Bekerja yang Benar dan Baik
Oleh: Dr. Sutejo, M.,Hum.
Jujun Suriasumantri dalam Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (2009:19), mengilustrasikan tentang dialog orang awam dengan filosof yang bijaksana. Sang awam bertanya, “Coba jelaskan kepadaku, ada berapa jenis manusia dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya?”
Sambil menarik nafas panjang, sang filosof bijak kemudian menjawab,
“Ada orang yang tahu, di tahunya;
Ada orang yang tahu, di tidaktahunya;
Ada orang yang tidak tahu, di tahunya;
Ada orang yang tidak tahu, di tidaktahunya.”
Kemudian, sang awam bertanya, “Bagaimana agar aku mendapatkan pengetahuan yang benar?”
“Mudah saja,” jawab sang filosof, “Ketahuilah apa yang kau tahu, dan ketahuilah apa yang tidak kau tahu.”
Maka dialog itu pun bisa “direnovasi” sesuai dengan judul tulisan ini. Yakni, tentang bekerja. Kira-kira kemudian jawaban sang filosof seperti ini.
“Ada orang yang tahu, di tahu pekerjaannya;
Ada orang yang tahu, di tidak tahu akan pekerjaannya;
Ada orang yang tidak tahu, di tahu pekerjaannya;
Ada orang yang tidak tahu, di tidak tahu akan pekerjaannya.”
Kemudian, sang awam bertanya, “Bagaimana agar aku dapat bekerja yang benar?”
“Mudah saja,” jawab sang filosof, “Ketahuilah apa yang kau tahu dari pekerjaanmu, dan ketahuilah apa yang tidak kau ketahui dari pekerjaanmu.”
Dalam bahasa sederhana saya pernah mengungkapkan begini, “Dalam bekerja jangan terlalu banyak usul, apalagi berkaitan dengan pekerjaan orang lain. Tetapi, bertanyalah ‘apa yang sudah kau lakukan, belum dilakukan, dan akan dilakukan.’” Dengan demikian, bekerja benar itu sederhana; yakni bermula dari pengetahuan tentang apa yang diketahui tentang pekerjaannya, dan apa yang tidak diketahui dengan pekerjaannya.
***
Sementara itu, ketika di SPGN dulu (1983-an), ketika kelas 1, saya diajar oleh seorang guru unik bernama: Patah Reksa Atmaja. Guru bahasa Jawa, –yang tentu tidak saya suka karena tulisan bahasa Jawa—yang mulai sulit dipahami kala itu. Dia mengawali pelajaran, di pertemuan pertama dengan bertanya begini, “Apakah yang dimaksud dengan orang baik?” Semua anak tertegun, tak paham apa yang dimaksudkan sang guru. Kemudian, guru itu menuliskan empat kalimat di papan tulis begini.
Wong mbales ala marang alane liyan, iku ala;
Wong mbales ala marang apike liyan, iku ala banget;
Wong mbales apik marang apike liyan, iku biasa;
Wong mbales apik marang alane liyan, iku apik.
Sekarang, marilah kita renungkan pernyataan-pernyataan guru saya itu, dalam kehidupan bekerja kita. Pasti kita akan trenyuh, jika memiliki rasa, hati, dan jiwa, punya logika benar dan maaf “waras”. Silakan direnungkan sendiri, tak usah pakai contoh, karena kita ilmuwan yang telah memiliki pengetahuan awal sebagaimana diungkapkan oleh Jujun di awal tulisan ini. Hehe. Tetapi, nggak apalah, inilah contoh sederhananya.
