Luluhnya Pendidikan Dongeng untuk Anak
Salah satu warisan budaya Indonesia adalah dongeng. Setiap daerah memiliki budaya dongeng tersendiri. Bukan sekadar menghibur, namun juga mendidik: menanamkan akhlak dan moral terhadap anak. Sayangnya, warisan nenek moyang yang disebar dari mulut ke mulut itu mulai luntur terbawa arus era digitalisasi.
Divisi Pendidikan Anak Pusat Konsultasi dan Layanan Psikologi (PKLP) Universitas Negeri Surabaya, termotivasi untuk memberdayakan budaya dongeng. Dongeng dikenalkan untuk memasukkan nilai-nilai keberagaman, termasuk nilai toleransi, tenggang rasa, dan saling menghargai antarsesama. Dipandu Kak Nitrit, peserta Sanggar Kreativitas dan Tempat Penitipan Anak Rumah Ceria menikmati dengan saksama. Boneka dan gamabar digunakan sebagai alat peraga tokoh, sehingga menimbulkan keunikan dan ketertarikan bagi pendengar.
Sebelum acara di Surabaya, Gerakan Nasional #AyahBercerita tahun 2015, komunitas Pendongeng untuk Kemanusiaan (GePPuK), mengajak para ayah agar meluangkan waktu untuk bercerita kepada anak. Tuturnya, kebiasaan mendongeng memiliki manfaat luar biasa, di antaranya menanamkan akhlak anak sejak dini, membentuk karakter positif, dan meningkatkan bonding atau hubungan emosional positif antara orang tua dan anak. Karenanya, siapa saja harus bisa mendongeng, utamanya guru dan orang tua yang mempunyai peran penting dalam mendidik anak.
Woolfson (dalam Puspita: 2009) menyatakan, dongeng merupakan aktivitas tradisional yang jitu bagi proses belajar dan melatih aspek emosional dalam kehidupan anak-anak. Emosi anak yang masih labil ini mudah dibentuk dan dipengaruhi lewat dongeng. Pengajaran pendidikan yang positif akan membentuk pribadi positif anak. Dongeng dapat digolongkan media yang sangat efektif untuk menanamkan nilai dan etika anak. Nilai-nilai yang terdapat dari dongeng adalah nilai kejujuran, kerendahhatian, kesetiakawanan, kerja keras, dan lain sebagainya. Nilai positif lain, dongeng berpotensi memberikan sumbangsih besar membangun jati diri anak yang siap ditempa oleh lingkungan.
Selain itu, dongeng sebagai sarana mewariskan nilai-nilai luhur kepribadian anak akan membantu menjalani masa tumbuh kembangnya. Anak dapat memahami pola cerita melalui tokoh yang terlibat. Kemudian, akan masuk dalam alur cerita yang didengarnya. Dalam hal ini, intelektualitas anak akan terbentuk. Selain itu, anak melalangbuana memasuki dunia fantasi,terseret menuju dunia antah-berantah, lalu membayangkan “kehidupan lain” yang tidak ada di dekat mereka, sehingga menumbuhkan dan menggerakkan daya ciptanya (Thobroni, 2008: 6-8).
Lebih lanjutnya, pendidikan dongeng kepada anak akan bermanfaat pada: Pertama, mempererat ikatan batin. Keluarga, terutama orang tua merupakan agen terpenting dalam menyongsong perkembangan dan pematangan anak. Meskipun kegiatan di luar padat, entah karena profesi atau lainnya, orang tua harus berperan aktif. Nahasnya, keberhasilan anak tergantung bagaimana cara mendidik di lingkungan keluarga. Salah satu cara mendidik yang tepat, yaitu mendongeng. Orang tua tak perlu menggurui atau menasehati. Dari dongeng yang dibacakan, secara otomatis memberikan pelajaran bagi anak.
Kedua, merangsang daya imajinasi. Anak usia dini dengan pengetahuan yang minim, mudah sekali dimanfaatkan untuk memberikan pelajaran yang dapat membantu proses berpikirnya. Kecerdasan kognitif anak dapat dibentuk melalui daya imajinasi lewat cerita dongeng. Ketika dongeng berhasil dibacakan, panca indera anak akan mengvisualisasikan mengikuti alur cerita sesuai imajinasinya. Kemudian, anak membayangkan bahwa ikut andil dalam cerita, lalu anak menyimpulkan pendidikan yang terkandung dalam cerita tersebut. Keterlibatan secara aktif dalam aktivitas dongeng akan memberikan pengalaman konkret pada anak, sehingga akan tertanam kuat dalam struktur kognitif anak.
Ketiga, media bersosialisasi. Otak manusia adalah perkakas naratif—hidup dan bergerak dalam cerita (Rosen, 1996). Dalam buku cerita terkadang membicarakan masalah manusia, menampilkannya, menggambarkan demikian rupa, sehingga anak percaya cerita sebagai sesuatu yang hidup di depan matanya, seperti kisah nyata. Ketika itulah, dongeng menjadi media bersosialisasi karena merefleksikan keyakinan anak. Cerita dongeng menyajikan tentang cita-cita, tanggung jawab, teladan dan lainnya sehingga dapat mengubah dan membentuk karakter anak.
Menelisik beberapa manfaat dongeng di atas, sudah sepantasnya budaya dongeng dihidupkan kembali sebagai bentuk pertahanan budaya. Peran aktif keluarga dalam era digitalisasi harus diperkuat. Budaya dongenglah yang mampu mengendalikan, mengontrol, dan menyiasati perkembangan anak, baik fisik maupun psikisnya. Oleh karena itu, dengan kembali melestarikan budaya dongeng dipastikan anak menjadi pemangku budaya bangsa yang kuat. Mari kita kembalikan pendidikan budaya dongeng, di samping budaya gadget yang telah merabah memanjakan masyarakat Indonesia.
Suci Ayu Latifah
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP PGRI Ponorogo, Panitia SLG STKIP PGRI Ponorogo.
Sumber: Radar Ponorogo, 21 Juli 2017.