Budaya Membentuk Karakter
Hubungan kebudayaan dengan pendidikan karakter sangat erat kaitannya. Keduanya saling memiliki keterikatan layaknya hukum biner. Dengan kata lain tidak akan ada kebudayaan tanpa adanya pendidikan begitu pula praksis pendidikan selalu berada dalam lingkup kebudayaan yang konkrit. Jelas sebuah revolusi budaya atau tanpa didampingi oleh pendidikan maka revolusi kebudayaan itu akan sia-sia karena pendidikan yang akan memanusiakan manusia.
Karakter terbentuk dari sebuah pembiasaan. Pembiasaan itu berasal dari kegiatan yang berulang-ulang, kegiatan berulang-ulang dilakukan dari budaya yang dipercayai oleh kelompok masyarakat.Nilai-nilai budaya dapat ditransferkan melalui pendidikan formal atau bahkan dalam ligkup keluarga pada umumnya. Sekecil apapun budaya yang ditanamkan orang tua kepada anaknya, itulah yang akan menjadi sebuah kebiasaan yang secara berulang-ulang dan ditanamkan pada generasi penerusnya. Ungkapan tersebut bisa kita contohkan dengan sebuah kedisiplinan. Kedisiplinan yang ditanamkan melalui pendidikan yang diberikan oleh orang tua pada umumnya dan dalam lingkup formal yakni dalam lingkup sekolah semisal, atau tempat kerja, dan masyarakat. Dengan kata lain kedisiplinan itu diperoleh dari budaya ritual harian.
Salah satu manfaat kebudayaan berpengaruh besar pada pendidikan karakter yakni berupa kebudayaan religius yang ditanamkan baik di keluarga maupun disekolah dengan percaya akan Tuhan, sholat berjamaah, bahkan dengan melakukan doa sebelum makan, kemudian membiasakan atau membudayakan kejujuran. Kejujuran dalam berbicara ataupun bersikap. Contoh konkret yakni dengan maraknya lembaga pendidikan yang mengadakan adanya kantin kejujuran. Membiasakan atau membudayakan siswa untuk kreatif, untuk hidup bersih dengan buang sampah pada tempatnya dan sebagainya, dan juga budaya akan kesantunan dan hormat kepada orang yang lebih tua dengan bersalaman dengan guru sebelum masuk kelas, dan saling menghargai teman.
Pengaruh kebudayaan akan pendidikan karakter pula bisa kita dapati di dalam rumah atau dalam lingkup keluarga. Membudayakan salam dan mencium tangan kepada kedua orang tua memberikan dampak positif terhadap pembentukan karakter anak. Begitu pula dengan peluk dan cium kepada orang tua sebelum bepergian memberikan pengaruh dan dampak yang sangat baik terhadap pembentukan karakter kasih sayang terhadap keluarga pada anak. Mendidik dengan kasih sayang merupakan strategi yang sangat positif untuk menanamkan pendidikan karakter yang baik pada anak.
Mari kita perhatikan perilaku atau kebudayaan yang dimiliki masyarakat suku Jawa dimana orang yang lebih muda berbicara pada orang yang lebih tua atau kepada orang yang dihormati dengan menggunakan bahasa krama inggil. Bahasa krama inggil ini dalam tata bahasa Jawa merupakan bahasa yang tertinggi atau bisa dikatakan bahasa yang paling santun. Namun karena pengaruh globalisasi budaya tersebut kini sudah mulai luntur. Saat ini banyak orang Jawa yang tidak bisa berbahasa Jawa krama sehingga jika mereka berbicara pada orang yang lebih tua atau pada orang yang dihormati mereka hanya menggunakan bahasa biasa atau bahasa Jawa ngoko yang biasa digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya. Hal ini dianggap kurang sopan karena seakan-akan tidak ada bedanya antara orang yang dihormati dengan teman sebayanya.
Langkah awal adalah dengan menjaga kebudayaan itu tetap ada, tetap kukuh, dan tetap berdiri tegak di kalangan masyarakat. Budaya berbahasa krama inggil pada masyarakat jawa terhadap orang yang lebih tua secara tidak langsung memberikan dampak atau pengaruh terhadap karakter masyarakatnya. Karakter saling menghormati dan menghargai orang yang lebih itu merupakan karakter yang santun dan terpuji. Tidak cukup dengan itu timbal balik yang diberikan dengan karakter lebih menghormati dan berbahasa yang baik (krama inggil) terhadap orang yang lebih tua pun akan menjadikan orang tersebut menghargai kita dan secara tidak langsung akan terdidik juga karakter mereka.
Selanjutnya, dapat kita ambil lihat dari kebudayaan orang Bali. Masyarakat Bali mempercayai akan adanya reinkarnasi. Reinkarnasi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan penjelmaan (penitisan) kembali makhluk yang telah mati (2008). Dari adanya kepercayaan reinkarnasi tersebut maka masyarakat bali sangat menghargai alam. Bentuk dari penghargaan tersebut yakni dengan menjaga kebersihan, menghormati siapapun karena masyarakat Bali khawatir semua alam, hewan, manusia adalah reinkarnasi atau jelmaan dari nenek moyangnya.
Masyarakat Bali sangat disiplin dalam menghormati sesama, mencintai alam, hewan dan tanaman, itu merupakan karakter yang sangat terpuji. Karakter yang dapat kita lihat dari contoh diatas yakni tertanamnya karakter yang baik dengan menjaga kebersihan dan saling hormat kepada sesama manusia bahkan kepada tanaman dan juga hewan terlepas dari kepercayaan kita yang bukan masyarakat Bali.
Di samping itu marikita perhatikan kesenian Reog Ponorogo. Reog merupakan kesenian budaya yang berasal dari jawa timur bagian barat laut , dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal reog yang sebenarnya. Keberadaan reog tidak hanya dijadikan tontonan dan hasil dari kesenian semata. Selain nilai historis reog yang kental dengan hal yang mistik, reog juga menjadi kebudayaan yang memberikan pengaruh dan juga menjadi sarana penanaman pendidikan karakter. Di kabupaten Ponorogo, seluruh warga didik, peserta didik, dan juga masyarakatnya wajib untuk mendapat pelajaran dan pengetahuan akan reog, dan reog menjadi muatan local di setiap kurikulum di masing-masing unit sekolah baik negeri maupun swasta.
Fenomena tersebut dapat kita pahami bahwa usaha dalam melestarikan kesenian daerah dan telah menjadi budaya tersebut dapat menciptakan bahkan menanamkan karakter yang positif kepada anak atau diri kita. Kenapa demikian? Hal tersebut karena dengan upaya yang demikian masyarakat akan terbentuk karakter mencintai budaya, mencintai warisan sejarah, mencintai tanah Ponorogo bagi masyarakat Ponorogo khususnya, dan bangsa Indonesia pada pada umumnya karena dengan demikian akan timbul rasa nasionalisme yang tinggi. Nilai budaya yang terdapat dalam kesenian reog Ponorogo antara lain adalah kejujuran, keberanian, kesatriaan, rasa percaya diri, estetika, rasa persaudaraan yang tinggi, sopan santun, dan kasih sayang antar sesama.
Akhirnya kebudayaan yang baik akan memberikan pengaruh yang baikdan kebudayaan yang buruk akan memberikan pengaruh yang buruk pula bagi terbentuknya karakter.
Penulis: Lusy Novitasari, M.Pd
Dosen STKIP PGRI Ponorogo
*Artikel telah dimuat Jawa Pos Radar Ponorogo, edisi September 2016.