka atas dasar itu, dengan berkaca pada kondisi saat ini, sudah saatnya orangtua sebagi nahkoda dalam keluarga mengambil peran lebih untuk membimbing penciptaan nilai-nilai karakter pada anak. Ayah dan ibu sebagai orangtua, adalah contoh keteladanan dan perilaku bagi anak, pepatah jawa mengatakan “Uwoh ora bakal ceblok adoh karo uwite” (Prilaku anak tidak akan jauh berbeda dengan prilaku orang tuanya) pepatah jawa lain yang senada dengan itu “Kacang manut karo lanjarane” (prilaku anak itu akan mengikuti prilaku kepada orang tuanya). Oleh karena itu orang tua harus berperilaku baik, saling asih, asah dan asuh agar menular dengan anak-anaknya.
Ibu yang secara emosional dan kejiwaan lebih dekat dengan anaknya harus mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya baik dalam bertutur kata, bersikap maupun bertindak. Peran ibu dalam pembentukan karakter ini demikian besar. Sementara itu sang ayah sebagai kepala keluarga juga harus mampu menjadi teladan yang baik. Karena ayah yang terlibat hubungan dengan anaknya sejak awal akan mempengaruhi perkembangan kognitif, motorik, kemampuan, menolong diri sendiri, bahkan meningkatkan kemampuan yang lebih baik dari anak lain. Kedekatan dengan ayah tentunya juga akan mempengaruhi pembentukan karakter anak.
Selain orang orangtua berperan lebih dalam memberi contoh dan mempraktekkan nilai-nilai karakter. Orangtua juga perlu menerapkan pola asuh yang seimbang (authoritative) pada anak, bukan pola asuh yang otoriter atau serba membolehkan (permissive). Pola asuh yang seimbang (authoritative) orang tua tidak hanya melakukan pengasuhan tetapi meraka sepenuhnya mengahrgai keputusan yang diambil anak, minat dan pendapat serta perbedaan kepribadiannya. Orang tua dengan pola asuh model ini, penuh dengan kasih sayang. Tegas dalam menjaga aturan bersedia memberi hukuman ringan tetapi dalam situasi hangat dan hubungan saling mendukung. Mereka menjelaskan semua tindakan dan hukuman yang mereka lakukan dan mempertimbangkan pendapat anak.
Anak dari orangtua yang menerapkan metode demikian akan merasa tenang dan nyaman. Mereka akan menjadi paham kalau mereka disayangi tetapi sekaligus mengerti terhadap apa yang diharapkan dari orang tua. Jadi anak sejak prasekolah akan menunjukkan sikap lebih mandiri, mampu mengontrol dirinya, biasa bersikap tegas dan suka eksplorasi. Kondisi yeng demikian itu tidak akan didapatkan anak bila orangtuanya menerapkan pola asuh otoriter atau permisif. Karena anak-anak di bawah asuhan otoriter akan menjadi pendiam, Penakut dan tidak percaya pada diri mereka sendiri. Sementara anak-anak yang diasuh dengan model permisif akan menajadi anak yang tidak mengenal aturan dan norma serta tidak memiliki rasa tanggung jawab.
Penulis: Rohmad Arkam, M.S.I
Dosen PG-PAUD STKIP PGRI Ponorogo
*Artikel pernah dimuat Jawa Pos Radar Ponorogo, Edisi September 2016