Membaca: Kunci Sukses Menulis Arafat
Oleh: Dr. H. Sutejo, M.Hum.
Dalam beberapa kali diskusi dengan Arafat Nur, baik di rumah, di rumah buku Spectrum Center, di kampus, dan di Home Stay Kampus; aroma pesan membaca –tampaknya menjadi yang paling utama—di samping tip lainnya. Membaca, membaca, membaca, baru menulis. Bahkan, di Vlog-nya, dia bilang: membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, baru menulis. Hehe.
Arafat Nur sendiri adalah novelis Aceh yang dahsyat. Paling tidak, itu dibuktikan dengan pencapaian di dua ajang prestisius: (a) Pemenang DKJ tahun 2016 dan 2010, dan (b) pemenang Kusala (Khatulistiwa Literacy Award) pada 2011. Dia juga tampil mengisi dua sesi acara di Asean Literary Festifal (ALF) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 21-23 Maret 2014. Kala itu, Arafat Nur memaparkan masalah konflik Aceh di sesi Writter’s Conner. Malamnya, membacakan petikan novel terbarunya Burung Terbang di Kelam Malam dalam sesi Performance Arts. Puluhan buku berkualitas pun sudah terlahir dari rahim tangannya.
***
Mengapa membaca? Membaca apa? Sukses seorang penulis adalah sukses dirinya sebagai pembaca pula. Nyaris tak ada penulis besar yang bukan pembaca hebat. Soal kemudian, ada seorang pembaca belum menjadi penulis, itu hanya soal visi dan waktu belaka. Eh, juga soal latihan yang penting untuk dilipatgandakan.
Dengan membaca kita akan terbuka cakrawala, wawasan, pengetahuan, pengalaman orang lain, kualitas karya lain, dan seambreg lagi manfaat membaca yang dapat dipetik. Menulis karya fiksi misalnya, paling tidak dituntut pula begitu banyak membaca karya-karya fiksi orang lain. Novel, cerpen, roman, dan karya klasik lainnya. Untuk apa? Tentu, –yang pertama-tama– untuk menemukan wawasan estetikanya, menemukan gaya pengucapan, berikut bagaimana pengolahan karya yang asyik dan klop dengan bawah sadar pembaca.
Membaca karya orang lain adalah penting, bukan berarti untuk menghilangkan diri, tetapi untuk sekadar belajar bercermin dan menemukan diri. Di sinilah, kejujuran membaca –pertama-tama sangat dibutuhkan–. Membaca ibaratnya adalah berguru. Kepada pendahulu yang telah memulai berkarya. Apapun karya mereka, para pendahulu, tentu tak bisa dipandang sebelah mata. Mereka memiliki zamannya masing-masing. Apakah karya tertentu akan abadi –berusia panjang atau pendek—misalnya? Itu tidak penting. Meminjam ungkapan Pramudya Ananta Toer, jika karya sudah dilepas ke masyarakat maka tugas masyarakatlah yang merawat dan memilikinya. Apakah bisa berusia panjang, tergantung nafas karyanya.
Jika belajar dari Arafat Nur misalnya, ternyata dia begitu banyak membaca karya-karya fiksi luar negeri, para penulis pemenang nobel atau penulis berkelas dunia. Beginilah akunya, “Semua penulis yang tidak sombong dan tidak suka plagiat saya suka. Banyak juga karya penulis tanah air yang saya suka, tapi tidak ada satu pun yang mampu mempengaruhi saya. Namun, saya lebih akrab dengan karya-karya penulis asing. Saya terkesan dengan novel-novel Marquez, cerpen-cerpen Borges. Tapi saya menulis dengan gaya saya sendiri, dengan cara saya sendiri, tanpa terlalu memikirkan pengaruh-pengaruh lain.” (baca: blogdivapress.com).
