Jadilah Pelopor, Jadilah Pemenang!
Dr. Sutejo, M.Hum.
Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan pernah berpesan bahwa, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.” Kesadaran seorang presiden, yang tidak mengenal tantangan dan tidak takut penjara! Dia, selalu menggelorakan pendidikan dari berbagai sisi kehidupan. Inspirasi Mandela kemudian abadi sepanjang kehidupan umat manusia.
“Kemajuan kita sebagai bangsa tidak bisa lebih cepat daripada kemajuan kita dalam pendidikan. Pikiran manusia adalah sumber daya fundamental kita.” Begitulah, wasiat John F. Kennedy, seorang mantan Presiden AS. Dengan demikian, mempercayai bahwa dunia pendidikan sebagai satu-satunya perubahan adalah bunuh diri secara perlahan.
Jangan berhenti belajar Wisudawan: jadilah Pembelajar, Pelopor, dan Pemenang!
Kita tahu, perubahan digerakkan oleh anak-anak gila yang peduli dengan kekuatan pikiran. Mark E. Zuckerberg dan Bill Gates adalah dua contoh anak muda dunia, yang gemilang bukan karena pendidikan formal. Universitas Harvard pun ditinggalkan. Keduanya memandang pendidikan formal tidak begitu penting.
Keduanya dianugerahi gelar doktor honoris kausa dalam rentang waktu berbeda, setelah berkarya di luar pendidikannya. Pesan saya yang sering kusampaikan di berbagai kesempatan adalah “Membaca itu ibadah, Berpikir itu merajut dzikir, dan berkarya itu melukis pesona!”
“Hanya pendidikan yang bisa menyelamatkan masa depan, tanpa pendidikan Indonesia tak mungkin bertahan.” Begitulah pesan Najwa Sihab, seorang presenter televisi Indonesia yang terkenal itu. Ingat, pendidikan memiliki peta jalan yang indah: pendidikan formal (sekolah), pendidikan nonformal (masyarakat), dan pendidikan informal (keluarga).
Sinergiskanlah itu, Anakku; baik Anda sebagai guru nanti, orang tua, dan sebagai anggota masyarakat.
Ketiga pilar pendidikan itu sangat penting bagi perubahan dan kemajuan suatu bangsa. Bangsa kita, tak pernah memiliki kesadaran kebijakan terintegrasi dan terimplementasi dengan baik soal peta jalan ini.
Sungguh, sebuah realita paradoks bagi bangsa yang mengibarkan diri sebagai bangsa beradab dan berkeadaban.
***
Era mutakhir dipenuhi dengan ketidakpastian, Wisudawan.
Berbuatlah terbaik untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Dengan sendirinya, Anda telah berbuat terbaik bagi bangsa. Ingat pesan Soekarno, “Jangan bertanya apa yang diberikan bangsa ini kepadamu, tetapi ingatlah apa yang kau berikan kepada bangsamu.”
Berprofesi apa pun dengan kemampuan dan mentalitas terbaik, dengan sendirinya sudah belajar mengulurkan tangan indah itu kepada bangsamu!
Jika kalanya, kau menjadi guru; jadilah seorang guru yang kreatif dan inovatif. Guru yang berjiwa cinta. Jangan henti belajar, karena mengajar hakikatnya adalah belajar pula. Jika kau bukan perenang bagaimana mungkin bisa melatih berenang. Jika kau bukan pelukis, bagaimana mungkin kau bisa ajarkan melukis. Itulah metafora pembelajaran yang sejati.
Bagaimana mungkin jika kau bukan seorang penulis akan mampu mengajarkan kepenulisan kepada siswa didikmu!
Jika kalanya, kau menjadi seorang pengusaha; jadilah pengusaha kreatif yang mampu melakukan usaha dengan cara berbeda dari kebanyakan dilakukan orang. Jika kalanya kau harus menjadi penulis, jadilah penulis kreatif dan berbeda dari kebanyakan penulis. Seorang penulis hebat adalah mereka yang rendah hati, mampu melatihkan kepenulisan, dan mampu menyedekahkan keterampilannya bagi kemerdekaan pikiran.
