Satria Dharma, Anjrah, dan Sutejo di Festival Literasi SMPN 3 Peterongan
Menjadi saksi pertemuan tiga pecinta literasi di SMP N 3 Peterongan Jombang adalah kemuliaan dan ketakdiran. Begitu turun dari mobil putih, di depan sekolah seorang lelaki taat beribadah dengan bekas hitam di dahinya, turun dengan bersemangat memasuki sekolah bu Faiq Rosidah. “Pak Satria Dharma, kemarin baru pulang dari silaturahmi bersama Pak Menteri Pendidikan yang baru. Dia baru pulang juga dari Balkan. Pak Tejo, kemarin juga baru pulang dari Kepulauan Bangka Belitung untuk kegiatan literasi di tiga kota.” Ucap Bu Faiq, penanggung jawab kegiatan festival literasi SMPN3 Peterongan, Jombang. “Kami bangga dihadiri para penggiat literasi yang menginspirasi.” Akunya dengan bergairah.
Sementara, Anjrah Lelono Brono, sastrawan dari Mojokerto yang kalem itu tersenyum hangat menyaksikan pertemuan yang menyenangkan ini. Di ruang KS, Satria Dharma begitu bersemangat bercerita tentang pengalaman berliterasi, berikut silaturahmi bersama Menteri Kemendikbud yang baru. Di ruang KS yang penuh dengan tanda kegiatan positif di kanan kiri, dan ada layar pengontrol CCTV di belakang kursi meja kepala sekolah. Sementara, sejumlah tamu lain yang berjumlah enam orang tak kalah gairahnya.
Ketakdiran Literasi
“Saya sangat beruntung diminta oleh Ibu Faiq Rosidah untuk menjadi juri pada Lomba Tulis Opini (dan presentasinya) pada acara Festival Literasi Sekolah 2019 yang diadakan oleh SMPN 3 Peterongan Jombang pagi ini. Ini adalah lomba tahunan kedua yang diadakan oleh sekolah. Hebatnya adalah bahwa ini adalah lomba tingkat provinsi sehingga diikuti peserta dari berbagai daerah di Jawa Timur. Ada 32 tim dari 24 sekolah dari 14 kota dan kabupaten yang ikut berlomba untuk memperebutkan Piala Gubernur Jatim. Para pemenang akan mendapatkan sertifikat sebagai pemenang yang akan ditandatangani langsung oleh Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa. Dari 10 finalis untuk Lomba Tulis Opini pesertanya berasal dari Jombang, Kediri, Sumenep, Mojokerto, Blitar, dan Bondowoso.” Begitulah tulis Satria Dharma dalam akun facebooknya, diikuti dengan sejumlah foto pengiringnya.
Pertemuan memang, kata Samuel Mulia, si penulis kolom tetap gaya hidup di harian Kompas itu adalah sebuah ketakdiran. Pun pertemuan tiga aktivis literasi di sekolah ini. Mereka saling menghargai, menghangati, dan bertekad untuk terus berjihad di jalan indah literasi. Hanya dengan literasilah kehidupan bangsa ini ke depan bisa diharapkan berubah menjadi jauh lebih baik.
“Saya beruntung bisa menjadi partner juri bersama Dr. Sutejo, dosen dari STKIP Ponorogo, motivator, dan penggiat literasi nasional, dan Anjrah Lelono Broto, penyair, esais, cerpenis, penulis naskah drama, aktor, dan salah satu penggagas organisasi nirlaba Lembaga Baca-Tulis Indonesia.” Begitulah apresiasi Satria Dharma di lanjutan statusnya.
Menjadi penggila literasi adalah keniscayaan bagi orang yang memiliki jiwa cinta keamanusiaan. Literasi barangkali menjadi satu-satunya jalan kebudayaan dan peradaban yang wajib ditempuh oleh pelajar, mahasiswa, dan masyarakat bangsa ini. Karena itulah, kepedulian Satria Dharma terhadap dunia literasi tak perlu diragukan lagi.
“Mengundang saya untuk literasi itu gampang, Pak.” Ungkapnya kepada Sutejo. “Tak usah dikasih honor. Tugas mulia untuk membudayakan gerakan literasi adalah jihad kehidupan yang paling mudah dan ringan dilakukan jika kita memiliki jiwa keikhlasan untuk berbuat demi kemanusiaan.
Sebagaimana diketahui, Satria Dharma adalah seorang pahlawan literasi dari Surabaya. Sosoknya kalem, tidak banyak bicara dan murah senyum, sesekali dia melempar wajah ramahnya kepada setiap orang yang ditemuinya, walau ia sama sekali tak mengenalnya. Bertemu dengan banyak orang dari berbagai latar belakang dengan tingkat pendidikan dan pemahaman yang beragam, telah menjadi makanan empuknya sehari-hari. Ya… pekerjaannya adalah berkeliling nusantara, menelusuri pelosok-pelosok negeri, berbicara dan memberikan tausyiyah literasi kepada banyak orang dengan beragam tingkat pemahaman dan pendidikan. Dialah Bapak Satria Dharma, guru, pendidik, dan pejuang literasi yang telah memiliki jam terbang di atas rata-rata, yang mampu mempengaruhi banyak orang melalui gerakan yang digadang-gadangnya sejak 2010, gerakan literasi nasional. (baca: Satria Dharma Pahlawan Literasi dari Surabaya).
Tak Heran
Tak heran jika kemudian Satria Dharma bertemu dengan Sutejo dan Anjrah Lelono Broto, penggiata literasi yang juga tak kalah pengorbanannya. Anjrah misalnya, bergerak dari komunitas ke komunitas, memiliki komunitas menulis, dan rajin berbagi pengalaman di kelas-kelas menulis di berbagai kota. “Saya sangat senang bisa berbagi kepenulisan. Literasi telah mempertemukan banyak nilai dalam pertemuannya.” Begitulah ungkapnya di saat rileks di sisi selatan mushola SMPN3 Peterongan, Jombang.
Sementara itu, Sutejo sendiri sudah banyak dikenal sebagai penggagas sekolah literasi gratis (SLG) STKIP PGRI Ponorogo. Dua tahun lalu kegiatannya menggemparkan peta gerakan literasi nasional hingga menyebabkannya diundang untuk berbagi di Kemendikbud melalui Badan Bahasa, untuk berbagai pengalaman berliterasinya. “Saya senang bertemu dengan aktivis-aktivis literasi macam Pak Satria, Pak Anjrah. Indonesia butuh orang-orang gila jika ingin berubah secara radikal!” Ungkap lelaki berusia 53 tahun ini, yang baru saja kembali mengembara di Kepulauan Bangka Belitung dalam kegiatan literasi.
Pertemuan tiga aktor literasi dalam dimensi, peran dan fungsi berbeda sungguh menjadi inspirasi siapa pun yang ingin terus menggelorakan gerakan literasi. “Gerakan literasi butuh keikhlasan, perjuangan, dan pengorbanan yang tanpa batas. Jangan sampai kita, justru mencari materi dari dunia literasi!”
Gerakan literasi adalah kemuliaan. Literasi adalah jalan peradaban. Ciri manusia adalah literasi. Jika tidak literat maka bukanlah manusia. [] Red/ Humas