Pesan Arafat Nur kepada komunitas saya, adalah membacalah sebanyak mungkin. Apa saja. Seorang penulis penting membaca budaya, mitos, hukum, pendidikan, bahasa, politik, biologi, fisika, kimia, bahkan lelucon. Karya sastra, dengan demikian memang sebuah endapan pengetahuan yang dalam dari penulisnya. Sebuah internalisasi beragam bidang, kemudian diekspresikan secara imajinatif melalui para tokohnya. Pesan besar melalui para tokoh yang bergerak adalah kunci awal dalam membaca sebuah teks fiksi. Kegagalan pengarakteran tokoh fiksi misalnya, seringkali menimbulkan kegagalan dalam keseluruhan cerita yang dibangunnya.
Membaca sama artinya dengan mengisi. Menulis sama dengan mengeluarkan. Ada metafora menarik yang digambarkan Arafat Nur, ibarat teko yang kosong apa yang bisa dituangkan ke dalam sebuah cangkir atau gelas? Kosong! Tak ada, tak bisa. Karena itu, jangan pernah menulis –apalagi novel—dengan kepala kosong. Minus bacaan, minus pengalaman, dan bahkan minus pengamatan sosial. Jika ingin menulis –apa pun jenis tulisan—dengan sendirinya, wajib memperkaya bacaan lintas bidang. Bukankah hakikat bidang itu tak bisa dipisah-pisahkan?
Apalagi karya sastra –sungguh merupakan endapan dan refleksi terdalam—sastrawan sebelum diekspresikan secara estetik ke dalam karya. Karena itu, wahai mahasiswa dan pelajar tercinta, jika ingin menulis secara kuat; ingat pesan Kang Arafat: membaca, membaca, membaca, baru menulis. Membaca lebih banyak, baru menulis. Minimal tiga kali lipat. Jika ingin hebat, kata Arafat, lakukan kebiasaan membaca sepuluh kali lipat daripada menulisnya!
***
So, dalam gojekan saya di berbagai kesempatan menulis itu saya analogikan dengan berak dan kencing. Jika ingin berak yang banyak, maka makanlah yang banyak, bahkan sebanyak-banyaknya. Setelah itu, secara alamiah keinginan berak akan berlangsung secara alamiah. Mungkinkah Anda ingin berak tanpa asupan makan yang cukup? Mengapa dalam kejujuran kepenulisan Anda, seringkali ingin banyak menulis (minimal ingin menulis) tetapi tidak menyukai membaca? Pun, dengan kencing, apa mungkin terjadi jika tidak minum yang banyak?
Saya sendiri –di masa kecil hingga remaja—tak pernah terbayangkan menjadi penulis. Apalagi hingga memenangkan lomba di tingkat nasional, diundang di Istana Negara –tersebab karena sebuah tulisan–. Sama sekali! Kala itu, saya suka membaca apapun, bahkan ketika remaja, suka membaca buku-buku motivasi dan prestasi, yang kudapat dari uang mencuri dari ibu, di pasar. Di sela-sela membantu ibu.
Karena tergolong remaja minder, saya memilih buku harian sebagai tempat curhat. Apapun saya tuliskan. Terlebih masalah cinta dan remaja, yang begitu banyak menguras air mata, buku harianlah tempatnya. Di situlah, saya tidak sadar, kemahiran mengungkapkan hati, perasaan, dan pikiran terlatih. Hingga pada suatu waktu, ketika kuliah di semester 3 sudah mampu menulis di media massa. Menulis menjadi jalan yang tak pernah dipikirkan, tetapi kemudian menjadi “ladang kehidupan” yang mengalirkan banyak pengakuan dan rizki.
Selamat membaca, membaca, membaca, baru menulis! []
Sutejo adalah
Ketua STKIP PGRI Ponorogo,
Ketua Litbang PCNU Ponorogo,
Anggota Dewan Pakar PC ISNU Ponorogo,
Ketua Bidang Pengembangan SDM PGRI kabupaten Ponorogo,
Anggota Dewan Pakar PW LTNU Jawa Timur.