Inspirasi Madani dari Habibie
: kenangan Istana Negara 21 tahun lalu
Oleh: Dr. H. Sutejo, M.Hum.
Begitu mendengar Prof. Dr. Habibie (selanjutnya Pak Habibie), meninggal dunia, duka dan imajinasi saya berkeliaran. Doa hati kecil berkata, “Ya Allah, karuniailah surga, ampunkan dosa dan kekurangannya, serta berikanlah tempat terindah baginya.” Presiden ke-3 RI itu, pernah mengundang saya untuk mengikuti upacara Hari Guru Nasional dan Internasional di Istana Negara, 25 November 1998, Pukul 10.00 WIB. Karena pertimbangan keamanan, upacara dilakukan secara tertutup di dalam Istana. Maklum, kala itu, Jakarta didominasi demo –sisa-sisa demo Mei 1998–. Sesaat memasuki Istana, begitu sangat ketat pemeriksaan yang dilakukan.
Dalam pidatonya kala itu, inspirasi menarik dari Pak Habibie adalah tentang pentingnya kehadiran masyarakat madani dalam kehidupan berbangsa kita. Istilah “madani” berasal dari kata “madaniah” yang berarti peradaban. Secara historis, merujuk “kota Nabi” di Arab yang bernama Yatsrib (kini, Madinah). Karakteristik kehidupan sosial di Madinah pada masa Nabi yang dianggap ideal menginspirasi pengorganisasian sosial modern yang ideal pula dengan nama “masyarakat madani”. Sebuah masyarakat yang sangat toleran, mengakomodasi berbagai perbedaan suku, ras, dan tradisi; tetapi terbangun sebuah hubungan sosial masyarakat yang kuat.
Hingga saat ini, sebenarnya perbincangan tentang masyarakat madani tidak pernah habis diperdebatkan dan dikontestasikan, berikut relevansinya dengan kehidupan modern untuk membangun kebudayaan yang berkeadaban. Penggunaan istilah madani seringkali dipersandingkan dengan masyarakat demokratis, masyarakat sipil, masyarakat warga, masyarakat beradab, atau istilah dalam bahasa Inggrisnya, civil society. Semua istilah berebut posisi dan dominasi dalam berbagai wacana sosial dan kebudayaan mutakhir.
***
Berikut gambaran sekilas tentang civil society atau masyarakat sipil, masyarakat warga, masyarakat beradab, dan masyarakat demokratis agar tidak terjadi kerancuan pemahaman. Istilah masyarakat madani sering diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi civil society. Civil society diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia jadi “masyarakat sipil”. Masyarakat sipil sering disamakan dengan “masyarakat warga”; sementara masyarakat warga dikonotasikan dengan “masyarakat yang beradab”.
Istilah beradab sendiri berasal dari kata “peradaban” atau dalam bahasa Arab “madaniah”, cikal-bakal istilah “madani”. Hakikat masyarakat madani dengan sendirinya adalah sebuah istilah modern, meskipun inspirasinya berasal sejak zaman Nabi. Dalam konteks modern, tentu keberadaan masyarakat madani berada dalam sebuah sistem sosial yang demokratis. Sebagaimana diimpikan dalam perkembangan kehidupan bangsa Indonesia, dalam beragam lapisan dan dimensinya.
Mendiskusikan kembali pesan Pak Habibie, tentang pentingnya masyarakat madani maka kita penting untuk mempertajam tentang hakikat dan pengertiannya. Larry Diamond misalnya, mendefinisikan masyarakat sipil sebagai lingkup kehidupan sosial terbuka, sukarela, otonom dari negara, lahir secara mandiri, berswadaya secara parsial setidaknya, dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai bersama. Sementara itu, Mohammad AS Hikam, menyampaikan konsep bahwa masyarakat sipil sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain, keswasembadaan dan keswadayaan, kesukarelaan, keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya, dan kemandirian yang tinggi dari negara.
