Ironi itu Berupa Pertanyaan: Untuk Apa Menulis?
Di tengah kepenatan untuk mempersiapkan dua kegiatan di Kepulauan Bangka Belitung (27/10), akhir bulan lalu, saya mengalami kerugian besar menikmati presentasi Mas Doan Widiandhono (Redaktur Senior Jawa Pos) dan Pak J Sumardianta (Penulis buku keren dari Yogyakarta). Keduanya memiliki reputasi dahsyat dalam dua bidang yang berbeda. Mas Doan, seorang jurnalis yang sudah malang-melintang ke berbagai negara, kemudian dibukukan ke dalam Oleh-Oleh Jurnalis (2018).
Kedua, Pak J Sumardianta, yang telah banyak menulis buku dan berbagai jenis tulisan di media massa menyajikan materi yang berjudul Blended Literasi: Dari Guttenberg hingga Zuckerberg. Keduanya menjadi pemateri Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP PGRI Ponorogo beberapa waktu lalu (27/10). Salah satu pertanyaan yang dilontarkan peserta adalah “Apa manfaat menulis?” Itu, ditujukan kepada Pak J Sumardianta, kemudian dia pun menjawab, “Dengan menulis saya bisa berdamai dengan diri saya sendiri.” Pertanyaan ini saya peroleh dari ketiga anak kultural saya yang menjadi peserta SLG kemudian menceritakannnya kepada saya di waktu rileks saat makan malam di rumah.
***
Seorang mahasiswi yang belum terbuka nalar-pikirnya, selalu mempertanyakan “yang tampak” dan “yang berdampak” langsung. Menulis memang dampaknya tidaklah langsung. Misalnya, menulis berdampak pada perluasan wawasan seseorang, karena menulis dia harus membaca. Di sinilah, yang sering orang abaikan ingin menulis tetapi ia tidak menyukai membaca. Ini merupakan paradoks yang akut hingga mereka wajib menyadari konsep ulang untuk apa dia menulis.
Ketika berkegiatan di Pangkal Pinang, Sungailiat, dan Bangka Tengah, karena undangan Kepala Kantor Bahasa Kepulauan Bangka Belitung bernama Yani Paryono, M.Pd. Sungguh, dampak menulis langsung secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya begitu nyata. Bagaimana kota Belitung misalnya, awalnya tidak dikenal, menjadi sangat terkenal tidak saja di tingkat nasional tetapi juga internasional. Bandara pun di Belitung bertaraf internasional: HAS Hanandjoeddin. Dampak menulis bagi seseorang sangat beragam: bisa menambah kepercayaan diri, menghilangkan penyakit mental, hingga dapat digunakan untuk terapi segala penyakit mental. Percaya? Kelemahan kita, menulis hanya sekadar untuk memenuhi tugas-tugas ilmiah kuliah –yang seringkali sama sekali kurang ilmiah—karena mentalitas curang berkarya.
Seorang penulis itu adalah mereka yang (i) memiliki kesadaran diri, (ii) humanitas terjaga, (iii) kepedulian sosial tinggi, (iv) kewajiban mewariskan kehidupan, (v) sadar masa depan, (vi) memiliki harga diri, dan (vii) memiliki oreantasi hidup jelas. Orang awam sering memandang rendah kepada penulis, seakan-akan ia seorang pembual, sakit jiwa, dan bahkan gila!
Orang yang waras akan menulis sementara yang gila pasti tidak menulis ini yang benar. Ingat bagaimana Hardjono WS –almarhum dari Mojokerto– pernah berpesan bahwa ciri manusia itu adalah menulis, jika tidak mau menulis bukanlah manusia. Sebuah satire keras agar kita menyadari fungsi besar dunia kepenulisan untuk kebudayaan dan peradaban bangsa. Bangsa yang besar adalah mereka yang menghargai para penulis bangsanya! Para pendiri bangsa ini rata-rata adalah penulis: HOS Cokroaminoto, Soekarno, Syahrir, Hatta, dan tetokoh bangsa Indonesia lainnya.
***
Pada hari Minggu itu (27/10), tak mengikuti motivasi dan inspirasi kedua tokoh literasi itu karena dua alasan penting. Pertama, harus menyiapkan materi presentasi di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung. Kedua, sebagai tes sosial kepada kawan-kawan penyelenggara SLG di satu sisi dan di sisi lain sebagai radar pengingat apakah kampus yang mengikrarkan diri sebagai kampus literasi civitas akademikanya juga berkesadaran untuk menikmati kedua pemateri meskipun saya tidak ada.
