Hancurkan Mitos Bakat
Jika selama ini, pembelajaran keterampilan menulis tersesat di belantara bakat; maka Anda wajib untuk mengubah pola pikir bahwa menulis bukanlah persoalan bakat. Kemahiran menulis adalah soal pelatihan dengan jumlah yang tak terhitung kali. Kemahiran menulis hanya mengenal rumus seoptimalkan mungkin dilakukan, diiringi kerendahan diri untuk terus-menerus menangguk pengalaman kepenulisan hakiki.
Pengalaman saya sendiri: saya tak pernah berpikir bakat. Tetapi jika Anda memaksa bahwa bakat itu berpengaruh besar pada kemahiran menulis, maka coba kenali tanda-tanda kebakatan itu. Tanda-tanda seseorang yang memiliki bakat menulis diantaranya adalah: (i) penggelisah, (ii) kritis, (iii) pelamun, (iv) perenung, (v) pemikir, (vi) pengembara, (vii) penziarah hidup, (viii) pemusik (penyuka musik), (ix) penyendiri, (x) pemurung, (xi) pencinta, (xii) pen-diary, (xiii) pembaca buku (dll), (xiv) penikmat lukisan, (xv) penonton film, (xvi) peng-arif kehidupan, dan (xvii) pemulung hikmah. Semakin banyak tanda-tanda itu pada diri Anda, tidak ada alasan untuk tidak mengakui: bahwa diri Anda berbakat menulis.
Dengan demikian, mitos bakat menjadi tidak seberapa penting. Robohkan saja. Tetapi, jika Anda ingin memanfaatkannya, tentu hanya akan berandil pada kecepatan dalam mewujudkannya. Jika tidak melatihkannya secara intensif, baik secara kuantitas maupun kualitas; sungguh tidak akan ada artinya apa-apa keberadaan bakat itu. Dalam konteks pengalaman, bakat sering dijadikan “kambing hitam” untuk menutupi beberapa kelemahan mental macam: malas, tak mau berpikir kritis, enggan berlatih, dan takut dinilai oleh orang lain.
Padahal, kemahiran menulis hanya menuntut beberapa hal berikut: (a) pentingnya impian (dream); (b) niat yang benar; (c) langkah dan arah yang benar; (d) melatihkannya dengan jumlah tak terhitung; (e) sediakan waktu tak terbatas setiap hari (tergantung kesediaan diri Anda); (f) frekuensi itu lebih penting (ingat hukum pengulangan dalam pemeroleh kemahiran); (g) sandingkan dengan kebiasaan (kemahiran) membaca; (h) bingkai dengan kemahiran berpikir; (i) ciptakan komunitas sendiri untuk mewujudkannya; (j) jangan menyerah atas kesulitan, ulangi, ulangi, ulangi; (k) ingat kegagalan bukanlah musuh kemahiran; (l) ingatlah bahwa menulis itu ibadah terindah; (m) bahkan menulis itu jihad termudah; dan (n) menulis itu menyehatkan jiwa dan pikiran.
Ingat!
JeffGoins, menyindirkannya begini, “Apa yang tidak membuat penulis hebat adalah bakat atau intuisi. Dan yang membuat penulis besar adalah satu hal: ketekunan. satu hal.” Untuk inilah, maka ketekunan akan menjadi kuncinya. Orang Jawa bilang, “Sok sapa sing sing tekun, mangka bakal bakal tekan.” Tugas kita adalah beristikomah dalam berlatih menulis dengan tekun, maka akan tercapailah kemahiran itu.
Bayangkanlah, Anda menulis satu halaman sehari, dalam setahun maka akan menghasilkan sebuah buku yang tebal: 365 halaman. Jika seminggu misalnya, Anda menghasilkan sebuah cerpen, maka Anda pun akan mampu melahirkan buku kumpulan cerpen sekitar 50 cerpen dalam setahun. Andaikan, Anda menuliskan satu puisi dalam sehari, maka Anda pun akan menghasilkan kumpulan puisi dengan jumlah 365 puisi. Masalahnya, hanyalah butuh istikomah, tekun berlatih, dan memiliki mimpi besar untuk merengkuh kemahiran itu,
Ketekunan dalam pengalaman banyak orang memiliki kualitas besar mengingat ketekunan hakikatnya adalah sebuah kecermatan di satu sisi dan mental tak menyerah pada sisi yang lain. Bagaimana mempraktekkan ketekunan ini dalam menulis?
Berikut tip sederhana mempraktikkannya: (a) tekun mengumpulkan informasi, baik langsung maupun tidak langsung; (b) tekun mendokumentasi informasi sesuai dengan pola berpikir Anda; (c) tekun merenungkan, memikirkan, atau mengritisinya; (d) tekun menuangkan gagasan atau respon pikiran dan rasa; (e) tekun melatihkannya dengan kesabaran ekstra; dan (f) tekun untuk menjadi editor tulisan kita sendiri. Mudahkan? Yang jelas, tunggu apa lagi. Tuliskan tentang apa saja. Kata kuncinya tema apapun bisa menjadi tulisan. Pesan besar literasi adalah pemahaman, penyadaran, dan pemaknaan; sehingga kita mampu membuat “jembatan keledai” berkaitan dengan berbagai bidang (masalah) untuk menemukan solusi dan maknanya dalam praksis kehidupan. []
Penulis: Dr. Sutejo, M.Hum
Ketua STKIP PGRI Ponorogo, Pengagas Sekolah Literasi Gratis (SLG)
*Artikel telah dimuat Jawa Pos Radar Ponorogo, edisi Oktober 2016.