Jika kalanya, kau menjadi seorang pembawa acara; berkreasilah dalam penampilan dan sugestikan komunikasi kalian. Bagaimana komunikasi yang menghipnotik, berlatihlah memberikan daya gerak kehidupan umat manusia. Dunia pendidikan kita membutuhkan keluarbiasaan siapa pun kita.
***
Era mutakhir dipenuhi dengan seribu tantangan, Wisudawan.
Tidak ada resep terbaik dalam mengatasi tantangan itu kecuali dengan menghadapi, menghayati, dan menikmatinya dengan pikiran positif dan etos kerja terbaik sehingga kau bisa menemukan pengalaman kegeniusan diri, kearifan, dan hikmah di balik perjuangan menaklukkannya.
Hanya orang yang bermental baja, pemberani, dan pemenanglah yang mampu melakukan itu. Jadilah kalian orang-orang luar biasa.
Kali ini, adalah pertemuan terakhir di ujung perkuliahanmu, Anakku. Wisuda –hanyalah sebuah resepsi akademik—yang wajib kaukenali ruh dan makrifat perjalanan keilmuannya. Belajar tak boleh berhenti, meskipun kuliah sudah tidak lagi.
Percayalah, ilmu di perguruan tinggi itu tak berarti jika kau memasuki Universitas Kehidupan sesungguhnya. Ia hanyalah setitik air di lautan. PT saja yang terlalu angkuh, merasa besar –apalagi yang di luar sana—menganggap diri mampu menyiapkan generasi di depan.
Sampai kapan pun, kampus ini siap menjadi Universitas Kehidupan Anda, yang akan menjadikanmu sebagai mahasiswa setiap waktu. Datanglah, kunjungilah, teruslah belajar kehidupan bersama kami. Bukankah di kampus tercintamu ini ada program-program sosial literasi yang menawarkan sinar hati kehidupan?
Ada romantika di jejak waktu kuliahmu, kenang dan nikmatilah. Ada harapan yang timbul tenggelam, kokohkanlah dirimu. Ada mimpi yang terus bisa membuatmu berarti. Ada gerak yang bisa mengubahmu tegak dan dinamik di riak kehidupan nanti. Ada semangat yang harus terus kaulipat di dalam dada dan jiwamu. Itu bekal abadi yang selalu menggetarkan dada-jiwamu dalam menghadapi kehidupan nyata –yang jauh lebih mendebarkan daripada di pengalaman belajar di perguruan tinggi.
Tegaklah Anakku, jadilah pemenang kehidupan dengan mental pembelajar dan pelopor kehidupan!
Menjadi pembelajar tak boleh puas hati. Untuk itu, selalu –dan selalulah—kau membaca dan menulis sebagai bekal kehidupan sebagaimana dicontohkan para pendiri bangsa ini. Henti belajar sama artinya memasuki pandosa, keranda kematian. Ilmu terus berkembang, bergerak dinamis; dan kampus-kampus di negara ini tak mungkin mampu mengantarkanmu menghadapi gelombang perubahan kehidupan yang begitu nyata di depanmu.
Bergurulah kepada perubahan sehingga menjadi manusia yang siap berubah pula adalah syahwat purba tentang kebudayaan dan kemajuan bangsa. Jadilah pemilik jiwa perubahan itu, jangan menjadi bebek kehidupan. Jadilah elang kehidupan –yang dengan bangga—jika terpaksa harus terbang sendirian!
***
Era mutakhir dipenuhi dengan harapan, Wisudawan.
Menjelmalah Bung Hatta baru, yang selalu bergaul dengan buku setiap waktu, di segala keadaan, di mana pun berada. Ingat bagaimana pesan Bung Hatta, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku!” Artinya, dalam kondisi terhimpit oleh penjara kehidupan nanti –apapun bentuknya— tegaklah bersama buku, bukalah hati, senyumlah dalam belajar untuk memijarkan kehidupanmu kelak.
