[Opini] Cinta Bahasa, Majukan Bangsa
Oleh: Sri Wahyuni
Sejak tahun 1980, setiap bulan Oktober Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan telah mengembangkan ikon kegiatan kebahasaan dan kesastraan, yakni Bulan Bahasa dan Sastra. Tahun ini tema yang diusung adalah “Maju Bahasa dan Sastra, Maju Indonesia”.
Agenda Bulan Bahasa dan Sastra yang diselenggarakan setiap bulan Oktober mengingatan kita pada peristiwa 91 tahun silam. Di Batavia, 28 Oktober 1928, berkumpul para pemuda dari berbagai organisasi pemuda seluruh Indonesia. Mereka menyatukan Nusantara, tak ubahnya seperti Gajah Mada. Mahapatih Gajah Mada menyatukan Nusantara dengan sumpah Palapa, para pemuda kala itu menyatukan Nusantara dengan bahasa melalui Sumpah Pemuda. Butir ketiga Sumpah Pemuda berbunyi “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia”. Sejak saat itulah bahasa Indonesia dicanangkan sebagai bahasa nasional. Dan diresmikan sehari setelah proklamasi.
Dalam perkembangannya, kedudukan bahasa Indonesia mencapai puncaknya ketika dijadikan bahasa negara yang rumusannya tercantum dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 36. Setelah itu, berkembanglah penjabarannya dalam berbagai sektor kehidupan nasional, yang kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, berfungsi sebagai jati diri atau identitas bangsa Indonesia. Sebagai jati diri bangsa Indonesia sudah sepantasnya kita bangga pada bahasa Indonesia. Lalu di usianya yang menginjak 91 tahun ini, bagaimana kabar bahasa Indonesia? Sudahkah kita bangga padanya? Memprihatinkan! Jika kita mau menengok orang-orang di sekeliling kita, mereka lebih bangga menggunakan bahasa asing daripada bahasa nasional. Bahasa asing mulai menghiasi berbagai dialog masyarakat saat ini. Ada juga orangtua yang mengajarkan bahasa asing pada anaknya sejak kecil sehingga anak-anak merasa bahwa itu adalah bahasa utama baginya.
Tak hanya dalam percakapan, tempat-tempat umum banyak yang telah mengubah namanya dengan nama asing. Kantor-kantor megah, gedung-gedung pencakar langit, mal-mal mewah, perumahan-perumahan elite, dan merek-merek barang, semuanya lebih sering menggunakan nama asing di tubuhnya. Jika kita berjalan, ada saja penunjuk yang menggunakan bahasa asing. Entah itu penunjuk tempat maupun penunjuk jalan. Hal paling sederhana, datanglah ke rumah-rumah mewah yang memiliki pengeset kaki. Kiranya Anda akan menemukan keset dengan tulisan “welcome” bukan selamat datang, atau sugeng rawuh.
Beralih pada dunia kerja, ada sebagian orang yang menyebut profesinya dengan bahasa asing. Misalnya sopir, mereka akan menyebut profesinya dengan driver; satpam menjadi security; dan sebagainya. Dengan begitu mereka akan merasa lebih keren, lebih elegan. Secara makna memang tak ada yang berbeda. Namun, bahasa Indonesia kerap dianggap tak populer, kurang gaul, maupun kalah pamor dengan bahasa luar negeri.
Di media sosial ada juga sebagian orang yang merasa lebih pintar, tidak gagap teknologi, mengikuti perkembangan, serta lebih percaya diri ketika memakai bahasa asing dalam membuat status. Padahal mereka belum tentu paham dengan bahasa sing tersebut, baik dalam hal penulisan maupun pengucapannya. Namun, mereka tetap memaksa diri untuk mengikuti tren serta julukan kekinian yang sedang tren sekarang. Rangkaian kata itupun hadir dalam keterpaksaan.
