Pendidikan Literasi Berbasis Guru
PEPATAH Jawa mengatakan, “guru iku digugu lan ditiru”, sebagai akronim dari kata guru. Mungkin pepatah tersebut tidak asing lagi bagi masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Meskipun dari pepatah Jawa, namun mayoritas orang tentu mengetahui hakikat pepatah tersebut. Berdasarkan pepatah tersebut, tentu masyarakat berpandangan bahwa seorang guru merupakan sosok yang dapat digugu atau dipercaya dan dapat ditiru atau menjadi suri tauladan (panutan).
Begitulah pepatah yang sering terdengar di telinga kita. Pepatah tersebut dapat dimaknai secara harfiah (tersurat) dalam dua kata. Pertama, digugu. Guru yang dapat digugu maksudnya segala apa yang dikatakan dan diperbuat dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban berupa penjelasan-penjelasan dan pembuktian-pembuktian yang logis dalam menyampaikan sesuatu, baik kepada siswa maupun masyarakat. Penjelasan dan pembuktian dilandasi sumber kuat dan akurat.Tidak hanya asal bicara. Sehingga ketika siswa maupun masyarakat bertanya, diharapkan guru dapat menjawab dengan benar dan dapat dipercayai kebenarannya.
Kedua, ditiru. Guru yang dapat ditiru berarti tingkah laku baik perkataan maupun perbuatannya senantiasa dapat menjadi contoh, menjadi suri tauladan (panutan) bagi siswa maupun masyarakat. Hal ini beralasan karena guru dijadikan model bagi masyarakat sebagai contoh pribadi yang baik. Apabila guru tidak mampu memberikan contoh yang baik, maka kemungkinan besar siswa akan menirunya. Apabila terjadi demikian, maka tujuan pendidikan untuk menciptakan pribadi yang berbudi pekerti luhur akan sulit dicapai. Belum lagi guru akan kehilangan wibawa dan kepercayaan di mata masyarakat.
Di sini, guru hakikatnya merupakan sosok yang penting bagi siswa maupun masyarakat. Selain sebagai sumber ilmu yang dapat dipercaya, guru juga dapat dijadikan panutan bagi siswa maupun masyarakat dalam bertingkah laku. Memang sesuatu yang lumayan berat, namun begitulah hakikat dari seoran guru. Sehingga mereka harus selalu introspeksi diri supaya seluruh perkataan dan aktivitasnya tidak bernilai negatif. Dan pada akhirnya, seorang guru dapat digugu dan ditiru oleh para siswanya dan masyarakat pada umumnya.
Literasi, Pendidikan dan Guru
Berbicara tentang literasi, secara sempit dapat dimaknai dengan keterampilan membaca dan menulis. Di sini berarti, kegiatan literasi hanya berkecimpung di dunia baca dan tulis. Namun secara lebih luas yang dimaksud dengan literasi ialah kemampuan menganalisis, memahami, mengkritisi segala sesuatu, kesadaran akan apa yang terjadi, tidak hanya kemampuan membaca dan menulis saja. Seperti yang diungkapkan Prof.Djoko Saryono, M.Pd, dosen UM saat menjadi pemateri di Sekolah Literasi Gratis STKIP PGRI Ponorogo (Minggu, 27/11/2016) yang lalu, literasi bukan sekedar melek aksara/bebas dari buta huruf, tapi kuasa/daya berpikir kritis-kreatif yang ditopang membaca-menulis bahkan kemudian angka dan rupa. Hal ini membuktikan bahwa literasi merupakan modal utama bagi siswa untuk memahami segala pengetahuan sebagai bekal masa depan.
Meningkatkan minat baca maupun berliterasi para peserta didik bahkan masyarakat secara umum harus dimulai dari seorang guru. Jika seorang guru memberi contoh yang baik maka peserta didik akan menirunya begitupula sebaliknya.
Dalam konteks internasional, literasi yang ada di Indonesia masih tergolong rendah. Hasil penelitian internasional, Programme for Internasional Student Assessment (PISA) tahun 2015 tentang kemampuan membaca siswa, menyebutkan bahwa kemampuan membaca siswa di Indonesia menduduki urutan ke-69 dari 76 negara yang disurvei. Sememtara itu, dalam Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang diselenggarakan lima tahun sekali, tahun 2011 Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 48 negara peserta dengan skor 428 dari skor rata-rata 500 (IEA,2012). Rendahnya kemampuan tersebut membuktikan bahwa proses pendidikan di Indonesia belum mengembangkan kompetensi dan minat peserta didik terhadap pengetahuan. Praktek pendidikan yang ada belum menunjukkan bahwa sekolah merupakan organisasi yang dapat menjadikan warganya pembelajar sepanjang hayat.
Kemudian, berdasarkan hal tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berusaha mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). GLS memperkuat penumbuhan budi pekerti luhur sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 tahun 2015. Salah satu kegiatan dalam gerakan tersebut adalah kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu pelajaran dimulai. Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai dengan lebih baik.
Di sinilah sosok guru yang dapat digugu dan ditiru tersebut berperan. Jika ingin minat baca peserta didik maupun literasi meningkat, maka selain memberi arahan untuk melakukannya guru juga harus memberi tindakan nyata. Tindakan di sini berupa memberi contoh kepada peserta didik untuk berliterasi. Guru senantiasa membiasakan diri untuk membaca-dalam konteks luas berliterasi-sehingga siswanya secara tidak langsung akan meniru apa yang dilakukan guru tersebut. Lama kelamaan siswa akan terbiasa untuk melakukan hal-hal yang seperti dilakukan gurunya.
Bukan tidak mungkin siswa akan meniru semua yang dilakukan oleh sosok seorang guru. Namun ironinya, sekarang banyak guru yang menyuruh siswanya membaca maupun menulis. Akan tetapi ia sendiri tidak melakukannya. Guru mata pelajaran bahasa Indonesia, misalnya. Mereka memberi tugas kepada siswa untuk membuat puisi, cerpen, artikel maupun esai. Apakah siswa akan mengerjakan apa yang ditugaskan guru tersebut? Tentu mereka akan mengerjakannya, namun hanya karena terpaksa. Karena mereka mengerjakannya hanya untuk memenuhi tugas dari sang guru dan tuntutan untuk mendapat nilai saja.
Motivasi dan arahan dari seorang guru memang sangat penting. Namun itu saja tidak cukup untuk membuat siswa mau dan ingin mengerjakan apa yang diperintahkan oleh guru, maka di sini seorang guru baiknya dapat memberi suri tauladan yang baik untuk siswanya. Jika guru menyuruh siswa berliterasi-membaca dan menulis-baiknya ia juga melakukan hal tersebut. Tidak hanya menyuruh, akan tetapi juga memberi contoh. Jika seorang guru sudah memberikan contoh yang baik, tentu siswa akan terinspirasi untuk menirunya.
Meningkatkan minat baca maupun berliterasi para peserta didik bahkan masyarakat secara umum harus dimulai dari seorang guru. Jika seorang guru memberi contoh yang baik maka peserta didik akan menirunya begitupula sebaliknya. Jadi alangkah baiknya jika seorang guru senantiasa memberi contoh yang baik sehingga dapat digugu dan ditiru oleh peserta didik maupun masyarakat secara umum. (*)
Penulis: Iin Rismawati, Mahasiswa PBSI STKIP PGRI Ponorogo, Panitia SLG STKIP PGRI Ponorogo
Sumber: Duta Masyarakat edisi Jumat, 24 Februari 2017