LITERASI ITU JENDELA PERADABAN
Dalam beberapa kesempatan muncul beberapa pertanyaan berkaitan dengan literasi: (a) apa manfaat literasi –khususnya baca tulis, (b) literasi itu apa, (c) mengapa begitu semarak kegiatan literasi akhir-akhir ini, dan (d) apa yang dibutuhkan dalam menyukseskan literasi. Sementara, dalam kehidupan mutakhir terjadi beberapa kejadian di masyarakat yang seringkali disebabkan oleh tidak literatnya seseorang. Terakhir, kasus dua orang isteri TNI yang bermedia sosial –kemudian menyinggung institusi—sang suami harus menerima hukuman yang “mengejutkan”. Sebelumnya, sudah marak terjadi beberapa kasus pelanggaran UU IT sehingga menyeret pelakunya, tidak saja ke pengadilan tetapi juga penjara.
Seminggu terakhir, di SLG STKIP PGRI Ponorogo ada dua kegiatan menarik yang dapat dibagikan Blendid (Menyatu) Literasi:dari Gutterberg-Zuckerberg yang disampaikan oleh J Sumardianta (Yogjakarta) dan Literasi Media, Literasi Bermedia (Doan Widiandhono, Redaktur senior Jawa Pos) (27/10/2019). Dua pemateri ini mengingatkan bagaimana pentingnya berbahasa yang berspirit dan beretika di satu sisi dan di sisi lain pentingnya kesadaran yang menyatu antara “media sosial” dan media cetak. Dominasi media sosial mengingatkan betapa pentingnya etika dan moralitas dalam bermedia. “Jari-jarimu adalah Harimaumu!”
Dua hari sebelumnya, di kampus saya juga dihadiri Prof. Dr. Suyanto, dalam kegiatan BB Jawa Timur bertema “Penyuluhan Bahasa Indonesia bagi Pelaku Media Massa di Kabupaten Ponorogo” (22-24/10/2019). Dalam bincang khusus dengan tim literasi, beliau berpesan bahwa literasi itu pilar utamanya adalah belajar (membaca-menulis). Beliau memiliki teknik unik untuk mengingat yang dinamai: “Ingatan Setia”. Sementara, dia pun mengenalkan tiga jenis menulis (tulisan) yang meliputi: (a) tulisan kilasan (lintasan), (b) tulisan hampiran, dan (c) tulisan hunian. Menuliskan sesuatu jika seseorang sudah sampai tahap hunian dipastikan memiliki ingatan kuat dan menyatu dengan pribadi penulisnya.
***
Jika kita mencermati eforia literasi dua tahun terakhir, barangkali menarik direnungkan kembali tentang hakikat literasi. Melek literasi dalam berbagai bidang akan menyempurnakan mentalitas pelakunya. Gerakan literasi itu menuntut: (a) keteladanan dan keterampilan baca-tulis, (b) keterampiran berpikir, (c) habitus yang kokoh, (d) kebijakan inspiratif dan kreatif dari pemangku kepentingan, (e) pengorbanan yang tidak terbatas, (f) kesetiaan pada panggilan suci, dan (g) keistikomahan dan sinergi dari peta jalan literasi, baik formal, keluarga, dan masyarakat.
Keteladanan
Keteladan literasi (cetak dan digital) adalah pintu terbesar yang bisa menggerakkan literasi hingga membudaya. Meminjam pesan Prof. Djoko Saryono literasi itu berkaitan dengan pemahaman, penyadaran, pemaknaan, penyintesaan atas teks dan nonteks –problem kehidupan sosial– merupakan tahapan hakikat literasi itu sendiri. Miskomunikasi dalam kehidupan sosial tak mungkin terjadi jika masyarakat sudah literat. Untuk ini, pemerintah daerah dan pusat penting melalui para birokrat-pejabatnya untuk memberikan keteladanan sehingga berdaya gerak dahsyat. Guru dan masyarakat literat akan melahirkan kader dan generasi literat pula. Melek kahanan, kata Prof. Suwardi Endraswara dari UNY.
