Sekolah Literasi Gratis Ponorogo: Generasi Melek Karya
Menumbuhkan generasi minat baca dan tulis, hanyalah dibutuhkan keteladanan totalitas. Tanpa itu tidak akan muncul generasi-generasi penulis yang akan meramaikan media lewat gagasan, argumen, juga pemikiran hingga pada pro atau kontra terhadap fenomena di negara kita. Itulah yang dilakukan ‘Kampus Literasi’ yang mereka adalah warga STKIP PGRI Ponorogo, beserta alumnusnya.
Belum genap setahun program ‘Kampus Literasi’ yang dimotori oleh seluruh warga Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo, sudah sederet karya dari mahasiswa meramaikan media. Baik itu media cetak maupun online. Hal ini disinyalir atas niatan awal membentuk kelas menulis yang diberi nama Sekolah Literasi Gratis (SLG) untuk mengajak aktivis mahasiswa agar bergerak di bidang literasi secara luas hingga melahirkan karya-karya terbaru.
“Dulu, belum ada satu bulan SLG berlangsung, ada salah satu kawan saya dari Trenggalek mengatakan bahwa akan ada gempa literasi di Ponorogo,” kata Sutejo, Ketua Suku Adat SLG Ponorogo.
Sejauh ini, mulai bulan September 2016 lalu, hingga bulan Juni 2017 sudah ada sekitar 150-an karya yang termuat oleh media. Di antaranya berupa reportase, opini, cerpen, puisi, hingga argumentatif dan lain sebagainya.
Tidak banyak cara yang Sutejo lakukan dalam menumbuhkan kecintaan terhadap literasi, khususnya kepada masyarakat sekitar Ponorogo. Lelaki penulis puluhan buku ini hanya melakukan keteladanan yang tak pernah henti, meski tuntutan sebagai dosen sering membuatnya pusing dan lelah, ia tetap maju tak gentar melakukan pendampingan juga pengawalan bagi generasi dalam berkarya.
Pihaknya juga menambahkan, tujuannya untuk menumbuhkan semangat bara api generasi muda agar mau berkarya. Sebab, Pram pernah berkata, “Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk pengabdian.”
Dari situlah, berkat adanya SLG setiap hari Minggu itu, siapa yang mau bersungguh-sungguh dan memiliki niat akan belajar maka akan mendapat. Seperti pepatah, siapa yang menanam, dialah yang memetik. Tentu saja, pepatah ini sudah dilakukan komunitas kami, dengan bukti beragam karya nongol di berbagai media.
“Sekitar sepuluh media yang sudah saya sentuh,” terang Nanang, alumnus STKIP PGRI Ponorogo 2016.
Lelaki yang pernah menjadi pemenang menulis esai di Balai bahasa itu mengungkapkan, apa dan bagaimana saya dalam karya, semua berkat bimbingan Bapak Sutejo dan seluruh kawan literasi. “Tanpa mereka, apalah aku,” celotehnya hangat.
Dampak dari lahirnya penulis-penulis baru dari Ponorogo itu membuat ketua STKIP, Kasnadi merasa bangga, sehingga ia berani memberikan penghargaan (honor) kepada mahasiswa supaya tambah semangat dalam berliterasi.
“Bentuk apresiasi kampus terhadap mahasiswa khususnya yang mau menulis di media dan terbit akan mendapat honor dari kampus. Mulai dari Rp. 500.000- Rp. 50.000 per karya termuat,” ungkapnya.
Dan yang perlu dipahami, salah satu tujuan adanya SLG ini memang untuk melahirkan generasi penulis, sebagaimana visi dan misi berdirinya SLG. “Semoga ini menjadi satu dari seribu gebrakan di Indonesia dalam bidang literasi,” harapnya. (suci ayu latifah)
Cara Menembus Media
Umur Sekolah literasi Gratis (SLG) dikatakan relatif muda. Meski pun demikian, SLG kini sudah mampu berbicara di publik. Hal ini dibuktikan, sudah sekitar 16 mahasiswa sudah sering nongol di media, entah itu media lokal ataupun nasional.
“Tulisan pertama saya yang termuat media adalah opini, dengan judul Pil Pahit di Tahun Ayam Api,” kata Sri Wahyuni, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2015.
Sri pun bercerita, sempat gagal hingga 9 kali. Kemudian, oleh guru literasinya, Sutejo, diberikan tips agar dimuat di media. Salah satu caranya adalah aktualitas. Maksudnya, opini yang ditulis adalah suatu topik pembahasan yang sedang ramai dibicarakan di media “Waktu itu, Indonesia tengah dilanda kenaikan harga BBM dan cabai hingga mencapai ratusan ribu. Dari itulah kemudian saya menulis opini tersebut,” tambahnya.
Berbeda dengan Agus Setiawan, alumnus yang aktif menulis di media. Jika Sri berangkat pembahasan dari hal yang ramai dibicarakan, bagi Agus, ia berangkat dari hari besar Nasional. Misalnya tanggal 21 April, sebagai peringatan hari Kartini, ia akan menulis tentang Kartini. Contohnya, Adakah, Kartini Kedua?; Kabar Kartini Indonesia?; Wanita-Wanita Pilihan; dan lainnya.
Selain aktualitas, Sutejo juga menyarankan agar membuat judul yang unik, menarik dan seksi. Karenanya, redaksi ketika membaca tulisan seseorang, yang dibaca dulu adalah judul. Jika judul yang dibuat ada daya lain, maka redaktur pun akan mempertimbangkan pemuatan karya, tanpa melupakan isi dari opini bersangkutan.
Cara selanjutnya, adalah mengenali karakter media. Setiap media memiliki ciri khas dan karakter tulisan yang belum pasti dimiliki media lainnya. Cara mengenali media dapat dilakukan dengan aktif membaca tulisan-tulisan yang termuat. Kemudian, kita dapat menyimpulkan sendiri terkait kemenonjolan media tersebut. Misal media dengan tulisan berbau islami atau bersifat universal.
“Ingatlah pepatah, jika tak kenal maka tak sayang!” pungkas Sutejo. (suci ayu latifah)
KOMENTAR
Sri Wahyuni, mahasiswa Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2015.
“Menulis bagi saya seperti belajar naik sepeda. Butuh kesabaran dan perjuangan. Jatuh-bangun itu biasa.”
Agus Setiawan, alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2012 “Menulis itu jembatan menuju kedewasaan, karena dibutuhkan proses berpikir yang matang, juga pemahaman dan pemaknaan secara totalitas.”
Nanang Eko Saputro, alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2012.
“Menulis adalah proses menuju kewarasan. Dari yang tidak tahu, menjadi tahu. Hehehe.”
Pawarta: Sri Wahyuni dan Suci Ayu Latifah
Mahasiswi STKIP PGRI Ponorogo, Panitia SLG STKIP PGRI Ponorogo.