Literasi; Inci Gerak Hidup
Mengapa literasi menjadi inci gerak hidup seseorang, inci gerak hidup hakikatnya setiap jarak langkah kita penting untuk bergaul dengan literasi. Belajar literasi sama halnya menaruhkan segala hidup dalam satu totalitas pemikiran yang bermakna. Bukan hanya sebagai bentuk keterpaksaan, literasi lebih kepada tempat yang mampu menerima segala peraduan batin dan pikiran yang dialami dalam kehidupan. Literasi dalam penuanggannya bisa melalui bentuk keberaksaraan dengan jalan menulis, dan membaca.
Kreativitas besar yang menuntun pada pemuaraan titik temu yang bermakna, yaitu: karya. Memahami literasi sebagai inci gerak hidup, tiba-tiba teringat ungkapan Seno Gumirah Ajidarma mengenai salah satu jalan literasi dengan menulis, yaitu; “Apa boleh buat, jalan seorang penulis adalah jalan kreativitas, di mana segenap penghayatannya terhadap setiap inci gerak kehidupan, dari setiap detik dalam hidupnya, ditumpahkan dengan jujur dan total, seperti setiap orang yang berusaha setia kepada hidup itu sendiri—satu-satunnya hal yang membuat kita ada”.
Dari ungkapan Seno Gumira Ajidarma di atas, dapat dilihat literasi bukan saja sekedar wadah dalam menuangkan benak sesak atau kegembiraan. Tetapi literasi dapat meuntun manusia menemukan puncak hidup yang lebih mulia, yaitu: (i) literasi mampu mengasah kreativitas, (ii) literasi mampu menggerakkan hidup, (iii) lietrasi mampu memaknai setiap gerak hidup, (iv) literasi mampu menuntun pada kejujuran, (v) literasi bisa melatih kesetiaan (kepada hidup, diri sendiri, amupun dengan yan lainnya), dan (vi) literasi mampu membuat seseorang menjadi ada dalam kehidupan.
Literasi mampu mengasah kreativitas, dalam setitik gores tulisan yang dituangkan adalah pemetaan imajinasi dan gagasan yang menjadi pondasi makna yang utuh. Kenapa kemudian literasi mampu mengasah kreativitas, dengan membaca akan menemukan ide-ide, gagasan-gagasan baru yang kemudian di ungkapkan dalam bentuk tulisan sampai menemukan ide yang utuh yang dapat memunculkan sesuatu hal yang baru yang belum pernah ada sebelumnya. Misal dalam menulis puisi, kreativitas muncul dalam penggunaan bahasa-bahasa, majas-majas, imaji-imaji, rima, irama, tipografi yang membuat puisi mampu menjadi bentuk yang hidup dan mampu menyentuh pembaca. Literasi mampu menggerakan hidup, segala bentuk tumpahan tulisan dalam berliterasi adalah sepenuhnya ungkapan batin yang mendalam. Bukan tidak mungkin jika orang akan menjadi termotivasi ketika membaca sebuah tulisan yang human interestnya tinggi, merasa empati setelah membaca tulisan yang beraroma keterbatasan atau kekurangan hidup seorang tokoh, mampu menyulut rasa kuat dalam menghadapi hidup ketika membaca perjuangan tokoh dengan latar belakang kekurangan, serta mampu menyelesaikan permasalahn hidup dari proses berliterai.
Lietrasi mampu memaknai setiap gerak hidup, tiba-tiba teringat salah penulis, yaitu Arswendo Atmowiloto, yang memaknai hidupnya dari berliterasi. Ketika itu dimuali dari perjalanan cinta yang kandas, yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan-tulisan agar si perempuan tau kalau ia sangat sayang dengannya. Namun sayang bepuluh-puluh karyanya tidak berhasil dimuat di media. Arswendo pun menulis dengan terus menerus sampai dimana ia megatakan ”Jika aku dulu tidak patah hati, mungkin aku tidak akan menjadi seorang penulis seperti saat ini”.
Ungkapan itulah yang membuktikan literasi mampu memaknai setiap gerak hidup. Literasi mampu menuntun pada kejujuran, jujur dalam kehidupan merupakan bagian yang sangat diperhitungkan dalam menumbuhkan kepribadian diri yang baik. Melalui kejujuran tidak akan timbul kesimpangsiuran juga kesalahapahaman yang semakin menjadi. Literasi mengantarkan pada pembelajaran untuk jujur. Kejujuran yang muncul dalam berliterasi lebih mendalam pada hati. Karena bagaimanapun ketika jujur hati akan terasa begitu tenang. Karena literasi juga sangat meperhitungkan kejujuran dalam proses berliterasi, misal seperti kejujuran dalam menuangkan rasa, dan perasaaan melalui bait-bait puisi atau cerita pendek.
Melalui kejujuran tulisan yang dibuat akan terasa lebih hidup dan memiliki pesan yang mendalam. Literasi bisa melatih kesetiaan (kepada hidup, diri sendiri, amupun dengan yang lainnya), penegembaraan pemikiran dan penuangan makna dalam setiap gores literasi adalah salah satu bentuk kesetiaan kepada hati dan fikiran. Bukan semacam berciuman, melainkan lebih pada memanfaatkan hati dan fikiran yang dianugrahkan Sang Kuasa untuk berpikir dan jauh masuk pada rasa intropeksi diri, itulah kesetiaan diri sendiri yang kemudian dituangkan dalam tulisan yang bermakna.
Dengan menuangkan jejak hidup dalam bentuk tulisan, sama halnya kita setia pada hidup yang telah dijalani dan setia mengambil ilmu dari perjalanan yang lama, itulah kesetiaan hidup. Atau juga memahami setiap benda disekelilingnya (batu, daun, air, tanah, debu, bulan, bintang, embun, salju, kabut) adalah nyawa yang bernafas dalam hidupnya masing-masing. Dalam literasi kesetiaan itu dimaknai dengan menempatkan benda-benda itu sebagai saudara yang sama, dan memperlakukan juga dengan sama.
Literasi mampu membuat seseorang menjadi ada dalam kehidupan, pada titik akhir literasi mampu sebagai tanda yang menandai seseorang akan selalu ada dalam kehidupan di masanya, kehidupan sekarang, bahkan sampai kehidupan yang akan datang. Karena bagaimanapun seperti kata Pramodya Ananta Toer “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah.” Melalui literasi dengan begitu kemampuan keilmuan, kemampuan hati, kemampuan pikiran, kemampuan segalanya dapat diukur melalui hasil karya yang baik. Misal seperti Chairil Anwar berkat literasi berpuisinya ia dikenal sampai saat ini sebgai “Sang Jalang” dalam puisinya yang berjudul “Aku”, yang memberikan persepektif panjang mengenai pengembaraan hidupnya yang dapat dilihat dari puisi-puisinya yang banyak terdokumentasi. Oleh karena itu, apa yang diungkapkan Seno Gumirah Ajidarma di atas menjabarkan betapa kompleksnya literasi dalam mengemban sisi pemaknaan dalam kehidupan. Lalu apakah pelaku hidup ini mampu menjadi penerus jejak jejak literasi yang agung pula?
Penulis: Nanang Eko Saputro, S.Pd.
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo Tahun 2016, Pendidik di SMAN 01 Batu Sopang, Kalimantan Timur.
*Artikel telah dimuat Jawa Pos Radar Ponorogo, edisi September 2016.