Buku adalah dosen-dosen baru kehidupan nanti. Bergurulah pada mereka yang telah mampu mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Kami tahu, kalian bukan orang-orang kaya tetapi kayakanlah jiwamu, kayakanlah rasa dan kreativitasmu! Sebab, dengannya kau dipastikan akan menjelma orang-orang kaya pada saatnya.
Bergurulah kepada orang-orang yang cacat fisik tetapi memiliki kesempurnaan jiwa, yang mampu mengubah hidupnya dengan dramatik. Sebaliknya, begitu banyak dalam realita kehidupan kita, secara fisik sempurna tetapi mereka memiliki cacat mental akut sehingga hanya menjadilah sampah kehidupan saja.
Sehatkanlah jiwamu dengan terus berpikir positif, nyalakanlah terus api harapan, dan bergeraklah secara kreatif dalam menjalani perubahan. Jika kalian berubah 1 persen setiap hari, dipastikan dalam setahun ke depan, minimal 300 persen perubahan sudah ada dalam genggaman.
Jangan pedulikan cacian dan hinaan orang lain. Ingat pesan Andre Wongso, satu-satunya kebahagiaan adalah ketika kita disangka orang lain tidak mampu melakukan; tetapi kemudian kita mampu melakukan dan membuktikannya.
Pengalaman saya wahai Wisudawan, begitu getir jika diceritakan tetapi begitu menghipnotik jika dilihat dari sudut perubahan.
***
Era mutakhir adalah era kegilaan teknologi, Wisudawan.
Teknologi digital adalah pisau bermata dua. Adalah gelombang samudera yang bisa menjadikanmu, anak didikmu, ke depan menjadi siapa saja. Hati-hatilah, selalu belajarlah untuk menjadi pelaut ulung di samudera teknologi digital.
Jangan sampai terpental, berpeganglah pada mental pemenang dan pembelajarmu dalam mengais hikmah dan kearifan, untuk melangkah di jejala dan jaring-jaring kehidupan kelak.
Langkah-langkah kami mendampingi kalian selama empat tahun, sungguh tidaklah berarti apa-apa, Anakku. Kampus hanyalah inspirasi untuk menyiapkan kail kepadamu. Tugas selanjutnya adalah teruslah memancing hakikat dan makrifat kehidupan, di sungai dan telaga kehidupan yang maha luas ini. Tugas kampusmu hanyalah menyediakanmu jala, setelah itu tebarkanlah jala ke samudera untuk menangkap ikan-ikan kehidupan.
Untuk apa? Untuk mendapatkan makanan kehidupan yang akan kaujadikan asupan makan jiwa dalam pelayaran yang penuh dengan gelombang kelak.
Menjadi pelaut ulung tak boleh menakutkan gelombang. Sebaliknya, pelaut ulung justru terlahir dari gelombang besar yang menebarkan. Jadilah pelaut berjiwa pemberani dalam menghadapi gelombang kehidupan ini. Bagaimanapun kondisi dan situasinya.
Sungguh, hidup di zaman mutakhir –terlebih menjadi pembelajar di era mutakhir–, orang-orang latah menyebutnya dengan era 4.0; adalah belajar dan bersahabat dengan disrupsi di mana-mana. Perubahan cepat, perusakan cepat, dan jika kita tidak menyiapkan mental dahsyat, kita hanya akan tergulung oleh dahsyatnya perubahan, yang bisa jadi akan mematikanmu.
Bekerja sekarang tak bisa sekadarnya. Jadilah guru-guru yang luar biasa. Begitu banyak tuntutan dan kepentingan yang wajib kaulaksanakan. Jadilah pelopor dan perintis perubahan. Jangan menggantungkan pada yang lain. Belajarlah menjadi diri sendiri yang berkarakter, dengan mental pejuang dalam mengubah kehidupan di masa depan.
Ingat, bebek berjalan berbondong-bondong sementara elang terbang sendirian. Mentalitas seekor elanglah dirimu! Jadilah elang kehidupan yang mampu menaklukkan dunia. Bukan bebek-bebek yang berjalan bersama dan menyayikan koor monoton bersama-sama. Berbeda bukanlah haram, apalagi jika itu jelas kebaikan. Lakukanlah! Jangan menakutkan kebaikan. Penanda iman seseorang dalam situasi apapun akan menguatkan dirinya menjadi terbaik, meskipun harus berhadapan dengan perbedaan yang menghadangnya.
