Gaung Literasi di Pedalaman
Diberlakukannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, bersamaan peringatan hari buku dunia 23 April lalu, Ditjen Dikdasmen meluncurkan program Gerakan Literasi Sekolah (GLS).
Tentu kita harus menyambut hangat upaya tersebut dengan menerapkan gerakan membaca buku nonpelajaran selama lima belas menit sebelum siswa memulai pelajaran di sekolah masing-masing.
Pemerintah tidak serta-merta meluncurkan program GLS. Pasti ada latar belakang dan iktikad baik sehingga program tersebut dicetuskan. Mengingat kemajuan negara ditentukan oleh minat baca masyarakat.
Di negara maju seperti Jepang, Korea, dan Amerika misalnya, membaca jadi kebutuhan pokok. Maka tidak heran saat di kereta dan tempat umum lainnya orang sibuk membaca. Sementara di Indonesia, Jawa misalnya (maaf!), budaya seperti itu mendapat cibiran, koyo sok pinter-pintero dewe (seperti merasa pintar sendiri).
Memangkas paradigma sempit dengan membiasakan membaca sejak usia dini barangkali merupakan bentuk revolusi kultural program GLS. Pesan penting lainnya ialah mendukung kurikulum pendidikan kita saat ini yang menekankan pada pembelajaran berbasis teks.
Tahun 2013 UNESCO merilis data indeks tingkat membaca orang Indonesia hanya 0,001. Artinya, hanya ada 250 ribu orang yang punya minat baca dari 250 juta penduduk Indonesia. Jika kita bandingkan dengan penikmat internet yang mencapai 88,1 juta, tentu sebuah angka fantastis jika hal itu terjadi pada minat baca kita.
Temuan tersebut berkorelasi dengan daya tahan baca masyarakat Indonesia. Rata-rata lama membaca buku masyarakat Indonesia hanya enam jam per minggu (Kompas, 15/9/2015).
Berbeda dengan India yang rata-rata membaca buku sepuluh jam per minggu, Thailand sembilan jam per minggu, serta Tiongkok delapan jam per minggu (Kompas, 4/2/2016). Bukankah telah terbukti program GLS wajib dilaksanakan sekolah di seluruh negeri?
Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan sekolah di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal)? Di daerah 3T buku mata pelajaran saja sangat minim, apalagi buku di luar mata pelajaran, apakah mungkin program semacam itu dapat diimplementasikan?
Pendidikan kaum tertindas
Literasi yang coba kita terapkan dalam pendidikan kita, berkembang dari pedagogi kritis. Digagas oleh Paulo Freire, seorang pendidik asal Brazil yang gencar menyuarakan keadilan bagi anak didiknya karena situasi politik yang melanda negaranya. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan.
Kasih sayang pada muridnya yang mengilhami Freire melahirkan karya-karya besar. Terpengaruh kuat oleh mazhab Frankfurt, post modernisme, dan non essensialisme, bukunya selalu memuat pemikiran-pemikiran bagaimana pendidikan harus dilaksanakan dalam upaya membebaskan manusia dari situasi sosial dan pendidikan yang menekan sekaligus menindas.
Salah satu bukunya yang terkenal berjudul Pedagogy of the Opressed (Pendidikan Kaum Tertindas). Freire menekankan pentingnya menumbuhkan kesadaran siswa untuk berpikir kritis terhadap berbagai bentuk ketidakadilan sosial.
Hasil akhir dari pedagogi kritisnya berupaya membebaskan manusia dari tatanan sosial ekonomi yang memarjinalkan kaum tertindas sebagaimana termanifestasikan dalam proses pendidikan.
Dalam bahasa Aan Frimadona Roza (2015), dimaknai sebagai pendidikan yang selalu memertanyakan, mengkritisi pendidikan itu sendiri dalam hal-hal fundamental baik dalam tataran filosofis, teori, sistem, kebijakan maupun implementasi.
Seiring perkembangannya, literasi diidentikkan dengan kegiatan mengkaji melalui membaca teks dan realitas. Dalam buku Literacy: Profile of America’s Young Adult, literasi kontemporer didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, Budi Darma menyebutnya manusia literate yang berarti melek baca.
Terlepas dari kepentingan politik, ideologi, dan teori yang rumit, sejatinya literasi itu sendiri bertujuan meningkatkan produktivitas dan kualitas anak didik, serta menjadikannya manusia yang lebih manusiawi, bukan sebaliknya.
Pesan akhir
Tampaknya gugatan Paulo Freire masih relevan jika didengungkan pada kondisi negeri kita saat ini. Sebab Indonesia tidak melulu soal Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Justru daerah 3T tak kalah penting untuk diperhatikan. Mereka yang ada di pedalaman secara tidak sengaja merasa tertindas dengan adanya program GLS.
Sekolah-sekolah di kota besar dapat saja menerapkan GLS tanpa aral yang berarti. Bahkan, di beberapa sekolah sudah melaksanakan program baca buku di luar mata pelajaran sebelum program GLS diproklamirkan. Seperti halnya yang diterapkan guru di SMAN 70 Jakarta (lihat: Minat Baca Disiasati, Kompas, 30/1/2016). Sementara mereka yang ada di pedalaman, hanya dapat gigit jari. Karena minimnya ketersediaan buku dan infrastruktur.
Mereka juga berharap cemas menaruh impian kepada pemerintah agar dapat menikmati GLS. Oleh karena itu, kebijakan yang baik semacam GLS, hendaknya dibarengi dengan kesiapan infrastruktur, jaringan listrik dan komunikasi, SDM yang bertugas, serta pengiriman buku merata ke pelosok negeri.
Yang tak kalah penting, sebaiknya sebelum keseluruhan perangkat pendukung siap, tidak usah terburu-buru mencanangkan program hanya karena momentum hari peringatan. Sebagaimana GLS dicetuskan untuk memeringati hari buku dunia. Jangan sampai mereka yang ada di pedalaman hanya mendengar gaung dari kebijakan mulia soal literasi tanpa dapat berbuat apa-apa. Sebenarnya, mereka juga ingin menerapkan lima belas menit berekreasi dengan buku nonpelajaran sebelum jam pertama pelajaran dimulai. Terlebih, mereka juga punya keinginan besar menyumbang peran dalam mendongkrak rendahnya minat baca masyarakat Indonesia.
Penulis: Nur Wachid, S.Pd
Alumni STKIP PGRI Ponorogo Tahun 2013, Wartawan Jawa Pos Radar Madiun
*Artikel telah dimuat Jawa Pos Radar Ponorogo, Edisi September 2016.