Niat Dititipkan tapi Ditolak, Diterima tapi Tidak Laku
Kegigihan Andry Arista Ramadona menjalankan usaha konveksi berbuah manis. Selain memiliki 60 karyawan, produksi kausnya turut membawa nama Ponorogo tersebar luas. Seperti apa perjuangannya?
Salah satu ruangan dalam bangunan seluas 280 meter persegi itu terlihat sibuk. Ada yang memotong kain, mengepak kaus dalam karung, dan menyetlika kaus. Aktivitas konveksi itu dikerjakan puluahan orang. “Mereka karyawan saya,” kata Andry Arista Ramadona, pengusaha konveksi di Jalan Pendawa, Prajegan, Sukorejo, Ponorogo itu.
Andry menggeluti konveksi kaus polos dan sablon kaus khas Ponorogo. Pelanggannya beberapa pemilik took pakaian di eks Karedisenan Madiun dan Sidoarjo. Produknya mencapai 10 ribu kaus per pekannya. “Totak ada 60 karyawan yang sebagian besar anak muda di desa ini dan anak yatim,” ujar pria 34 tahun itu.
Ide menggeluti konveksi muncul saat mengamati lapak pedagang kaki lima (PKL) di kawassan alun-alun. Tidak ada satupun yang menjual kaus khas bumi Reyog. Dari situ timbul membuat brand khas seperti kaus Jogjakarya dan Malioboro-nya. Usahanya ditapaki lewat belajar sablon dari kawasannya. Ditambah mengamati tutorial di media sosial, “kalau desain gambar mudah, saya bisa menggambar,” ucapnya.
Modal Rp 3 juta dikucurkan Andry untuk membeli ratusan kaus polos. Hasil sablonan dititipkan sejumlah pedagang dan took pakaian. Selain banyak yang menolak, produknya juga tidak laku. Dia lantas merekrut sales. Usahanya membuahkan hasil setelah tiga tahun. Setiap lebaran dan tahun baru banyak orang yang berkunjung ke Ponorogo membeli kaus produknya sebagai oleh-oleh. Karene manjanjikan, istrinya berhenti menjadi guru sukwan tahun 2015. “Saya beli satu asset mesin konveksi dan mengoperasionalkannya. Sejak itu itu memproduksi kaus polos sendiri beranekaragam,” paparnya.
Bakat bisnis bapak satu anak ini terasah sejak kuliah di Malang. Andry berjualan lukisan. Keasyikan dengan hobinya, dia lupa mengerjakan tugas akhir, hingga akhirnya di- drop out dari kampus. Karena usahanya tidak bertahan lama, dia memutuskan pulang kampung. Orang tuanya meminta kuliah lagi dengan mengambil studi pendidikan. “Saya dulunya juga guru sukwan. Tapi upah yang pas-pasan membuat saya berhenti dan memilih berwirausaha,” uangkapnya. ***(cor)
Pewarta: Dila Rahmatika, Jawa Pos radar Ponorogo
Profil terkait telah dipublikasi Jawa Pos radar Ponorogo, edisi 1 November 2019