Berbagai fenomena di atas, menunjukkan bahwa masyarakat kita lebih bangga menggunakan bahasa asing daripada bahasanya sendiri. Bahasa asing saat ini sudah menjadi tren, menggunakannya keren, dan orang yang tidak menggunakan bahasa asing disebut primitif. Benarkah mereka primitif?
Jika kita mau belajar dari beberapa negara tetangga, primitif tidaknya seseorang bukan ditentukan oleh penggunaanya terhadap bahasa asing. Di Jepang misalnya, bahasa nasional sangat dibanggakan. Namun, bukan berarti mereka tidak bangga pada bahasa asing. Bahasa nasional tetap menjadi prioritas utama lalu disusul bahasa asing. Kalau ada orang asing yang ingin berkunjung ke Jepang, hendaknya mereka belajar bahasa Jepang terlebih dahulu agar bisa mudah berinteraksi dengan orang asli Jepang. Sekarang pertanyaannya, apakah orang Jepang primitif?
Selain Jepang, kita juga bisa belajar pada negara Thailand. Di Thailand, walaupun bahasa Inggris masuk ke sistem kurikulum pendidikan mereka, tetapi kemampuan masyarakatnya dalam bahasa Inggris rendah, masih lebih baik Indonesia. Tetapi apakah mereka primitif. Apakah orang Jepang dan Thailand itu primitif? Tidak.
Jika kita amati, orang-orang Jepang justru telah menemukan beragam jenis inovasi teknologi yang digunakan diseluruh dunia. Tengoklah sepeda motor yang lalu-lalang di sekitar kita, Yamaha, Honda, Suzuki, Kawasaki. Semua itu buatan Jepang. Tidak hanya Indonesia tapi hampir seluruh dunia merasakan manfaatnya. Tidak terkecuali negara digdaya, Amerika Serikat, walaupun mungkin tidak sepenuhnya menguasai.
Lalu bagaimana dengan Thailand? Mereka tidak primitif. Indonesia memiliki prosentasi penduduk yang mampu berbahasa Inggris lebih tinggi dari Thailand. Tetapi nyatanya, Indonesia yang pernah menyandang predikat lumbung padi Asia Tenggara justru sekarang mengimpor padi dari lumbung di Thailand. Tingkat perekonomian mereka juga lebih baik daripada di Indonesia. Hebatnya lagi, pendidikan di Thailand gratis selamat 12 tahun. Sementara wajib belajar di sana adalah 12 tahun. Itukah yang disebut primitif?
Jepang dan Thailand adalah contoh negara yang memiliki rasa cinta tinggi terhadap bahasa nasionalnya. Sebagaimana kata pepatah, bangsa yang maju adalah bangsa yang menjunjung tinggi bahasa. Mencintai bahasa sama artinya menjunjung tinggi bahasa. Ada banyak cara untuk mencintai bahasa. Cinta terhadap bahasa Indonesia dapat dimulai dari hal paling sederhana. Misalnya, kita menggunakannya dengan maksimal tanpa menyandingkannya dengan bahasa asing. Sudah semestinya kita bangga terhadap bahasa negara kita. Jangan malu, jangan segan, dan jangan ragu untuk menggunakan bahasa Indonesia. Jika sudah cinta, sudah bangga maka kita akan selalu memikirkannya. Ketika sudah memikirkan kita akan senantiasa ingin didekatnya dan bersamanya. Dengan begitu, tidak ada lagi celah untuk bahasa asing. Jika masyarakatnya sudah cinta bahasa maka bangsa ini dipastikan akan menjadi bangsa yang maju, layaknya Jepang dan Thailand.
Sejak tahun 1980, setiap bulan Oktober Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan telah mengembangkan ikon kegiatan kebahasaan dan kesastraan, yakni Bulan Bahasa dan Sastra. Tahun ini tema yang diusung adalah “Maju Bahasa dan Sastra, Maju Indonesia”.
