Resensi Buku: Kokohkan Pondasi Dongeng Kita
Dari buku yang menyoroti tentang dongeng ini, bisa didapatkan gambaran mengapa dongeng di era digitalisasi sempat tertinggal. Bahkan, nyaris punah karena jarang dilakukan orang tua kepada anaknya. Buku karya Ida Susanti diterbitkan sebagai buku penyelamat, buku pencerah, dan buku penolong budaya dongeng yang hampir punah karena perkembangan teknologi yang pesat.
Lahirnya buku ini terilhami banyaknya orang mengalami kesulitan ketika mendongengkan cerita kepada anaknya. Orang tua pun, merasakan betapa sulitnya mendongeng. Terkadang waktu mendongeng ada, tetapi anak tidak memberikan respon positif. Karena itu, buku ini hadir sebagai panduan orang tua, guru, dan siapa pun yang ingin belajar mendongeng.
Menurut Kak Sidik, pendongeng yang sudah keliling nusantara, jika ingin menjadi guru yang lebih dicintai anak-anak, jadilah guru yang pandai mendongeng sepenuh hati, karena mendongeng bermanfaat sebagai “rekaman sejarah” dan intimasi (berbagi cerita atau pengalaman bersama) (hal. 32) . Baginya, rekaman sejarah dapat menjadikan karya kaya akan cerita dan keunikan dari setiap daerah atau tempat yang dikunjungi.
Buku bersampul hijau ini terdapat tiga bagian menarik. Pada bagian pertama buku Siapa Bilang Mendongeng itu Susah? penulis menyoroti mengapa dongeng perlu dikembangtumbuhkan ulang. Hal itu dipaparkan penulis untuk menstimulasi anak-anak agar mencapai perkembangan yang optimal. Hal itu ditandai dengan kemampuan merealisasikan perilaku baik dalam kehidupan sehari-hari yang akan menjadi suatu kebiasaan.
Perkembangan meliputi beberapa aspek, seperti aspek agama, moral, kognitif, bahasa fisik atau motorik, sosial, emosional, dan seni. Inilah pentingnya mendongeng diterapkan karena memiliki koherensi dengan perkembangan anak dan manfaat yang luar biasa.
Di bagian ini, penulis juga memaparkan manfaat dongeng menurut pakarnya. Sebutlah Kak Bimo Ardika, Master Dongeng Indonesia, pertama sebagai jembatan untuk mendekatkan orang tua dengan anak. Kedua, mampu menanamkan sopan santun, kedisiplinan, nilai moral, spiritual, agama dan kognitif anak. Ketiga, mampu mengontrol perkembangan emosi, seperti marah, gembira, empati dan kasih sayang. Dan keempat, membantu merangsang perkembangan bahasa, melatih kreativitas, dan mengasah otak anak.
Sebagai seorang master of storytelling, strategi mendongengnya menggunakan media boneka dari kain flanel dan suara tiruan anak kecil. Ia mendongeng sambil mengamati anak itu, kemudian mendekati dan bertanya nama. Anak itu pun tersenyum dan perlahan menjawab.
Bagian kedua, Ida Susanti memberikan tips dan trik cara mendongeng dengan menarik. Pertama, kenali jenis dongeng. Di antaranya mite, legenda, sage, fabel, dan parabel. Pengenalan ini dilakukan supaya dongeng yang diberikan mampu membentuk karakter anak yang positif. Kedua, kriteria mendongeng yang menarik, meliputi: (1) menggunakan kata-kata yang komunikatif, (2) artikulasi yang jelas, (3) intonasi kalimat, (4) jeda antarkalimat, dan (5) lengkapi dengan gestur dan mimik yang tepat.
Sebagaimana contoh, Kak Bimo dan Pak Kanto, selalu mengutamakan gestur dan mimik untuk membantu pengekspresian cerita. Keluwesan dalam gerak-gerik cerita menjadi nilai tambah. Karena itu, mampu menirukan suara maupun gaya orang lain, baik anak-anak maupun orang tua. Bahkan, suara juga gerak-gerik binatang yang akan mengundang tawa pendengar. Kemudian ditambah dengan intonasi juga jeda yang tepat akan nampak cerita yang disampaikan utuh.
Selanjutnya, bagian ketiga buku Ida Susanti memberikan teknik mendongeng di antaranya (1) siapkan cerita yang hendak didongengkan, (2) baca dan hayati jalan ceritanya, (3) kenali setiap karakter tokoh dalam dongeng, (4) buat kesepakatan dengan anak-anak ketika hendak mendongeng, (5) posisikan agar anak-anak merasa nyaman ketika mendengarkan dongeng, (6) mendongeng cukup 10 menit, (7) gunakan vokal atau intonasi yang berbeda, (8) ekspresikan kemampuan kita, (9) sesekali libatkan anak-anak ketika mendongeng, (10) sisipkan kata, vokal, gestur tubuh, dan mimik muka yang membuat anak tertawa, (11) gunakan alat peraga, dan (13) tanyakan respon mereka setelah mendongeng.
Kedua belas teknik di atas, bagi Ida Susanti mudah untuk diterapkan semua orang dihadapan anak-anak. Tanpa ada rasa khawatir, tak harus menunggu menjadi pendongeng kelas profesional. Tetapi cukuplah melalui panduan di atas akan menjadikan guru dan orang tua yang dicintai dan diidolakan anak-anak.
Terakhir, puncak buku karya Ida Susanti, memberikan referensi 25 dongeng anak usia dini. Kisah-kisah yang ada dalam cerita tak jauh dari kehidupan anak-anak, dunia anak-anak, dan permasalahan anak-anak, baik di lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Melalui bahasa sederhana, 25 judul itu mudah dipahami dan diterima anak. Tujuan mendidik dengan menyisipkan nilai dan pesan yang dapat dipahami dan diterapkan bersama. Oleh karena itu, hadirnya konflik juga nilai dan pesan terbungkus rapi dalam cerita mampu membangun aspek perkembangan anak.
Sayangnya, kemasan cerita tidak disuguhkan animasi atau gambar dari setiap cerita. Padahal dengan ilustrasi atau gambar tersebut akan menjadi nilai tambah buku. Akhirnya, siapa bilang mendongeng itu susah, bukan lagi anggapan guru dan orang tua. Sebab, ketika mau berproses dan membiasakan mendongeng, keyakinan untuk membangun budaya dongeng bukan lagi sebuah impian semata. Karena sesuatu yang dibentuk dari kebiasaan dan komitmen utuh akan berbuah baik. Sehingga, di tengah gencarnya perkembangan teknologi, budaya dongeng masih tetap bersua dan menjadi suatu budaya yang patut untuk diabadikan dalam membantu proses perkembangan anak-anak. Semoga!
Judul buku : Siapa Bilang Mendongeng itu Susah?
Penulis : Ida Susanti
Penerbit : CV Media Cendekia Muslim
Cetakan : Mei 2018
Tebal : i-120 halaman
Peresensi : Suci Ayu Latifah ( Mahasiswi STKIP PGRI Ponorogo)
Sumber: Kabar Madura, Kamis, 13 Juni 2019.