Gerakan Berpikir
Selanjutnya, gerakan literasi sesungguhnya gerakan sadar pikir: kritis, logis, analitik, argumentatif, faktual, induktif, deduktif, ilmiah, sistematik, investigatif, eksploratif, dan seterusnya. Gerakan literasi adalah gerakan berpikir. Gerakan literasi adalah gerakan substansi berbahasa. Sementara, hakikat berbahasa itu sendiri adalah berpikir. Bukankah orang berpikir menggunakan bahasa, sebaliknya orang berbahasa sejatinya adalah refleksi berpikirnya? Di sinilah, maka penting disadari bahwa gerakan literasi –tidak lain dan tidak bukan—adalah gerakan berpikir benar sehingga memijarkan kemampuan berbahasa, bertindak, dan berkeputusan benar pula.
Cermin Kekuatan Habitus
Gerakan literasi sesungguhnya sebuah habituasi. Pembiasaan dalam sebuah habitus yang kokoh. Jika gerakan literasi tidak didukung habitus kuat, kecil hasil yang akan diperoleh. Kekuatan pembudayaan literasi sesungguhnya penciptaan habitus itu sendiri. Jika ingin membaca dengan baik, bersamailah orang-orang yang gemar membaca. Jika ingin menulis, membersamai dan hidup bersama penulis adalah kunci sederhana tetapi penting untuk suksesnya sebuah gerakan literasi. Jika habitus tercipta, keteladanan ada, berbingkai keterampilan berpikir benar; masyarakat literat pun dengan mudah tercipta.
Kebijakan Inspiratif
Kebijakan inspiratif dan kreatif dari pemangku kepentingan itu modal politik penting sebagai penyangga gerakan literasi, baik nasional maupun daerah. Untuk ini, implementasi dari kebijakan politik penting didukung dengan pengawalan yang tutwuri handayani, ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa. Kebijakan adalah modal, implentasi ketat adalah upaya penabur benih kehidupan yang berpengharapan. Kehidupan mutakhir yang penuh dengan disrupsi di mana-mana membutuhkan kebijakan terkendali oleh sebuah sistem hebat nan inspiratif.
Literasi itu Butuh Pengorbanan
Pengorbanan yang tidak terbatas adalah isyarat yang dibutuhkan untuk sukses tidak sebuah gerakan literasi, baik secara nasional maupun daerah. Literasi bukanlah sekadar program tetapi pengorbanan jiwa, pikiran, rasa, dan hati degnan menyediakannya sebagai sehamparan ladang dari benih-benih literasi yang ditebarkan. Butuh kesabaran, istikomah, komitmen, perjuangan, dan pengorbanan yang tak bisa dihitung dengan angka material. Di sinilah, mari dikritisi bagaimana gerakan literasi selama ini telah berjalan?
Literasi butuh Kesetiaan
Mau tidak mau, suka tidak suka, literasi itu adalah kesetiaan pada panggilan suci. Panggilan jiwa yang disetiai. Berdamai dengan diri sendiri untuk menggencarkan literasi baik secara pribadi, keluarga, masyarakat, dan sekolah (perguruan tinggi). Kesetiaan mengingatkan pesan bahwa literasi adalah gerakan suci yang membutuhkan kesetiaan. Tetanda kesetiaan adalah membersamai, memikirkan, menggerakkan, dan “mengorbankan” diri.
Sinergis Trisula Literasi
Istikomah dan kesinergisan pada peta jalan literasi, baik formal, keluarga, dan masyarakat adalah peta jalan yang tidak bisa ditawar-tawar. Sebaik apapun program dan kegiatan literasi di sekolah, tanpa dukungan keluarga dan masyarakat tak mungkin dapat maksimal. Akar literasi, menurut saya, justru terletak di jalan keluarga.
***
Bermula Isyarat Literasi Kitab Suci
Dalam tafsir Ibnu Katsir jilid 4 (hal. 774), ada penafsiran menarik terkait dengan pentingnya menulis. Penjelasan ayat [yang merupakan sumpah Allah], Nuun, demi kalam dan apa yang mereka tulis; terdapat uraian yang menggetarkan saya. Untuk lebih afda- nya dikutipkan sebagai berikut.
Demi kalam, pada zahirnya, ia adalah jenis pena yang dipakai untuk menulis. Hal ini seperti firman-Nya, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan…. Bacalah dan Tuhanmu yang Paling mulia. Yang telah mengajarkan dengan kalam. Yang telah mengajarkan manusia sesuatu yang tidak diketahuinya.” Kalau begitu, kalam dalam ayat ini merupakan sumpah dari Allah dan peringatan bagi hamba-hamba-Nya tentang nikmat yang telah diberikan kepada mereka berupa pengajaran menulis, yang menjadi wasilah umat mendapatkan berbagai macam ilmu. Itulah sebabnya Allah SWT berfirman, “Dan apa yang mereka tulis.” Dikatakan, maksudnya ialah pena yang merupakan makhluk yang pertama, dalilnya adalah sabda Rasulullah saw, “Yang pertama kali diciptakan Allah adalah kalam…” (Muhammad Nasib Ar-Rifai, 2005:774).
