Miscommunication Literasi
Masih ingatkah akan pesan tokoh pendidikan kita? “Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita.” Pesan makna tersirat di atas, merupakan pesan simbolik yang akan menyadarkan kita tentang kekeroposan budi pekerti anak. Kekeroposan tersebut terlihat banyaknya kecelakaan moral, juga akhlak anak belakangan ini.
Bertepatan tanggal 8 September, diperingati sebagai hari Literasi Internasional. Adalah salah satu cara mengalihkan kekeroposan pendidikan menjelma generasi berpondasi kokoh. Anies Baswedan usai meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) bertajuk ‘Bahasa Penumbuh Budi Pekerti’, berbagai kota di Indonesia mulai bertebaran ekosistem budaya literasi yang gemar membaca, utamanya. Salah satu program mantan Menteri Pendidikan itu disinyalir melalui lembaga pendidikan sekolah (formal) dengan menyuarakan “wajib membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai.”
Beberapa komponen literasi pun dengan giat dan sukses diwujudkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, meliputi menumbuhkan kemampuan untuk mendengarkan dan menyimak, berbicara dan menulis, serta kemampuan memahami informasi yang didapatkan saat menyelesaikan masalah atau pekerjaan. Berbagai kemampuan tersebut wujud praktik literasi yang didefinisikan Graff (2006), dalam buku berjudul 7th Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary, mengemukakan sebagai kemampuan membaca dan menulis.
Realitanya, fenomena ekosistem budaya literasi di lembaga pendidikan tidak sejalan sesuai instruksi pemerintah. Salah satu contoh, terjadi kesalahpahaman (miscommunication) guru akan memaknai arti program membaca 15 menit. Beragam cerita guru sekolah dasar, yang pernah saya dengar, hakikatnya membaca 15 menit adalah buku pelajaran yang akan guru terangkan hari itu juga. Dengan gagah, guru meminta agar siswa-siswanya membaca terlebih dahulu materi yang akan disampaikan. Harapnya, ketika guru menerangkan munculnya komunikasi dan pemikiran yang sejalan, sehingga guru tidak kesulitan membimbing siswa dalam mengantarkan keilmuan.
Mendengar cerita itu, sontak seorang dosen di salah satu kampus Ponorogo terkejut. Sedikit terheran ketika seorang guru memaknai arti membaca 15 menit demikian. Padahal, program Anies diberlakukan kepada buku apa saja yang siswa sukai bersifat non-teks. Bisa buku sastra yang mereka miliki, atau dari lembaga pendidikan menyiapkan segudang buku bacaan ringan, tapi berisi ketika dibaca. Misal dongeng, komik pendidikan, ensiklopedia, sastra, dan lainnya. Tidak saja di tingkat dasar, guru tingkat menengah pun juga banyak yang tidak paham. Itulah, pemandangan mengerikan di dunia pendidikan Indonesia.
Pembiasaan dan pengembangan budaya baca 15 menit sebagai kegiatan menumbuhkan budaya baca-tulis, khususnya. Tidak sekadar menanamkan saja, tetapi juga menumbuhkan hingga menjadi embrio generasi literat. Pertannyaannya, bagaimanakah menumbuhkan jiwa literat ini? Pertama, proses pemahaman akan bacaan dengan mengambil kata kunci penting (keyword) sebagai jembatan mudah mengikat kata. Pemahaman membaca berarti dapat mengaitkan sub-sub bab dengan bijak.Kedua, proses pemaknaan. Memaknai sebuah bacaan, baik jenis fiksi maupun nonfiksi melalui contoh-contoh atau penerapan dengan kehidupan yang ada. Sederhananya, memaknai setiap kata hingga kalimat dalam bacaan sebagai pertimbangan hidup. Sebagai penguat diberikannya contoh kasus realita yang mendukung bacaan.
Ketiga, proses penyadaran. Pilar terakhir ini sebagai puncak literasi yang paling ditekankan. Kesadaran hidup, kesadaran realita, kesadaran simpati, juga kesadaran-kesadaran lain. Sadar dalam KBBI diartikan merasa, tahu dan mengerti. Kita merasa, penting dan berarti untuk dipahami dan tahu dan mengerti untuk diterapkan. Kesadaran dalam proses mengerti ini muncul dari diri sendiri atas hal yang dirasakan ataupun dialami orang lain.
Sungguhlah, literasi baca 15 menit wajib dimengerti guru sebagai tenaga pengajar di sekolahan. Sekali lagi, kesalahpahaman (miscommunication) yang ada di dunia pendidikan merupakan bukti nyata bila guru-guru kita juga minim literasi. Sederhananya, hanya dipahami bagian luar, tanpa tahu apa isi (maksud) dalamnya. Akhirnya, dari fenomena ini menjadikan cerminan diri kita, sebagai guru juga calon guru. Guru mengajar dengan baik dan benar, akan melahirkan benih-benih bangsa yang tumbuh dan besar baik dan benar pula.
Ki Hajar Dewantara di atas, menarik direnungkan jika budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak tumbuh dengan baik, maka menuju kesempurnan masa depan anak akan lebih mudah. Namun, hal itu tidak semudah apa dikata. Utamanya guru sebagai tenaga pendidik harus paham akan hal itu. Melalui jiwa guru yang paham dan mengerti literasi akan tumbuh budi pekerti pelajar sesuai harapan bangsa. Tak cukup sekadar menanamkan juga menumbuhkan kesadaran literasi. Karena itu, pendidikan literasi—gemar membaca tidak untuk siswa, tetapi guru juga agar kesalahpahaman literasi tidak lagi terulang. Semoga!
Suci Ayu Latifah
Mahasiswi STKIP PGRI Ponorogo, Panitia SLG STKIP PGRI Ponorogo.
Sumber: Duta Masyarakat, Rabu, 6 September 2017.