Guru yang Berubah
Oleh: Sutejo
Guru itu inspirator, wajib menginspirasi muridnya. Guru itu motivator, harus mampu memotivasi siswanya. Guru itu teladan, dapat menjadi contoh di dalam (luar) kelas. Guru itu kreator sehingga daya ‘anehnya’ tak pernah habis. Guru itu inovator, mampu menemukan hal-hal kecil (maupun keilmuan) untuk membentuk diri peserta didik. Guru itu inkubator, aktor pengeram ‘telor-telor’ peradaban. Guru itu pembelajar, tak berhenti belajar materi (pengetahuan) dan metode pembelajaran (karena zaman terus bergerak).
Guru itu ilmuwan, mampu menggunakan metode dan logika berpikir ilmu dengan tepat dan benar. Guru itu pendidik, wajib jadi penggembala moral anak-didiknya. Guru itu pembimbing yang mampu menemukan dan mengembangkan potensi muridnya. Guru itu pengelola kelas, wajib mengorganisisasi ruang hingga menyenangkan dan memakna. Guru itu variator yang mampu menciptakan variasi pembelajaran yang tak menjemukan. Guru itu penggembala hati, yakni mereka yang senantiasa mengajar dengan menggunakan nurani (lembut dan atau keras silakan, orkestrasikan sesuai karakter personal kepribadian kita).
Guru itu dirigen lagu, ia adalah pengatur orkestrasi belajar yang memijarkan. Guru itu pencerita, mampu mengangkat kisah hidup (diri dan di luar) yang bisa menghidupkan. Guru itu seorang pelukis, mampu melukis dengan indah pikiran dan jiwa mutiara didiknya. Guru itu seorang spiritualis, ia yang mampu berdiri di kaki kearifan dan bersurban ilmu hikmah. Guru itu dinamo perubahan, maka ia adalah orang yang pertama berubah sebelum mengubah si pembelajar. Guru itu pembaca, sehingga asupan ilmu (lahir-batin) stok-nya melimpah.
Guru itu pengukir batu karang, jadilah ombak yang sabar terus bergerak untuk menyentuhnya. Guru itu samudera, jadilakanlah murid-didik pelaut-pelaut ulung yang mampu menaklukkan gelombang. Guru itu dalang, harus tak habis-habisnya lakon yang diperan-mainkan. Guru adalah segalanya, harapan dan masa depan digantungkan negara dan bangsa. Tak heran, di Finlandia, tidak semua orang bisa menjadi guru. Mereka 10 lulusan terbaik dari masing-masing perguruan tinggi. Kependidikan adalah jurusan-jurusan pilihan yang menarik.
***
Berkaitan dengan hari guru nasional kali ini (2019), ada pesan sederhana tetapi bermakna dari sambutan Mendikbud, Nadiem A Makarim, yang menarik direnungkan. Pertama, ajaklah kelas (baca: anak di kelas) berdiskusi, bukan hanya mendengar. Kedua, berikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas. Ketiga, cetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas. Keempat, temukan suatu bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri. Terakhir, tawarkan bantuan kepada guru yang sedang mengalami kesulitan. Mari kita menengok apa yang telah dilakukan, belum dilakukan, dan mestinya yang dilakukan oleh seorang guru.
Tak usah silau dengan berbagai negara, pendiri bangsa ini, kaya dengan gagasan dan pengalaman tetapi terabaikan oleh bangsa negaranya sendiri. Saya teringat pesan Sukarno, “Jangan melupakan sejarah!” Bangsa kita adalah bangsa pembelajar, pendiri bangsa kita adalah orang-orang hebat yang menggetarkan dunia. Finlandia mengonstruksi gagasan dan filosofi pendidikan Taman Siswa yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara.
Tengoklah buku menarik berjudul Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas (Kompas Penerbit Buku, St. Sularto, 2016). Buku ini berkisah tentang tiga tokoh pendidikan Indonesia: (i) Willem Iskander (1862-1874), (ii) Ki Hadjar Dewantara (1889-1959), dan (iii) Engku Mohammad Syafei (1893-1969). Ketiganya adalah tokoh pendidikan Indonesia yang inspiratif, menggetarkan, dan menggelorakan. Bahkan, dinilai menggoncangkan perjuangan kebangsaannya melalui ruang kelas, yakni berjuang melalui dunia pendidikan. Robindranath Tagore –penerima nobel dari India– saja mengaguminya, mengapa kita tidak?
Di sinilah, sesungguhnya jika kita mencermati akar pendidikan bangsa— saya pikir—sangat cukup modal memajukan bangsa. Bahkan, ketiganya berandil besar dalam menanamkan nasionalisme rakyat terjajah, membangkitkan nasionalisme meraih kemerdekaan. Willem Iskander lebih fokus mendorong pendidikan sebagai gerakan mencerahkan dan pentingnya peran guru; Ki Hadjar Dewantara mengenalkan pendidikan sistem “Among” dan “Semboyan Tut Wuri Handayani; dan Engku Mohammad Syafei menawarkan trisula pendidikan yang penting disenergiskan, yakni kekuatan otak (mind), hati (heart), dan tangan (hand).
Tengok juga, bagaimana inspirasi Taman Siswa yang menggetarkan seorang profesor dari Jepang, Kenji Tsuchiya, sehingga menjadi karya disertasi yang dibukukan berjudul Demokrasi Kepemimpinan: Kebangkitan Taman Siswa (KPG-BP, 2019). Dari buku ini, kita bisa bertamasya tentang agungnya filosofi pendidikan Taman Siswa. Filosofi Taman, misalnya, adalah filosofi kekinian yang Kemendikbud menjargonkannya sebagai sekolah ramah anak. Ramah dalam arti, guru wajib bisa menjadi pamong, penggembala, dan membersamai dalam taman-taman belajar. Sistem sekolah berupa ‘pondok’ sehingga murid-guru bisa hidup bersama untuk memaknai perjalanan belajar mereka bersama pula.
Maka, mengapa kita harus mencari-cari teori pendidikan ke berbagai negara jika sistem dan tokoh pendidikan kita sudah menginspirasi negara lain? Singapura dan Malasyia, era 70-an, banyak warganya belajar di Indonesia. Sekarang, kita latah mengagungkan pendidikan di luar sana.
Mari renungkan pesan filosofis pendirian Taman Siswa sebagai sekolah pergerakan yang ikut berandil memerdekaan pikiran tokoh-tokoh bangsa (masyarakat kita) keluar dari belenggu penjajahan. Butir pertama diantara enam butir lainnya, mengingatkan kita untuk menyadari bahwa: “Pendidikan dan pengajaran setiap bangsa itu bertujuan untuk memelihara bibit yang dirurunkan dari generasi sebelumnya, sehingga bangsa itu dapat tumbuh, baik secara fisik maupun spiritual. Sebagaimana individu harus mengembangkan jiwa dan badannya, demikiran pula bangsa harus berusaha mengembangkan kebudayaan dan masyarakatnya. Cara-cara untuk mencapai tujuan ini harus didasarkan atas adat istiadat bangsa. Dengan cara ini, bangsa akan berkembang cepat dan mulus sesuai dengan kodrat alam.” (Kenji Tsuchiya, 2019:97).
Up! Maka, marilah di hari guru nasional ini, kita berenung kembali: sudahkah kita sepenuh hati berdiri di ruang kelas dengan hati? Hanya guru berubah, yang mampu mendorong perubahan anak didiknya. Hanya guru pembelajar yang bisa memijarkan pembelajaran di ruang-ruang belajar. []
***
Sutejo,
Ketua STKIP PGRI Ponorogo