Tahun Baru Hijriyah; Meneladani Kembali Dakwah Sultan Agung
Oleh: Rohmad Arkam
Tahun baru Hijriyah, umat Muslim biasanya akan menyambut dengan penuh suka cita, karena bulan Muharram sebagai awal bulan dalam kalender Hijriyah, banyak amalan-amalan yang bisa dikerjakan untuk mendapatkan berkah di dalamnya.
Selain itu, bulan Muharram merupakan suatu bulan sakral pada kalender Islam karena memiliki makna ‘terlarang’, sesuai ajaran Nabi dalam bulan ini, umat Islam dilarang terlibat dalam kekerasan jenis apapun.
Sedangkan bagi masyarakat Jawa, memperingati tahun baru Hijriyah, sebenarnya mereka diajak untuk meneladani kembali dakwah kultural yang dilakukan oleh Sultan Agung, melalui penciptaan sistem penanggalan Jawa. Karena penanggalan Jawa awal dipakai bertepatan dengan 1 Muharam, tepatnya pada tahun 1043 H atau 8 Juli 1633 M. Ketika itu, Sultan Agung menyatukan sistem penanggalan Saka representasi Hindu dengan penangalan Hijriyah representasi Islam.
Siapakah Sultan Agung?
Bagi yang hanya mengenal Sultan Agung dari foto-fotonya saja, perlu diketahui Sultan Agung lahir di Kutagede, Kesultanan Mataram Islam pada tahun 1593. Beliau merupakan raja ke tiga yang menjabat sebagai raja di Mataram Islam pada tahun 1613-1645. Bernama asli Raden Mas Jatmika atau dikenal juga dengan nama Raden Mas Rangsang, putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati.
Ayahanda Sultan Agung merupakan raja kedua Mataram Islam, sedangkan ibunya merupakan putri dari Pangeran Benawa, raja Kerajaan Pajang. Gelar Sultan Agung ketika menjadi raja pada awal tahtanya, bergelar Panembahan Agung. Kemudian setelah menaklukkan Madura pada tahun 1624, beliau mengganti gelarnya menjadi Sunan Agung. Pada tahun 1641, Sunan Agung mendapat gelar Sultan setelah mengutus salah seorang punggawanya bertemu dengan pemimpin Arab.
Sultan Agung mangkat pada tahun 1645. Sebelum meninggal, beliau membangun Astana Imogiri yang merupakan pusat pemakaman raja-raja Mataram Islam yang diawali dari Sultan Agung sendiri. Pemerintahan Mataram berikutnya dipegang oleh putranya, Amangkurat I. Sultan Agung selama masa pemerintahannya mampu menyatukan Jawa Tengah dan Jawa Timur di bawah kepemimpinan Mataram.
Selain dapat menyatukan sebagian Jawa, Sultan Agung sebagai seorang raja Islam di Jawa dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram, berhasil berdakwah dengan arif dan bijaksana dengan memasukan nilai ajaran Islam kedalam tradisi yang sudah ada ditengah-tengah masyarakat sebelumnya yang belum menganut agama Islam.
Salah satu dakwahnya adalah menggabungkan penanggalan Saka (Hindu) dengan penanggalan Hijriyah (Islam), sehinga dikenal dengan penanggalan Jawa yang unik.
Bukti kearifan dakwah Sultan Agung lewat penanggalan Jawa ini bisa dilihat dari sejumlah istilah yang disesuaikan dengan kondisi dan budaya masyarakat Jawa. Seperti nama bulan kalender Hijriyah yang disesuaikan dengan lidah orang Jawa; Sura (Muharram), Sapar (Safar) , Mulud (Rabiul awal), Bakdamulud (Rabiul akhir) Jumadilawal (Jumadil awal), Jumadilakhir (Jumadil akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sa’ban) Pasa (Ramadlan), Sawal (Syawal), Dulkangidah (Dzulkaiadah), dan Besar (Dulhijah).
Selain konsep bulan, nama hari pada kalender Hijriah juga diadopsi kalender Jawa. Lahirlah nama hari Al-Ahad (Ahad), Al-Ithnayn (Senin), Ats-Tsalaatsa’ (Selasa), Al-Arbaa-a/Ar-Raabi’ (Rabu), Al-Khamsah (Kamis) dan Al-Jumu’ah (Jumat). Itu semuanya sebenarnya sekaligus mengganti nama hari dalam kalender Saka, yaitu Radite, Soma, Hanggara, Budha, Respati, Sukra dan Tumpak.
Sebuah akulturasi budaya dalam kalender Jawa yang sangat apik, nilai tasamuh (toleransi) sangat dikedepankan, Sultan Agung sebagai seorang raja yang mempunya kekuasaan sebagian besar Pulau Jawa, tpi tidak mengedepankan kekuatan dalam mendakwahkan Islam kepada rakyatnya. Sebuah teladan dakwah yang parlu ditiru bagi penyeru kebenaran di zaman penuh cacimaki dan fitnah ini.
Wallahu a’lam.***
Sumber artikel: iqra.id
Rohmad Arkam
Dosen STKIP PGRI Ponorogo