Katakanlah, kita mengajar 2 SKS digaji Rp800.000,-; berarti per-SKS kita digaji Rp400.000,-. Pernahkah kita berpikir, “Layakkah kita dihonori demikian?” Inilah kadang, hal kecil yang seringkali luput dari mata hati, rasa, jiwa, logika-pikir manusia. Kita hanya cemburu misalnya, pimpinan digaji Rp2.600.000,- dengan mengajar 10 SKS, dan setiap hari diwajibkan masuk (ngantor). Jika setiap hari tiga SKS (jam), maka selama 6 hari kerja maka diperoleh SKS –paling tidak—18 SKS. Hasilnya, Rp2.600.000:18 SKS = 144.000,-. Besar manakah? Belum lagi, tugas-tugas sebagai pimpinan melekat, tanggung jawab lebih besar manakala dibandingkan hanya mengajar. Inilah, hal sederhana yang sering kita lupa. Maka, mari kita belajar bekerja yang benar, kalau bisa bekerja secara baik.
Bekerja baik (bahasa Jawa: apik) adalah sebuah logika manakala kita melakukan perbuatan baik (bekerja baik) atas “perbuatan kurang baik atau tidak baik” lembaga kepada kita. Bekerja baik, ternyata tidak mudah. Itu baru dengan lembaga di mana kita niati, istikomah, dan mengabdi. Ah, bahkan menggantungkan hidup dan masa depan. Tetapi, mengapa kita belum berbuat dan berkerja yang terbaik dan benar?
Sekarang, mari direnungkan bagaimana menjadi dosen yang baik. Jika menggunakan paradigma lama –kala saya kuliah dahulu–, berarti tahun 1986-an, menjadi dosen (guru) itu memiliki 4 fungsi: (a) mengajar, (b) mendidik, (c) membimbing, dan (d) mengelola kelas kuliah. Ini, tentu baru bidang pengajaran seorang dosen –yang mestinya diperankan–. Sementara, masih ada lagi fungsi peneliti dan pengabdi kepada masyarakat. Apa yang sudah kita lakukan? Mari berenung sendiri, bersaksilah kepada Alam dan Tuhan, semoga diberi kekuatan untuk melaksanakan amanah dengan baik dan benar.
Ingat, sebagai pengajar; kita dituntut purna penguasaan keilmuan terkait dengan bidang yang akan diajarkan. Kesalahan memang bukan aib, tetapi wajib diubah selanjutnya. Jika, kita tak ingin terus menanggung malu di kemudian hari. Menguasai ilmu –baik secara teori maupun praktiknya–. Mengajar menulis misalnya, wajib kita telah memiliki keterampilan menulis. Bukan sekadar pengetahuan menulis. Ini berbahaya. Mengajarkan sastra misalnya, ingat ada resepsi sastra dan reproduksi sastra (mestinya, kita juga menguasai keduanya).
Di sinilah, jika kita mampu menjadi dosen dengan kualitas ukurannya, masih dikatakan sebagai “dosen biasa”, karena sesuai dengan ukuran imbal balik hubungan sebagaimana disinggung oleh Pak Patah, guru saja SPGN itu. Ini baru mengajar yang benar, belum bagaimanakah mengajar yang baik?
Sementara, fungsi mendidik akan menyadarkan kita bahwa tugas seorang pendidik bukan saja mengajar, tetapi juga mendidik. Mendidik itu lebih menekankan pada adab, etika, dan kesantunan lainnya. Segala tetek-bengek berkaitan dengan peri kehidupan mahasiswa, mestinya tak boleh luput dari amatan dosen. Apalagi misalnya, jika dosen menemukan penyimpangan sosial (seksualitas misalnya), tugas pendidik adalah menelisik, mendampingi, dan memecahkannya agar terhindar dari dampak buruk lebih jauh.
Bukan sekadar mengajar dan mendidik ternyata tugas sang dosen, ternyata harus membimbing. Fungsi membimbing inilah unik: kita diminta mengetahui potensi dan kekurangan diri pembelajar, kemudian mengantarkan dalam mencapai puncak optimalisasi potensinya. Menjadi pendidik berjiwa pembimbing –sungguh tidaklah mudah–, butuh pengorbanan lintas sosial, emosional, dan akademik. Lintas ruang, lintas batas, dan lintas geografis. Lintas strata! Tidak mudah kan? Apa jadinya, jika kita menyia-nyiakan tugas mulia seorang pembimbing?