Bacalah Simbol
Kehadiran surat Al-‘Alaq, Al-qalam, Al-Muzammil, dan Al-Mudatstsir adalah simbol akan pentingnya ilmu pengetahuan (membaca dan menulis). Surat-surat ini diurutkan dalam urutan diterima nabi. Al-‘Alaq simbol pentingnya membaca dan menulis. Al-qalam adalah pentingnya transformasi ilmu melalui proses wasilah menulis. Al-Muzammil adalah simbol untuk belajar secara intensif (bukan untuk ibadah!). Al-Mudatstsir adalah simbol untuk beribadah (karena proses kerasulan dimulai dari surat ini, yang kemudian diikuti turunnya surat Al-Fatihah –yang menjadi inti dari bacaan shalat–.
Marilah kita eksplorasi keempat simbol itu lebih jauh. Surat Al-‘Alaq dan Al-Qalam adalah simbol pentingnya membaca dan menulis. Isyarat Al-Quran (Al-‘Alaq), diksi bacalah diulang sampai dua kali. Pada kalimat pertama, kata bacalah kemudian diulang dalam kalimat selanjutnya, bahkan kemudian pada ayat keempat diikuti dengan “kata pena” (al-Qalam). Konteks surat Al-‘Alaq sesungguhnya merupakan perintah –yang tidak perlu ditafsirkan secara rumit— karena perintah itu sudah konkret. Diksi perintah membaca (metaforik dari belajar), sesungguhnya, merupakan ruh perubahan dan penyadaran yang diinginkan Tuhan kepada umat manusia. Dan tentunya, menjadi wajib hukumnya para guru, karena mereka adalah penggembala ilmu.
Mengapa Tuhan tidak memerintahkan belajarlah tetapi bacalah? Sebagai permenungan ada baiknya surat itu dikutipkan terjemahnya sebagai berikut. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ajaibnya, surat ini merupakan surat yang pertama kali diturunkan Tuhan dalam konteks “magis” sampai-sampai Nabi Muhammad hampir pingsan [lebih intensif baca tulisan penulis “Membaca itu Wajib, Guru!” yang pernah dimuat Dinamika.
Selanjutnya, mengapa Al-Muzammil simbol belajar intensif? Coba ikuti tafsir surat itu! Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah di malam hari, kecuali sedikit, (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan. sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.
Bukankah Al-Quran adalah sumber segala ilmu? Metaforik dari perintah bacaan dalam surat Al-Muzammil tentunya adalah segala materi bacaan. Apalagi, kita diperintahkan untuk bangun malam, di sepertiga malam. Sesungguhnya, hemat saya, ayat ini adalah perintah untuk belajar secara intensif, bukan beribadah. Sebagian banyak kita menafsirkan bangun malam ini untuk ibadah mahdzah. Padahal, konteks surat ini adalah belajar. Mengapa? Karena perintah ibadah baru muncul setelah surat Al-Mudatstsir, seiring dengan perintah kerasulan yang diterima nabi. Apalagi, surat itu didahului dengan surat sebelumnya: Al ‘Alaq dan Al Qalam.
Hal-hal inilah kemudian yang menyadarkan kita, ternyata membaca dan menulis itu menjadi intisari kerasulan nabi, bahkan nabi kita diajari langsung oleh malaikat Jibril. Tidak saja itu, tetapi juga masalah wudlu dan sholat, nabi Muhammad diajari langsung oleh Jibril sebagaimana hadis yang berbunyi, “Aku didatangi Jibril as, pada awal-awal turunnya wahyu kepadaku. Dia mengajarkan kepadaku wudlu dan sholat”. [detailnya, baca buku Agus Mustofa: Metamorfosis Sang Nabi, dari Buta Huruf Menjadi Ilmuwan Jenius, Padma Press, 2008].
Sejarah Peradaban, Sejarah Ilmu
Pelajaran yang sangat menarik dapat dipetik adalah ketika nabi membebaskan tawanan musyrik dalam Perang Badar dengan menggantinya mengajari membaca menulis kepada kaum muslim. Luar biasa keteladanan nabi! Mengapa? Sebuah konsep yang diorentasikan agar umat Islam mencapai kesempurnaan dengan ilmu pengetahuan.