Jawabannya sudah ada, dan tentu, tak perlu diungkapkan dalam tulisan sederhana ini. Yang jelas, siapa pun kita wajib senantiasa melakukan koreksi diri, berbenah, dan terus-menerus istikomah dengan teguh tegak berjalan di jalan indah: literasi! Bukan berjalan—apalagi pura-pura berjalan—jika ada penggembala. Ini, sungguh tidak akan berarti—baik secara psikologis maupun sosial berkehidupan. Apalagi jalan kebudayaan dan perabadan. Gerakan literasi butuh kesadaran, hati, dan kecerdasan tinggi sehingga bisa berarti bagi diri, masyarakat, dan bangsanya. Penyakit pura-pura harus cepat-cepat diobati jika tidak menjadi penyakit kemunafikan, yang kini sudah mengidap—nyaris—mayoritas masyarakat bangsa ini.
Bayangkanlah jika saya tidak memiliki kemampuan dan pengalaman menulis. Sekaligus ini menjadi jawaban atas pertanyaan yang mestinya diberikan kepada Pak J Sumardianta. Usai menyelesaikan pembuatan materi tayangan berjumlah hampir seratus slide (tiga jenis materi), tiba-tiba dari Kepala Kantor Kepulauan Bangka Belitung, pada tanggal 30 ada acara tambahan untuk mendamping ketua satgas Gerakan Literasi Nasional (GLN), Ibu Pangesti, P.hD., dalam acara Festival Literasi di kota Bangka Tengah. “Tolong, disiapkan tulisan berkaitan dengan kemutakhiran dan gerak-riak literasi yang menarik!” Hem, di manakah manfaat menulis?
Pesan WA itu saya terima sekitar pukul 15.00 hari Minggu (27/10), usai menerima Mas Doan Widiandhono berpamitan ke rumah bersama Eko Hendri Saiful, yang juga wartawan Jawa Pos. Bayangkan jika saya tidak mampu menulis cepat, merefleksikan pengalaman berliterasi, dan membaca perkembangan gerakan literasi mutakhir. Tubuh tak bersahabat, tepat pukul 16.00, tertidurlah saya, lupa jika ada undangan rapat redaksi majalah Dinamika PGRI Kabupaten Ponorogo.
***
Malamnya, pukul 19.00 dengan semangat seorang petarung, saya selesaikan esai relatif panjang berjudul Literasi itu Jendela Peradaban! Sebuah refleksi pengalaman yang melelahkan, tetapi sungguh membahagiakan. Jika kita mencermati eforia literasi dua tahun terakhir, barangkali menarik direnungkan kembali tentang hakikat literasi. Melek literasi dalam berbagai bidang akan menyempurnakan mentalitas pelakunya. Dalam pengalaman selama ini gerakan literasi itu menuntut: (a) keteladanan dan keterampilan baca-tulis, (b) keterampiran berpikir, (c) habitus yang kokoh, (d) kebijakan inspiratif dan kreatif dari pemangku kepentingan, (e) pengorbanan yang tidak terbatas, (f) kesetiaan pada panggilan suci, dan (g) keistikomahan dan sinergi dari peta jalan literasi, baik formal, keluarga, dan masyarakat. Tak ada dua jam, esai pun selesai dengan panjang sekitar 10 halaman spasi dua. Di sinilah, barangkali salah satu bukti untuk menjawab pertanyaan di awal tulisan ini, “Untuk apa manfaat menulis?”
Jelas sangat dibutuhkanlah keterampilan menulis itu, sementara ocehan (kelisanan) itu terbatas. Untuk pertanggungjawaban kegiatan keilmuan, menulis adalah pintu utama. Untuk membangun kualitas diri, menulis adalah jalan tolnya. Untuk mengatasi persoalan diri (termasuk penyakit jiwa) menulis adalah obatnya. Untuk mengetahui kekurangan diri, menulis adalah alatnya. Untuk mengukur kualitas seseorang, lihatlah tulisannya. Untuk mengetahuai kemampuan berpikir seseorang, bacalah dengan seksama apa yang dituliskannya. Sungguh, manfaat menulis itu tak bisa dimatrakan. Inilah filosofis gaib Tuhan, yang diisyaratkan dalam Al-Kitab, Al-Quran. Tuhan tidak pernah main-main dengan Kalam-Nya! Apalagi pena, disumpahi-Nya. Demi Pena! []
***
Sutejo, Penggagas Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP PGRI Ponorogo, pendiri rumah buku, alumni S-3 Unesa Surabaya. Tercatat sebagai dosen di LKDIKTI-Jawa Timur.
Tulisan ini merupakan refleksi SLG (27/10) dan persiapan tiga kegiatan di tiga kota di Kepulauan Bangka Belitung (29-30 Oktober 2019).