Dari keduanya, dapat dipahami –dan dieksplorasi lebih jauh– bahwa keberadaan masayarakat madani itu menuntut adanya: (a) kemandirian, keswadayaan, independensi dari warga sebagai kekuatan yang mampu mengontrol kekuasaan negara; (b) seperangkat nilai, norma dan aturan bersama yang dipatuhi seluruh masyarakat; (c) gerakan-gerakan perlindungan hak-hak warga, konsumen, kaum minoritas, dan korban kekerasan; (d) perkumpulan berbasis keagamaan, aliran kepercayaan, kesukuan, kebudayaan yang membela hak-hak kolektif; (e) pengorganisasian warga yang bergerak di bidang produksi dan penyebaran ide-ide, berita, informasi publik, dan pengetahuan umum; dan (f) perkumpulan dan jaringan perdagangan yang produktif. Inilah, yang sangat diimpikan oleh mantan Presiden RI ke-3 itu. Itu disampaikan dalam kondisi transisi demokrasi pasca pengunduran diri Pak Harto, Presiden ke-2 RI yang dikenal sangat perkasa dalam berbagai bidang.
Di sinilah, maka pasca lengsernya Pak Harto, bermunculan NGO dan LSM, baik tingkat nasional maupun internasional. Kala itu pun, (pada 2002-2003) saya memiliki LSM yang berafilisasi di tingkat nasional, dengan founding internasional, yakni Partnership Kanada dan Asia Foundation. Penanda-penanda kehadiran masyarakat madani memang diantaranya ditandai oleh semakin meningkatnya kesadaran hak masyarakat sipil. Hingga saat ini, hal yang menarik diambil dari inspirasi kepemimpinan Pak Habibie adalah lahirnya sejumlah organisasi sosial kemasyarakatan, asosiasi, yayasan, komunitas, dan sebagainya. Yang paling menonjol adalah organisasi sosial kemasyarakatan, yakni organisasi yang muncul dari bawah atas dasar kesadaran masyarakatnya sendiri, bukan bentukan negara atau intervensi dari negara. Di jelang dan awal kemerdekaan misalnya, keberadaan ini –sebenarnya– sudah ada.
Selanjutnya, adalah adanya asosiasi penerbitan. Asosiasi ini merupakan perkumpulan masyarakat yang bergerak secara independen dalam rangka produksi ide-ide, berita, informasi dan pengetahuan umum. Di dunia pendidikan, lahirlah berbagai yayasan atau perkumpulan sebagai penyelenggara sekolah swasta, yaitu inisiasi swasta untuk menyelenggarakan pendidikan secara mandiri. Tidak mengherankan, di Indonesia keberadaannya jauh lebih banyak perguruan tinggi yang didirikan oleh yayasan atau perkumpulan.
Tidak saja itu, kemudian muncul berbagai bentuk gerakan sosial lain seperti yayasan pembela hak-hak kaum perempuan, yang menginisiasi masyarakat untuk mengadakan pendampingan dan pembelaan kaum perempuan yang menjadi korban diskriminasi, pelecehan seksual, dan korban kekerasan lainnya.
Berbagai komunitas pun, hadir sebagai penanda masyarakat madani. Komunitas penjuang hak-hak kaum difabel msialnya, adalah inisiasi masyarakat untuk mengadakan pendampingan dan pembelaan terhadap kelompok difabel atau penyandang disabilitas. Termasuk misalnya, juga autis dan berbagai kekurangan lainnya. Di bidang ekonomi, muncul misalnya asosiasi perlindungan konsumen, yang menginisiasi masyarakat untuk mengadakan perlindungan terhadap hak-hak konsumen.
Hal-hal di atas, sesungguhnya –mau tidak mau—merupakan warisan inspirasi tentang pentingnya masyarakat madani yang disampaikan oleh Pak Habibie, meskipun tidak begitu lama dia menjabat sebagai presiden RI. Sebuah pelajaran –warisan—yang menarik direnungkan sepanjang massa.
***
Permasalahannya adalah adakah kemerdekaan dan kemandirian pendidikan tinggi (PT) kita? Sebuah pesan besar Pak Habibie, sebagai penanda masyarakat madani adalah kemandirian dan kemerdekaan. Tampaknya, kita penting untuk terus mengkajinya, mengritisinya, sehingga jangan sampai PT kita (bangsa ini) terkooptasi oleh kepentingan internasional –yang jauh dari pemberdayaan dan pemandirian alumninya–.
