[Cerpen] Sejarah Sepasang Sayap
Cerpen: Sri Wahyuni
Sejak aku berumur 7 tahun ibu bilang bahwa aku punya sepasang sayap. Sayap itu berwarna putih, bentuknya lebar tipis dan bulunya ringan. Sayap itulah yang kelak akan membawaku terbang menuju surga. Kala itu, tentu saja aku merasa sangat bahagia. Saat ibu bercerita perihal sepasang sayap itu yang aku ingat hanya cerita guru agama di sekolahku. Katanya surga itu tempat paling indah dan paling nikmat. Apapun yang kita inginkan ada di sana. Ada ayam goreng, buah yang manis-manis, bahkan ada sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya. Ah, aku ingin minum susu sepuasnya, sebab aku jarang meminumnya. Kata ibu susu itu mahal.
Ibu bercerita bahwa sayap itu berwujud manusia. Dua orang perempuan yang sangat cantik, orangnya baik, dan aku harus menurut dengan dua perempuan itu. Pada saat ibu menyampaikan kisah-kisahnya dulu, tentu saja aku tidak paham. Yang ada di pikiranku hanya aku ingin minum susu di surga.
“Ibu, dua orang perempuan itu siapa?” tanyaku kala itu.
“Satu ibu dan satunya lagi adalah tante Yanti”.
“Tante Yanti itu siapa bu?”
“Tante cantik yang kemarin diajak bapakmu ke sini itu. Bapak menjadikan tante Yanti sebagai sayap untuk Sukma, agar kelak Sukma bisa terbang ke surga.”
Aku bersorak girang. Bukankah terbang ke suatu tempat yang penuh kenikmatan adalah hal menggembirakan bagi seorang anak kecil? Tapi anehnya ibuku tiba-tiba menangis. Tentu saja waktu itu aku tidak mengerti. Kapasitas pikiran dan perasaanku belum bisa mencerna sepenuhnya, bahkan pada saat pertama kali bapak menyuruhku memanggil tante Yanti dengan sebutan ibu. Namun, aku tak pernah mau. Bukankah ibuku hanya satu? Apa mungkin satu orang bisa memiliki dua ibu?
Usai ibu bercerita perihal sepasang sayap itu aku merasa ada yang aneh. Ibu dan bapak sering bicara bersama-sama bahkan kadang berteriak. Mereka seperti bersaing. Dan aku rasa ibu yang kalah sebab ibu selalu menangis setelahnya, sementara bapak pergi dari rumah. Mungkin untuk merayakan kemenangannya, pikirku saat itu.
Menjelang lulus sekolah dasar, ibu mengatakan kepadaku bahwa sebenarnya tante Yanti adalah ibu keduaku. Menurut cerita ibu, bapak telah menikahinya ketika aku kelas 2 dulu. Itu pun tanpa sepengetahuan ibuku pastinya.
“Menjadi ibu tidak harus melahirkan,” itu jawaban ibu saat aku bertanya mengapa aku harus memanggilnya ibu.
Pantas saja empat tahun terakhir bapak tidak ada di rumah. Kata ibu bapak merantau ke Sumantra. Tanpa sepengetahuan ibu juga tentunya. Seingatku selama empat tahun bapakku pulang dua kali. Pertama saat nenekku meninggal, kedua saat kakakku sakit. Aku baru tahu ternyata bapak pergi bersama tante Yanti. Sungguh, ini adalah fakta yang menyakitkan.
Awalnya ibu menolak tapi akhirnya ia berkenan menerima tante Yanti sebagai ibu keduaku. Kata ibu, pada kenyataanya kehadiran perempuan itu adalah sebuah malapetaka bagi keluarga kami. Dan jika ibu menerima semua itu sesungguhnya bukan perkara mudah. Satu-satunya alasan yang menguatkan ibuku karena ia takut kehilangan bapak. Ibuku adalah perempuan desa yang lemah. Sekolah dasar saja tidak tamat. Kedua orangtuanya telah meninggal dan ibuku anak tunggal. Jika ia berpisah dengan bapak bagaimana ia bisa membesarkan aku. Itulah alasannya mengapa akhirnya ibuku menerima tante Yanti sebagai ibu keduaku.
Saat ibu mengatakan bahwa tante Yanti adalah isteri kedua bapakku, spontan ada keinginan di hatiku untuk memaki perempuan itu. Aku akan mengatainya dengan sumpah serapah. Kupikir hal itu bisa menjadi pelampiasan dendamku, tetapi ibu buru-buru melarangku. Ibu memintaku bersabar dan ikhlas menerima semuanya.