Agenda Bulan Bahasa dan Sastra yang diselenggarakan setiap bulan Oktober mengingatan kita pada peristiwa 91 tahun silam. Di Batavia, 28 Oktober 1928, berkumpul para pemuda dari berbagai organisasi pemuda seluruh Indonesia. Mereka menyatukan Nusantara, tak ubahnya seperti Gajah Mada. Mahapatih Gajah Mada menyatukan Nusantara dengan sumpah Palapa, para pemuda kala itu menyatukan Nusantara dengan bahasa melalui Sumpah Pemuda. Butir ketiga Sumpah Pemuda berbunyi “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia”. Sejak saat itulah bahasa Indonesia dicanangkan sebagai bahasa nasional. Dan diresmikan sehari setelah proklamasi.
Dalam perkembangannya, kedudukan bahasa Indonesia mencapai puncaknya ketika dijadikan bahasa negara yang rumusannya tercantum dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 36. Setelah itu, berkembanglah penjabarannya dalam berbagai sektor kehidupan nasional, yang kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, berfungsi sebagai jati diri atau identitas bangsa Indonesia. Sebagai jati diri bangsa Indonesia sudah sepantasnya kita bangga pada bahasa Indonesia. Lalu di usianya yang menginjak 91 tahun ini, bagaimana kabar bahasa Indonesia? Sudahkah kita bangga padanya? Memprihatinkan! Jika kita mau menengok orang-orang di sekeliling kita, mereka lebih bangga menggunakan bahasa asing daripada bahasa nasional. Bahasa asing mulai menghiasi berbagai dialog masyarakat saat ini. Ada juga orangtua yang mengajarkan bahasa asing pada anaknya sejak kecil sehingga anak-anak merasa bahwa itu adalah bahasa utama baginya.
Tak hanya dalam percakapan, tempat-tempat umum banyak yang telah mengubah namanya dengan nama asing. Kantor-kantor megah, gedung-gedung pencakar langit, mal-mal mewah, perumahan-perumahan elite, dan merek-merek barang, semuanya lebih sering menggunakan nama asing di tubuhnya. Jika kita berjalan, ada saja penunjuk yang menggunakan bahasa asing. Entah itu penunjuk tempat maupun penunjuk jalan. Hal paling sederhana, datanglah ke rumah-rumah mewah yang memiliki pengeset kaki. Kiranya Anda akan menemukan keset dengan tulisan “welcome” bukan selamat datang, atau sugeng rawuh.
Beralih pada dunia kerja, ada sebagian orang yang menyebut profesinya dengan bahasa asing. Misalnya sopir, mereka akan menyebut profesinya dengan driver; satpam menjadi security; dan sebagainya. Dengan begitu mereka akan merasa lebih keren, lebih elegan. Secara makna memang tak ada yang berbeda. Namun, bahasa Indonesia kerap dianggap tak populer, kurang gaul, maupun kalah pamor dengan bahasa luar negeri.
Di media sosial ada juga sebagian orang yang merasa lebih pintar, tidak gagap teknologi, mengikuti perkembangan, serta lebih percaya diri ketika memakai bahasa asing dalam membuat status. Padahal mereka belum tentu paham dengan bahasa sing tersebut, baik dalam hal penulisan maupun pengucapannya. Namun, mereka tetap memaksa diri untuk mengikuti tren serta julukan kekinian yang sedang tren sekarang. Rangkaian kata itupun hadir dalam keterpaksaan.
Berbagai fenomena di atas, menunjukkan bahwa masyarakat kita lebih bangga menggunakan bahasa asing daripada bahasanya sendiri. Bahasa asing saat ini sudah menjadi tren, menggunakannya keren, dan orang yang tidak menggunakan bahasa asing disebut primitif. Benarkah mereka primitif?
Jika kita mau belajar dari beberapa negara tetangga, primitif tidaknya seseorang bukan ditentukan oleh penggunaanya terhadap bahasa asing. Di Jepang misalnya, bahasa nasional sangat dibanggakan. Namun, bukan berarti mereka tidak bangga pada bahasa asing. Bahasa nasional tetap menjadi prioritas utama lalu disusul bahasa asing. Kalau ada orang asing yang ingin berkunjung ke Jepang, hendaknya mereka belajar bahasa Jepang terlebih dahulu agar bisa mudah berinteraksi dengan orang asli Jepang. Sekarang pertanyaannya, apakah orang Jepang primitif?