***
Wisudawan yang saya cintai dan muliakan.
Maafkanlah, kekurangan-kekurangan lembagamu, seluruh civitas akademika mengucapkan selamat kepadamu. Hari ini, kau mengenakan jubah kebesaran. Kau sangat bahagia mengenakannya. Kau sangka ini adalah puncak keberhasilan selama ini. Ketahuilah, Anakku. Hari ini hanyalah pelajaran semu tentang kehidupan.
Setelah ini, kau akan mulai merasakan betapa pahitnya hidup dalam kehidupan sesungguhnya. Tegaklah! Hadapi, hayati, dan nikmatilah. Hanya dengan jejiwa itu kau akan menjadi manusia dewasa dan mampu menghadapi dengan apa adanya.
Bagaimana mungkin kau dengan selembar ijazah, yang kauyakini akan menyelamatkanmu menjadi manusia unggul; ternyata itu hanyalah selembar kertas kosong yang tidak akan berarti apa-apa. Angka-angka di dalamnya bukanlah dirimu. Ketahuilah itu. Angka-angka jiwa terdasar dalam dirimu adalah mentalitas yang benar, komitmen diri yang berpijar, etos kerja yang berbinar, dan semangat yang terus memaancar dalam mengarungi kehidupan –apapun profesimu nanti–.
Jangan malu untuk bekerja apapun. Jika ada orang lain –yang tidak bekerja menggunjingmu—katakanlah, bahwa jalan yang kau tempuh adalah jalan kemuliaan, jalan jihad kehidupan. Sementara, mereka hanyalah segerombolan manusia diliputi kemalasan dan kebanggaan semu.
Orang salah dalam berbuat itu lebih terhormat daripada tidak berbuat kesalahan karena tidak melakukan perbuatan. Berani hidup, wajib berani memperjuangkannya!
Jika nanti kau menjadi guru –negeri atau swasta–, lakukanlah dengan etos yang terbaik. Melangkahlah dengan niat benar, hati jernih, dan berjiwa penggembala; sehingga akan terus memandumu melakukan yang terbaik dalam kehidupan sucimu.
Menjadi guru –adalah mutiara wasilah peradaban–. Berbanggalah, jangan berhitung berapa nominal yang kauperoleh, tetapi lakukan dengan terbaik. Alam dan langit akan mencatat, malaikat dan Tuhan akan mengembalikannya pada waktu yang telah ditetapkannya nanti. Jangan meragukan perbuatan baik dalam memasuki dunia profesi itu.
Jadilah guru yang luar biasa, agar anak-anak yang kaudidik menjadi benih-benih yang luar biasa pula. Kampusmu adalah Elang, maka kau pun wajib menjadi anak-anak elang kehidupan yang layak berkemampuan terbang setinggi-tingginya. Jangan malu menjadi bagian dari perguruan tinggi swasta dengan jumlah mahasiswa yang tidak sebesar di luar sana.
Ingat, Asisten Bupati Ponorogo Bapak Dr. Sumani, M.Pd., adalah alumni kampus kebanggaan ini. Ketua PGRI Kabupaten Ponorogo, Bapak Prayit, M.Pd., adalah alumni kita. Dr. Purwo, M.Pd., Sekretaris Dinas Pendidikan adalah alumni kita. Ibu Peny Nurhidayati, M.Pd., seorang Kepala Sekolah yang berulangkali juara nasional itu alumni kita. Mas Andry Deblek, pengusaha muda kreatif Ponorogo itu adalah alumni kita. Mas Eko Hendri Saiful, wartawan kreatif Jawa Pos itu adalah alumni kita.
Sudah tidak terhitung di Karisidenan Madiun ini mereka yang menjadi kepala sekolah, sudah ribuan menjadi PNS, dan tidak bisa dihitung jari alumni kampus ini yang berprestasi di tingkat Provinsi dan Nasional. Alumni kita bahkan tersebar ke mana-mana, hingga di luar pulau Jawa.