Aku yakin ibu mulai risau saat mengetahui di dalam dadaku telah tumbuh dendam, hingga ibu merasa perlu menceritakan kembali padaku perihal sepasang sayap yang akan membawaku ke surga kelak. Nyatanya ibuku tidak mau menempuh resiko jika aku sampai benar-benar menyimpan dendam pada tante Yanti. Lalu ibu bercerita kembali tentang sepasang sayap putih, bentuknya lebar tipis dan bulunya ringan, yang kelak akan membawaku ke surga. Ceritanya masih sama dengan cerita sewaktu aku masih kecil dulu.
Begitu ibu selesai mengisahkan sepasang sayap itu ia lalu menceritakan seluruh peristiwa juga penyebab mengapa tante Yanti dipilih bapak untuk menjadi sebelah sayap menemani ibu. Mendadak aku merasakan sesak. Nafasku berat. Ada sesuatu yang memenuhi dadaku. Ada semacam luka namun berbeda dengan luka-luka yang aku rasakan sebelumnya. Bukan lagi tentang seorang perempuan yang menjadi ibu keduaku, bukan lagi keinginan untuk membalas dendam, tetapi lebih mengarah ke rasa sakit bahwa keberadaan tante Yanti adalah seorang perempuan yang dipaksa menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Faktor ekonomi menjadi alasan kuat orang tua tante Yanti dengan harapan setelah menikah bisa membantu mencari uang. Nyatanya sebaliknya. Setelah hamil tante Yanti ditinggal begitu saja oleh suaminya itu.
Di tengah prahara itu, sebagai teman waktu kecil, bapak hadir dalam kehidupan tante Yanti untuk menariknya dari jurang kepedihan. Pada saat itu bapak meminta izin ibu untuk mendampingi tante Yanti sampai anak yang dikandungnya lahir ke dunia. Tentu saja ibuku mengizinkan karena ia tidak pernah sedikitpun berpikiran negatif terhadap bapak. kepercayaan ibuku terlalu besar. Mungkin sesama perempuan ibu juga bisa merasakan apa yang dirasakan oleh tante Yanti.
Namun, ada kalanya niat baik tak selalu berbuah kebaikan. Keinginan bapak untuk menarik tante Yanti dari jurang kepedihan justru membuatnya terjebur dalam jurang kepedihan lain. Witing tresno jalaran soko kulino. Cinta itu sederhana mulanya, kebiasaan. Karena terbiasa bersama, bapakku jatuh cinta pada tante Yanti. Entah bagaimana prosesnya, tahu-tahu bapak sudah menikah dengan tante Yanti.
Sejenak aku tak bisa membayangkan bagaimana nyerinya hati tante Yanti melalui kehidupan seperti itu. Terlebih perasaan ibuku ketika ia harus merelakan suaminya menikah dengan perempuan lain. Ibu yakin ia akan kuat melaluinya. Katanya peristiwa itu telah terjadi, telah tergariskan, dan kita tidak bisa melenyapkannya. Semua merupakan ketakdiran.
Ibuku dan tante Yanti adalah perempuan hebat. Mereka mampu bertahan dalam masalah masing-masing. Bisa dibilang mereka adalah perempuan-perempuan malang, tetapi aku meyakini bahwa jika orang-orang yang malang bisa bersatu tentu saja akan menjadi kekuatan besar. Setidaknya kuat untuk menjadi perempuan-perempuan perkasa dengan deritanya sendiri-sendiri. Ibuku dengan segala hamparan keikhlasannya merelakan bapak menjadi suami orang lain. Dan tante Yanti sadar bahwa sayap sebelah kiri tidak akan pernah bisa sama bahkan menggantikan sayap sebelah kanan.
Sekarang aku baru mengerti mengapa ibuku menyebut dirinya dan tante Yanti sebagai sepasang sayap. Mereka adalah perempuan perkasa dengan segala kelebihan dan kekuranganya. Mereka suci. Mereka putih seputih sayap yang aku miliki. Dan aku bahagia memiliki sepasang sayap yang kelak akan membawaku terbang ke surga untuk mengetahui bagaimana rasanya susu. Sebab ibu tidak pernah membelikan aku susu. Harganya sampai sekarang masih tetap mahal.
***
Sri Wahyuni, alumni Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo (2019). Saat ini tercatat sebagai tim Sekolah Literasi Gratis STKIP PGRI Ponorogo.
Sumber: Jawa Pos Radar Madiun edisi Minggu, 17 November 2019.