Selain Jepang, kita juga bisa belajar pada negara Thailand. Di Thailand, walaupun bahasa Inggris masuk ke sistem kurikulum pendidikan mereka, tetapi kemampuan masyarakatnya dalam bahasa Inggris rendah, masih lebih baik Indonesia. Tetapi apakah mereka primitif. Apakah orang Jepang dan Thailand itu primitif? Tidak.
Jika kita amati, orang-orang Jepang justru telah menemukan beragam jenis inovasi teknologi yang digunakan diseluruh dunia. Tengoklah sepeda motor yang lalu-lalang di sekitar kita, Yamaha, Honda, Suzuki, Kawasaki. Semua itu buatan Jepang. Tidak hanya Indonesia tapi hampir seluruh dunia merasakan manfaatnya. Tidak terkecuali negara digdaya, Amerika Serikat, walaupun mungkin tidak sepenuhnya menguasai.
Lalu bagaimana dengan Thailand? Mereka tidak primitif. Indonesia memiliki prosentasi penduduk yang mampu berbahasa Inggris lebih tinggi dari Thailand. Tetapi nyatanya, Indonesia yang pernah menyandang predikat lumbung padi Asia Tenggara justru sekarang mengimpor padi dari lumbung di Thailand. Tingkat perekonomian mereka juga lebih baik daripada di Indonesia. Hebatnya lagi, pendidikan di Thailand gratis selamat 12 tahun. Sementara wajib belajar di sana adalah 12 tahun. Itukah yang disebut primitif?
Jepang dan Thailand adalah contoh negara yang memiliki rasa cinta tinggi terhadap bahasa nasionalnya. Sebagaimana kata pepatah, bangsa yang maju adalah bangsa yang menjunjung tinggi bahasa. Mencintai bahasa sama artinya menjunjung tinggi bahasa. Ada banyak cara untuk mencintai bahasa. Cinta terhadap bahasa Indonesia dapat dimulai dari hal paling sederhana. Misalnya, kita menggunakannya dengan maksimal tanpa menyandingkannya dengan bahasa asing. Sudah semestinya kita bangga terhadap bahasa negara kita. Jangan malu, jangan segan, dan jangan ragu untuk menggunakan bahasa Indonesia. Jika sudah cinta, sudah bangga maka kita akan selalu memikirkannya. Ketika sudah memikirkan kita akan senantiasa ingin didekatnya dan bersamanya. Dengan begitu, tidak ada lagi celah untuk bahasa asing. Jika masyarakatnya sudah cinta bahasa maka bangsa ini dipastikan akan menjadi bangsa yang maju, layaknya Jepang dan Thailand.
Akhirnya, di bulan kelahiran bahasa Indonesia ini, mari tunjukkan rasa cinta kita, dengan mengagungkan hari kelahirannya, maka kita akan tahu bagaimana sakralnya peristiwa 91 tahun lalu. Selamat ulang tahun bahasa Indonesia. Semoga ikon kebahasaan dan kesastraan yang diselenggarakan Kemendikbud bisa meningkatkan rasa cinta kita terhadap bahasa Indonesia. Semoga!
Sejak tahun 1980, setiap bulan Oktober Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan telah mengembangkan ikon kegiatan kebahasaan dan kesastraan, yakni Bulan Bahasa dan Sastra. Tahun ini tema yang diusung adalah “Maju Bahasa dan Sastra, Maju Indonesia”.