Alasan tak ada waktu dan kesibukan, ingat jam yang dimiliki setiap orang sama: 24 jam sehari.
Untuk mewujudkan keoptimalan ketiga fungsi sebelumnya (mengajar, mendidik, membimbing) maka tugas dosen selanjutnya, yang tak kalah berat adalah mengelola “kelas kuliah”. Menciptakan situasi nyaman, menyenangkan, tetapi tidak melenyapkan substansi ilmu dan keterampilan yang diiringkan dalam perkuliahan. Butuh kreativitas tingkat dewa, minimal dalang.
Hem, bukan setiap saat memberikan tugas diskusi kepada mahasiswa. Mari terus berpikir, “Apa, bagaimana, dan mengapa mestinya saya berdiri menjadi yang terbaik di depan mahasiswa?”
***
Kok berat ya? Itulah indahnya menjadi guru (dosen). Jika kita lakukan terbaik sesuai panggilan hati, profesi, dan kemanusiaan akan melahirkan pahala langsung bagi kehidupan; jika diniatkan sebagai ibadah, sungguh tambah indah untuk modal akherat. Tersebab, janji pahala akan mengalir setelah kematian itu menghampiri. Amal yang tak terputus pada manusia (anak Adam), salah satunya adalah ilmu bermanfaat. Itu bisa dilipatgandakan dengan melalui “jalan indah” perkuliahan yang dilakukan dengan baik dan benar. Mengapa tidak?
Untuk itu, filosofi dosen di perguruan tinggi adalah berbasis tridarma PT yang termanifestasikan di ruang kuliah ke dalam empat fungsi utama itu. Dalam bahasa mutakhir, akan ditemukan istilah yang keren tetapi substansinya sama. Sebutlah seperti: fungsi fasilitator, katalisator, inovator, kreator, motivator, mediator; dan “tor” lainnya yang nggemesin.
Dengan demikian, marilah kita berubah. Apalagi PT kita menggelorakan jargon “kampus pelopor literasi”. Ingat literasi itu bukan sekadar baca-tulis, tetapi juga literasi digital, sains-matematik, finansial, numeral, dan budaya kewargaan. Puncak literasi adalah terbentuknya moralitas terbaik, di seluruh civitas akademika kampus. Secara sederhana, Prof. Djoko Sarjono pernah berpesan, bahwa hakikat literasi itu adalah sebuah proses memahami, menyadari, memaknai, dan menyintesai sesuatu. Sesuatu itu bisa teks dan nonteks. Literasi profesi, hem. Yuk, diramesi sendiri.
Untuk mengakhiri, akan dikutipkan pesan filosofis pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang dipandamg cocok dengan citra rasa pendidikan Indonesia. Tiga prinsip yang wajib diingat itu adalah (i) ing ngarso sung tuladha (pendidik berada di depan memberikan teladan), (ii) ing madyo mangun karsa (pendidik selalu berada di tengah dan terus-menerus memprakarsai/memotivasi), dan (iii) tut wuri handayani (pendidik selalu mendukung dan mendorong untuk terus maju) (St. Sularto, 2016:86). Pesan terdalam Ki Hadjar ini, tentu penting direnungkan lebih dalam berkaitan dengan gagas-ungkap sebelumnya.
Akhirnya, jadilah pendidik yang luar biasa sehingga dipastikan yang dihasilkan pun luar biasa! Insya Alllah.[]
Sutejo,
Ketua STKIP PGRI Ponorogo
Ketua Litbang PCNU Ponorogo,
Anggota Dewan Pakar PC ISNU Ponorogo,
Ketua Bidang Pengembangan SDM PGRI kabupaten Ponorogo,
Anggota Dewan Pakar PW LTNU Jawa Timur.