Benderaku Tak Berkibar Di Angkasa
Godaan kewarganegaraan itulah yang riskan.
Euforia upacara 17 Agustus acap kali menghiasi seluruh media Indonesia. Baik daring maupun mainstrem. Sorotan utama pasti siapa yang jadi petugasnya, para Paskibrakanya. Dan yang cenderung fonemonal, ketika tali nyangkut di tiang bendera. Seperti peristiwa anak SD yang memanjat tiang untuk mengulur tali yang nyangkut di atas.
Di Sekolah (CLC) anak TKI Sabah, peristiwa nyangkutnya tali pasti tak akan pernah terjadi. Pasalnya, tiang bendera di sekolah Indonesia atau marak disebut Community Learning Centre (CLC), tak ada yang berdiri kokoh di depan bangunan sewa sekolah di sana.
Cerita CLC Sabah
Puluhan CLC berdiri di Sabah. Dengan tujuan untuk mendidik putra-putri Indonesia yang ada di Sabah. Walaupun berada nun jauh di sana. Mereka tetap berpikir menimba ilmu untuk bekal hidupnya. Dan setia dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lagi-lagi mereka tetap harus memastikan Ringgit atau Tambang mereka guna memenuhi kodrat manusia untuk tetap berilmu.
Sekolah di CLC memang tidak gampang. Mereka tetap harus iuran untuk menanggung sewa tanah dan bangunan yang berdiri semi permanen sebagai sekolahan. Hal ini memang wajar. Namun, godaan kewarganegaraan itulah yang riskan.
Banyak sekolah gratis di Sabah. Bahkan, seingat saya seluruh sekolah dari jejang pra-Sekolah Dasar sampai Sekolah Atas di sana keseluruhan biaya ditanggung pemerintah. Bukan cuma itu saja, kebutuhan peralatan sekolah baik buku, tas, bolpoin hingga seragam sekolah ditanggung oleh pemerintahan. Untuk menikmati semua fasilitas itu syaratnya hanya satu, anak harus berstatus warga negara Malaysia.
Coba kita bayangkan. Keterhimpitan WNI kita di sana mencari penghidupan lewat kerja di perkebunan sawit, mereka tetap menyekolahkan anaknya. Tak hanya itu, mereka tetap bersikukuh menjadi Warga Negara Indonesia. Dengan konsekuensi, mereka harus menambah uang pengeluaran setiap bulannya.
Belum lagi bagi warga Negara Indonesia yang memiliki Passport. Mereka juga harus mencari tambahan uang untuk memperpanjang izin tinggalnya. Tak khayal, dari sekian ratus ribu WNI di Sabah, hanya segelintir orang yang memiliki izin tinggal resmi.
Ironisnya, pergolakan batin memilih Indonesia atau Sabah sebagai naungan yuridis tak tereskpose. Umum menganggap, jiwa Nasionalisme mereka perlu dipupuk. Memang kalau dipikir, untuk meringankan keterhimpitan ekonomi, mereka pasti akan memilih menjadi warga Malaysia. Namun, status WNI tetap meraka tancapkan di lubuk hati terdalam.
Belum lagi saat lahiran. Apa yang terpikir untuk kelegalan anaknya? Ya pasti akta lahir atau sering disebut sijil. Mereka harus mengurusnya ke KJRI yang berada di Kota Kinabalu dengan jarak berpuluh-puluh jauhnya. Jauhnya tempat mereka tinggal pun beralasan. Pilihan itu agar terhindar dari razia polisi. TKI illegal itu banyak yang tinggal di Kebun-kebun Sawit yang ada di pedalaman. Jauh dari hiruk-pikuk kota.
Program melegalkan anak-anak TKI illegal di Sabah ini memang terhitung sangat membantu. Dan permasalahan yang harus diselesaikan KJRI adalah prihal jarak mengurus sijil ini. Maka dari itu, program pendataan, KJRI merangkul CLC-CLC yang bertebar di Sabah. Siapa yang mengurusnya?
Tentunya para Guru yang mengajar. Sudah pasti, menjadi Guru di Sabah lebih repot lagi. Harus mengurus sewa tanah dan bangunan Sekolah, administrasi sekolah dan mengajar. Para Guru merangkap sebagai petugas Dukcapil. Mereka harus melayani semua WNI di lingkungan sekolah dalam mengurus sijil. Ibarat kata, kantor pembantu KJRI Kota Kinabalu adalah CLC yang sejatinya sebagai wadah pendidikan.
Upacara di Sabah
Pengalaman upacara bendera pertama saya saat mengajar di salah satu CLC bernama Budi Luhur-Biah membuat bulu kuduk merinding. Upacara bendera hari Senin rutin diselenggarakan, di sini saya merasakan aura upacara dan menyanyikan lagu Indonesia Raya di luar negeri pertama kalinya. Begitu tiba waktu pengibaran bendera Merah-Putih, Saya baru ngeh dengan keanehan. Tak ada tiang bendera tertancap.
Pikir saya, bagaimana cara mengibarkannya. Ternyata, bendera Merah-Putih tetap dibawa oleh 3 orang petugas. Setelah berada di posisi, bendera direntangkan oleh dua anak. Lalu, bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan disertai hormat. Betapa trenyuh hati saya menyaksikan peristiwa pengibaran bendera seperti itu di sepanjang hidup saya. Selesai pengibaran bendera dilipat dan dibawa kembali oleh petugas untuk disimpan.
Begitu pula saat hari kemerdekaan Indonesia serta hari-hari besar lain. Format upacara tetap sama dengan yang ada di Indonesia. Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) tetap diadakan. Yang berbeda, tidak ada upacara penurunan bendera di Sabah. Karena hanya digunakan sebagai simbol, bukan dikibarkan secara gagah dan berkelebat di angkasa.
Nasionalisme Anak Indonesia di Sabah
Mempertanyakan Ke-Indonesian mereka bagi saya sangat naif. Mata saya terbelalak melihat kesadaran Nasionalitas mereka. Dan saya sangat belajar ke-Indonesia-an dari mereka.
Suatu ketika, saya menunjukkan 2 pecahan mata uang Ringgit dan Rupiah. Beruntung uang Rupiah masih ada tersisa di Tas milik saya. Saya tunjukkan kepada anak kelas 3 SMP. Saya bertanya:
“Tau ini uang mana?”
“Tidak taulah Kak!! Memang itu uang mana bah!!” Sahut mereka menggunakan dialog Sabah.
“Ini uang negaramulah! Ini Rupiah mata uang Indonesia” Sembari saya menunjukkan uang 50.000-an, 10.000-an dan pecahan 2000-an di samping mata uang Ringgit Malaysia.
“Lebih elok dan cantk ini ya kak!” Mereka menunjuk mata uang Ringgit.
“Di sini lakukah kak?” Mereka menimpali lagi.
“Ini lakunya di Indonesia! Kalau di sini ya tidak. Maukah?” Sahutku.
“Maulah. Tapi buat apakah kak?” Mereka menjawab dengan raut muka yang serius.
Beruntung mereka tak bertanya selisih kurs Rupiah dan Ringgit saat itu.
***
Frengki Nur Fariya Pratama staf LPPM dan penggiat Sekolah Literasi Gratis STKIP PGRI Ponorogo, Sekretaris Litbang PC NU Ponorogo, anggota Pramuka Garuda Pandega.
Sumber tulisan geotimes.co.id.