Agenda Bulan Bahasa dan Sastra yang diselenggarakan setiap bulan Oktober mengingatan kita pada peristiwa 91 tahun silam. Di Batavia, 28 Oktober 1928, berkumpul para pemuda dari berbagai organisasi pemuda seluruh Indonesia. Mereka menyatukan Nusantara, tak ubahnya seperti Gajah Mada. Mahapatih Gajah Mada menyatukan Nusantara dengan sumpah Palapa, para pemuda kala itu menyatukan Nusantara dengan bahasa melalui Sumpah Pemuda. Butir ketiga Sumpah Pemuda berbunyi “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia”. Sejak saat itulah bahasa Indonesia dicanangkan sebagai bahasa nasional. Dan diresmikan sehari setelah proklamasi.
Dalam perkembangannya, kedudukan bahasa Indonesia mencapai puncaknya ketika dijadikan bahasa negara yang rumusannya tercantum dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 36. Setelah itu, berkembanglah penjabarannya dalam berbagai sektor kehidupan nasional, yang kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, berfungsi sebagai jati diri atau identitas bangsa Indonesia. Sebagai jati diri bangsa Indonesia sudah sepantasnya kita bangga pada bahasa Indonesia. Lalu di usianya yang menginjak 91 tahun ini, bagaimana kabar bahasa Indonesia? Sudahkah kita bangga padanya? Memprihatinkan! Jika kita mau menengok orang-orang di sekeliling kita, mereka lebih bangga menggunakan bahasa asing daripada bahasa nasional. Bahasa asing mulai menghiasi berbagai dialog masyarakat saat ini. Ada juga orangtua yang mengajarkan bahasa asing pada anaknya sejak kecil sehingga anak-anak merasa bahwa itu adalah bahasa utama baginya.
Tak hanya dalam percakapan, tempat-tempat umum banyak yang telah mengubah namanya dengan nama asing. Kantor-kantor megah, gedung-gedung pencakar langit, mal-mal mewah, perumahan-perumahan elite, dan merek-merek barang, semuanya lebih sering menggunakan nama asing di tubuhnya. Jika kita berjalan, ada saja penunjuk yang menggunakan bahasa asing. Entah itu penunjuk tempat maupun penunjuk jalan. Hal paling sederhana, datanglah ke rumah-rumah mewah yang memiliki pengeset kaki. Kiranya Anda akan menemukan keset dengan tulisan “welcome” bukan selamat datang, atau sugeng rawuh.
Beralih pada dunia kerja, ada sebagian orang yang menyebut profesinya dengan bahasa asing. Misalnya sopir, mereka akan menyebut profesinya dengan driver; satpam menjadi security; dan sebagainya. Dengan begitu mereka akan merasa lebih keren, lebih elegan. Secara makna memang tak ada yang berbeda. Namun, bahasa Indonesia kerap dianggap tak populer, kurang gaul, maupun kalah pamor dengan bahasa luar negeri.
Di media sosial ada juga sebagian orang yang merasa lebih pintar, tidak gagap teknologi, mengikuti perkembangan, serta lebih percaya diri ketika memakai bahasa asing dalam membuat status. Padahal mereka belum tentu paham dengan bahasa sing tersebut, baik dalam hal penulisan maupun pengucapannya. Namun, mereka tetap memaksa diri untuk mengikuti tren serta julukan kekinian yang sedang tren sekarang. Rangkaian kata itupun hadir dalam keterpaksaan.
Berbagai fenomena di atas, menunjukkan bahwa masyarakat kita lebih bangga menggunakan bahasa asing daripada bahasanya sendiri. Bahasa asing saat ini sudah menjadi tren, menggunakannya keren, dan orang yang tidak menggunakan bahasa asing disebut primitif. Benarkah mereka primitif?
Jika kita mau belajar dari beberapa negara tetangga, primitif tidaknya seseorang bukan ditentukan oleh penggunaanya terhadap bahasa asing. Di Jepang misalnya, bahasa nasional sangat dibanggakan. Namun, bukan berarti mereka tidak bangga pada bahasa asing. Bahasa nasional tetap menjadi prioritas utama lalu disusul bahasa asing. Kalau ada orang asing yang ingin berkunjung ke Jepang, hendaknya mereka belajar bahasa Jepang terlebih dahulu agar bisa mudah berinteraksi dengan orang asli Jepang. Sekarang pertanyaannya, apakah orang Jepang primitif?