Tunjukkan dadamu, tegakkanlah kepalamu. Bukan untuk menyombongkan diri, tetapi bertegak karena siap menghadapi apapun kejadian di hadapan kalian. Bukalah mata elangmu, bukalah hati sucimu, bukalah pintu pikiranmu, bukalah jendela rasamu. Jadikan itu semua modal kehidupan baru yang segera ada di pelukanmu.
Sejumlah alumni dari kampus ini, telah membuktikan menjadi bagian terbaik pada profesinya. Lihatlah dan bergurulah kepada mereka, temukan resepnya, dan belajarlah untuk tidak berhenti melakukan pengabdian di profesi yang telah kauimpikan saat pertama kali memasuki kampus tercinta ini.
Menjadi guru terbaik adalah menjadi pembelajar sepanjang hayat; penggembala berjiwa nabi yang senantiasa dengan kearifannya menyadarkan dan menguatkan anak didiknya.
Menjadi guru sejati adalah Anda yang senantiasa berlinang air mata –kemudian menyembunyikannya sendiri dalam lipatan buku kehidupanmu—untuk berjuang menjadikan anak-anak zaman menjadi elang kehidupan.
Akhirnya, tidak ada yang tidak mungkin dalam kehidupan ini. Sekecil apapun peluang, jika Tuhan menakdirkan kita sebagai pemenang maka kita lah pemenangnya. Jiwa seorang pemenang adalah jiwa optimis, berani hadapi rintangan, pemimpi, pekerja keras, beralaskan doa kepada Tuhan. Tidak ada yang tak masuk akal, akal kita saja yang belum masuk; jika Tuhan sudah menghendakinya. Kekuatan terbesar manusia adalah pada kebaikan demi kebaikan yang dilakukannya, doa-doa orang tercinta, dan jejiwa rendah hati dalam belajar mendaki makrifat ketinggian.
Jangan pongah terhadap pujian, tetapi jangan pula jatuh karena hinaan. Ingat, filosofi kopi! Kenikmatan kehidupan ini justru terletak pada pahit-getir perjalanan dalam kehidupan yang kalian perjuangkan nanti!
Berdirilah, bersandarlah di ridla kedua orang tuamu, berpeganglah pada tongkat wasiat guru-dosenmu, dan bergantunglah pada keridlaan Langit yang menganugerahkan segalanya kepadamu. Tuhan yang Maha Segala Rahasia. Bersatulah dengan Rahasia Tuhanmu, jemputlah Keajaiban kehidupan dengan seratus persen kesadaran dan keyakinanmu! ***
Tibalah, saya mengakhiri sambutan sederhana ini dengan menitipkan pesan puitik berikut ini.
Kesaksian Seorang Dosen bagi Wisudawan
Jejiwa kami adalah jiwa air mata menjelma telaga dan samudera,
mampirlah di telaga air mata itu untuk kau sulap jadi mata air.
Hadapilah samudera air mataku sebagai tempatmu berlaut,
menjemput impian dengan selusin keyakinan dan seribu lagi kepalan.
Hati kami adalah hakikat matahari memancarkan cahaya,
tak pernah meminta kembali. Menghidupkanmu adalah tugas tulus jiwa.
Jadilah tetunas kehidupan dengan selusin ragam peran mempesona,
ukirlah lembar hidupmu dengan lentik kreatif, dengan lembut rasa.
Jadilah kau elang kehidupan Wisudawan,
Taklukkan langit kehidupan dengan tajam matamu
Terbanglah dengan dua sayap hebatmu
Arungi langit dengan selusin mimpi yang membuatmu berarti.
Di sudut rumah tua, dari balai suci kampusmu,
memintal air mata doa kami, mengangkat dasar jiwamu ke angkasa,
melepasmu mengetuk energi Langit,
menyimpan sejuta derita, melepasmu menjadi Jawara!
Ponorogo, 26 Oktober 2019
***