Di sinilah maka sahabat nabi, Zaid bin Tsabit, adalah contoh sahabat yang mengungguli para sahabat lainnya. Termasuk mampu menggungguli Abu Hurairah (sahabat nabi lain yang luar biasa hafalannya) sampai-sampai dalam hadist Imam Bukhari diuangkapkan, “Tidak ada sahabat nabi yang hafalan haditsnya melebihi aku.” Akan tetapi, Abu Hurairah kalah dibandingkan Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit mampu menjadi sekretaris pribadi Rasulullah dan menjadi penerjemah bahasa Suryani dan Ibrani. Ini semua karena kemampuan membaca dan menulis yang dimilikinya. Ia adalah penulis wahyu Rasulullah yang kemana pun dan di manapun nabi berada selalu ada Zaid bin Tsabit.
Pengalaman “peradaban” inilah kemudian yang menjadi perjalanan kebudayaan Islam berkembang sangat cepat. Sebuah ruh ilmu pengetahuan yang ironisnya kini ditinggalkan oleh sebagian besar umat Islam. Perintah Islam bukan untuk berbicara, tetapi untuk membaca dan menulis!
Berguru kepada sejarah (Islam) dengan simbol nabi Muhammad, maka kita hanyalah buih laut yang sungguh tidak memiliki arti apapun! Sebuah kesadaran futuristik, sampai-sampai nabi mengatakan “carilah ilmu sampai negeri Cina”. Pada zaman nabi, memang sudah banyak sahabat yang berdagang sampai ke negeri Cina. Nabi Muhammad adalah pemimpin yang sangat mementingkan pendidikan dan ilmu! Sampai, metode pembebasan tawanan perang akan dibebaskan kala mereka mampu mengajarkan membaca dan menulis kepada kaum Muslim. Sungguh, luar biasa.
Sejarah Nabi adalah sejarah perjalanan ilmu pengetahuan. Nabi pun pernah berkata, “Saat seorang alim bersandar di tempat tidur untuk memperdalam ilmunya adalah lebih baik daripada ibadah seorang hamba selama enam puluh tahun.” Skenario apakah ini? Sebuah ruh spiritualitas ilmu yang menggerakkan! Bahkan, nabi pun sampai mengatakan, “tinta seorang sarjana lebih suci daripada darah syuhada.” Dan “mencari ilmu hukumnya wajib bagi seorang Muslim.” Tidak saja itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh HR Ibnu Majah, Rasulullah bersabda, “Ada tiga golongan orang yang dapat memberikan syafaat di hari kiamat, yaitu para nabi, kemudian para ulama (orang-orang berilmu, –bukan sekadar ilmu agama karena Al-Quran banyak memberikan tuntunan inspiratif tentang ilmu pengetahuan–), dan para syuhada.”
Simbol-simbol ajaran nabi ini, tentunya menjadi inspirasi bagi para sahabat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Diawali dengand runtuhnya Dinasti Ummayah (750) menuju kegemilangan Dinasti Abbasiyah. Apa yang menarik? Inilah yang dapat kita petik dalam membaca sejarah peradaban untuk semangat perubahan di masa depan!
***
Gerakan literasi dengan demikian adalah gerakan ilmu, gerakan kebudayaan, gerakan pemikiran, dan gerakan spiritual. Peradaban berpintukan literasi. Keadaban pun berjendelakan literasi. Kedewasaan mental berumah di rumah literasi. Spiritualitas dan mentalitas kokoh akan tumbuh subur di atas bumi literasi.
Mari bernafas dengan udara literasi. Makan buah-buahan yang tumbuh dari kebun literasi. Berselancar di atas gelombang literasi untuk mencapai pantai impian nan indah bernama peradaban manusia berkeadaban. Sungguh, sebuah kemuliaan jalan jika jalan raya literasi ini ditempuhi dengan sepenuh hati. []
________
Sutejo, Penggagas Sekolah Literasi Gratis STKIP PGRI Ponorogo, pendiri rumah buku, alumni S-3 Unesa Surabaya. Tercatat sebagai dosen di LKDIKTI-Jawa Timur.
*) Tulisan ini merupakan pokok-pokok pemikiran sebagai pemantik dalam talk show di acara Festival Bangka Tengah Berliterasi (30-31 Oktober 2019).