Selain Jepang, kita juga bisa belajar pada negara Thailand. Di Thailand, walaupun bahasa Inggris masuk ke sistem kurikulum pendidikan mereka, tetapi kemampuan masyarakatnya dalam bahasa Inggris rendah, masih lebih baik Indonesia. Tetapi apakah mereka primitif. Apakah orang Jepang dan Thailand itu primitif? Tidak.
Jika kita amati, orang-orang Jepang justru telah menemukan beragam jenis inovasi teknologi yang digunakan diseluruh dunia. Tengoklah sepeda motor yang lalu-lalang di sekitar kita, Yamaha, Honda, Suzuki, Kawasaki. Semua itu buatan Jepang. Tidak hanya Indonesia tapi hampir seluruh dunia merasakan manfaatnya. Tidak terkecuali negara digdaya, Amerika Serikat, walaupun mungkin tidak sepenuhnya menguasai.
Lalu bagaimana dengan Thailand? Mereka tidak primitif. Indonesia memiliki prosentasi penduduk yang mampu berbahasa Inggris lebih tinggi dari Thailand. Tetapi nyatanya, Indonesia yang pernah menyandang predikat lumbung padi Asia Tenggara justru sekarang mengimpor padi dari lumbung di Thailand. Tingkat perekonomian mereka juga lebih baik daripada di Indonesia. Hebatnya lagi, pendidikan di Thailand gratis selamat 12 tahun. Sementara wajib belajar di sana adalah 12 tahun. Itukah yang disebut primitif?
Jepang dan Thailand adalah contoh negara yang memiliki rasa cinta tinggi terhadap bahasa nasionalnya. Sebagaimana kata pepatah, bangsa yang maju adalah bangsa yang menjunjung tinggi bahasa. Mencintai bahasa sama artinya menjunjung tinggi bahasa. Ada banyak cara untuk mencintai bahasa. Cinta terhadap bahasa Indonesia dapat dimulai dari hal paling sederhana. Misalnya, kita menggunakannya dengan maksimal tanpa menyandingkannya dengan bahasa asing. Sudah semestinya kita bangga terhadap bahasa negara kita. Jangan malu, jangan segan, dan jangan ragu untuk menggunakan bahasa Indonesia. Jika sudah cinta, sudah bangga maka kita akan selalu memikirkannya. Ketika sudah memikirkan kita akan senantiasa ingin didekatnya dan bersamanya. Dengan begitu, tidak ada lagi celah untuk bahasa asing. Jika masyarakatnya sudah cinta bahasa maka bangsa ini dipastikan akan menjadi bangsa yang maju, layaknya Jepang dan Thailand.
Akhirnya, di bulan kelahiran bahasa Indonesia ini, mari tunjukkan rasa cinta kita, dengan mengagungkan hari kelahirannya, maka kita akan tahu bagaimana sakralnya peristiwa 91 tahun lalu. Selamat ulang tahun bahasa Indonesia. Semoga ikon kebahasaan dan kesastraan yang diselenggarakan Kemendikbud bisa meningkatkan rasa cinta kita terhadap bahasa Indonesia. Semoga!
Akhirnya, di bulan kelahiran bahasa Indonesia ini, mari tunjukkan rasa cinta kita, dengan mengagungkan hari kelahirannya, maka kita akan tahu bagaimana sakralnya peristiwa 91 tahun lalu. Selamat ulang tahun bahasa Indonesia. Semoga ikon kebahasaan dan kesastraan yang diselenggarakan Kemendikbud bisa meningkatkan rasa cinta kita terhadap bahasa Indonesia. Semoga!
***
Sri Wahyuni, tim Sekolah Literasi Gratis (SLG) 2 STKIP PGRI Ponorogo.
Sumber: https://www.kompasiana.com/favorite/5db70a4ed541df4f65578be2/cinta-bahasa-majukan-bangsa