Memadanikan pendidikan di PT karena itu, civitas akademika kampus wajib menyadari –sesadar-sadarnya—bahwa keberadaannya adalah sebagai kontrol negara. Bukan sebaliknya, berlomba-lomba mendekat, dan mbebek kepada negara. Ingat bagaimana penanda masyarakat madani yang pertama-tama adalah adanya kemandirian, keswadayaan, independensi dari warga sebagai kekuatan yang mampu mengontrol kekuasaan negara. Sangat ironis ketika, PT berlomba memberikan gelar doktor honoris kausa kepada politikus dan pejabat sebagai “induk pendekatan” dan pengathokan. Dalam bahasa era Pak Harto dulu dikenal istilah, ABS. Asal Bapak Senang.
PT dengan sendirinya, dalam konteks masyarakat madani diharapkan mampu mendorong terbentuknya seperangkat nilai, norma dan aturan bersama yang dipatuhi seluruh masyarakat. Bukan lembaga elitis yang tercerabut dari akar-akar kehidupan sosial-kemasyarakatan. Kelemahan selama ini, PT seakan lebih mengerti, lebih terdidik, dan lebih segalanya dibandingkan masyarakat. Ini sungguh ironis dalam pandangan konsep madaniah.
Selanjutnya, PT hendaknya mampu memfasilitasi lahirnya gerakan-gerakan perlindungan hak-hak warga, konsumen, kaum minoritas, dan korban kekerasan. PT wajib menjadi pelopor anti kekerasan. Sinyalemen PT tertentu sebagai sarang radikalisme, tentu menjadi ujian besar bagaimana PT menjadi kawah condrodimuka kehidupan madani yang diimpikan oleh Pak Habibie.
Demikian juga, PT wajib menjaga kehidupan dan keberadaan perkumpulan berbasis keagamaan, aliran kepercayaan, kesukuan, kebudayaan yang membela hak-hak kolektif untuk bisa hidup bersama. PT tidak boleh ekslusif, pun pandangan keilmuannya, tidak semata-mata ilmiah an sich. Lihatlah, yang dibutuhkan oleh masyarakat: lahirnya budaya populer yang mengedapankan lahirnya kerukunan dalam berbagai dimensi dan ragamnya.
Lebih dari itu, PT dituntut mampu melakukan pengorganisasian warga yang bergerak di bidang produksi dan penyebaran ide-ide, berita, informasi publik, dan pengetahuan umum secara ilmiah, kreatif, dan inovatif. Jangan sampai misalnya, PT justru menjadi simbol keresahan masyarakat dengan berbagai “temuan” atau “kajian minor”. Asas proporsionalitas, mana yang bisa diekspose dan mana yang hanya menjadi konsumsi tertutup mestinya sudah dipertimbangkan secara masak.
Akhirnya, PT pun diharapkan mampu memelopori lahirnya perkumpulan dan jaringan perdagangan yang produktif. Ini mutlak dalam kehidupan mutakhir, terlebih era digitalisasi. PT bisa mendorong civitas akademikanya, masyarakat, dan berbagai lembaga mitra untuk mengembangkannya. Bukankah banyak insan PT yang kemudian menjabat “direksi” atau menteri?
Dengan demikian, mari yang terpenting adalah kita menyadari pesan “kemadanian PT” dalam konteks kekinian. Berlomba memajukan PT dengan kemandirian dan kreativitas adalah impian semua lembaga, tanpa mengerdilkan PT yang lain. Bukankah karakter dan visi PT berbeda-beda? Jadikan PT tempat persemaian inspirasi kehidupan masyarakat madani, sehingga akan terbangun masyarakat madani yang kuat, sebagai faktor besar untuk lahirnya bangsa yang kuat dan hebat! []
Sutejo adalah
Ketua STKIP PGRI Ponorogo,
Ketua Litbang PCNU Ponorogo,
Anggota Dewan Pakar PC ISNU Ponorogo,
Ketua Bidang Pengembangan SDM PGRI kabupaten Ponorogo,
Anggota Dewan Pakar PW LTNU Jawa Timur.
Previous