Minimnya Kepedulian terhadap Anak
Oleh: Sri Wahyuni
Belum lekang dari benak kita tentang kasus kekerasan seksual yang menimpa BL (16), gadis asal Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada bulan Juni lalu. Sehari-hari BL bekerja di Jakarta sebagai pekerja rumah tangga. Ia diperkosa oleh pemuda di lingkungan tempat tinggalnya hingga hamil. Tidak ada seorang pun yang tahu jika ia hamil, termasuk orang tua dan orang-orang di sekitarnya.
Kejadian di atas menunjukkan minimnya kepedulian masyarakat terhadap keberadaan anak. Rendahnya kepedulian masyarakat terhadap anak disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (i) rendahnya pengetahuan anak tentang pendidikan seksual, (ii) adanya mitos tentang kekerasan seksual, dan (iii) kurangnya kepedulian penegak hukum. Tulisan di bawah ini akan membahas ketiga hal tersebut.
Pertama, rendahnya pengetahuan anak mengenai pendidikan seksual. Pendidikan seksual sering dianggap tabu oleh para guru dan orang tua. Padahal seharusnya diajarkan kepada anak sejak dini, sehingga anak akan mengerti dan bisa menjaga diri, bahkan bisa terhindar dari kekerasan seksual. Tapi realitanya, anak-anak tidak pernah mendapat pendidikan seksual sejak dini, sementara orang yang mengincar anak ada di sekelilingnya. Pendidikan seksual sering dianggap sebagai pendidikan yang tabu, baik dari pihak orang tua maupun guru. Mereka menganggap bahwa pendidikan seksual hanya untuk orang dewasa. Sehingga mereka merasa enggan untuk memberikannya pada anak.
Kedua, adanya mitos bahwa pelaku pemerkosaan adalah orang asing dan dilakukan pada malam hari di tempat yang sepi. Hal inilah yang sering membuat orang tua kurang waspada. Padahal jika kita cermati, pelaku pemerkosaan adalah orang-orang terdekat, misalnya ayah, kakak, kakek, dan paman.Seperti halnya peristiwa kekerasan seksual di Serpong, kota Tangsel. IN (17) diperkosa ayahnya sendiri N (41), selama tiga tahun terakhir hingga IN melahirkan dua anak. Lain halnya dengan kasus di Pondok Aren, yang dialami oleh gadis berinisial PA (10) yang diperkosa oleh ayah tirinya JS (31). Jika dipikir dengan logika kejadian ini tidak masuk akal. Seorang ayah, seharusnya menjadi pelindung bagi anak-anaknya dari kasus kekerasan seksual. Tetapi nyatanya, ayah malah menjadi pelaku.
Ketiga, kurangnya kepedulian penegak hukum. Di Indonesia anak korban kekerasan seksual hampir dapat dipastikan akan berhadapan dengan hukum. Seperti kejadian yang dialami BL, gadis berusia 16 tahun yang tinggal di Cikeustik, Pandeglang, Banten (22/6/2017). Ia dituntut 8,5 tahun karena melukai bayinya hingga mati. Awalnya BL tidak tahu jika ia hamil. Karena saat periksa ke dokter ia hanya didiaknosis mengidap penyakit maag.
Sungguh memprihatinkan. Anak yang seharusnya mendapat kasih sayang, perlindungan, dan terjamin kehidupannya itu justru memperoleh hal sebaliknya. Padahal masa depan Indonesia ada di tangan anak-anak kita. Jika anak-anak mengalami kekerasan seksual maka siapa yang akan merubah masa depan bangsa Indonesia ini agar menjadi lebih baik?
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, untuk menghindari kekerasan seksual pada anak dapat dilakukan beberapa hal. Pertama, meningkatkan pengetahuan anak tentang pendidikan seksual. Ini merupakan tugas orang tua dan guru. Di sinilah peran guru dan orang tua yang sesungguhnya. Guru sebagai orang tua di sekolah wajib mendidik dan mengajarkan semua hal yang berkaitan dengan kehidupan anak didiknya, salah satunya pendidikan seksual. Jika guru adalah aktor utama di sekolah, maka orang tua adalah aktor utama dalam keluarga. Sesama aktor maka sudah sewajarnya jika mereka melakukan kerjasama. Harus ada sinergi antara guru dan orang tua, sehingga tujuan yang diharapakan bisa tercapai.
Kedua, menghilangkan mitos kekerasan seksual. Orang tua dan masyarakat harus menghapus mitos yang sudah menjadi keyakinan ini. Mereka harus memiliki keyakinan baru, yakni kekerasan seksual dapat terjadi kapan pun, baik siang maupun malam hari. Selain itu kekerasan seksual juga dapat dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja. Oleh karena itu, mereka harus senantiasa waspada setiap saat.
Ketiga, peningkatan kepedulian penegak hukum. Penegak hukum sebagai wakil dari pemerintah harus memiliki kepekaaan dan kepedulian yang tinggi terhadapa anak-anak Indonesia. Sebagaimana tercantum dalam UU No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. Kemudian ada juga UU Perlindungan Anak yang kini diperbarui. Dalam UU tersebut jelas diatur hak-hak anak, larangan, dan sanksi pidana, dan denda. Ini merupakan tugas berat pemerintah yang harus diwujudkan.
Anak adalah penentu masa depan Indonesia. Maka dari itu, sedini mungkin mereka harus mendapat perhatian, bimbingan, dan juga perlidungan. Semua itu harus dibangun oleh semua pihak. Mulai dari orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Harapan terindah, semoga ke depannya kasus kekerasan terhadap anak terus berkurang dan hak-hak anak semakin terjamin.
***
Penulis: Sri Wahyuni,
Mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo, Panitia SLG STKIP PGRI Ponorogo.
Sumber: Duta Masyarakat edisi 7 Agustus 2017.