Sutejo diundang Talk Show Literasi Bangka Tengah
Sutejo, tokoh literasi kota Reog sekaligus Ketua STKIP PGRI Ponorogo itu, diundang sebagai pembicara dalam talk show literasi di Bangka Tengah (30/10) Kepulauan Bangka Belitung, mendampingi dua pemateri lainnya. Ibu Pangesti, Ph.D., sebagai ketua SATGAS GLN dari Universitas Yogyakarta dan Yani Paryono dari Kantor Bahasa Kepulauan Bangka Belitung. Dihadiri pelajar dan mahasiswa ketiganya berbagi pengalaman berliterasi dalam ragam berbeda. Acara ini bertempat di di Eks Bandara Depati Amir Kecamatan Pangkalan Baru.
Acara talk show itu sendiri, dilaksanakan usai acara pembukaan acara festival literasi. Turut hadir pada acara ini, Bupati Bangka Tengah H Ibnu Saleh, Asyraf Suryadin, Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kepulauan Bangka Belitung, Kapolres Bangka Tengah AKBP Slamet Ady Purnomo, Dandim Bangka Tengah, Kepala Perpustakaan Nasional RI diwakili oleh Sekretaris Perpusnas RI, lbu Sri Sumekar, Ketua Satgas GLN Pangesti Weidarti, Kepala LPMP Babel, Yani Paryono, Sutejo tokoh literasi dari Jawa Timur pendiri Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP PGRI Ponorogo, Anggota DPRD, kepala OPD, para guru, mahasiswa, dan masyarakat.
Gerakan literasi, pesan Sutejo, menuntut: (a) keteladanan dan keterampilan baca-tulis, (b) keterampiran berpikir, (c) habitus yang kokoh, (d) kebijakan inspiratif dan kreatif dari pemangku kepentingan, (e) pengorbanan yang tidak terbatas, (f) kesetiaan pada panggilan suci, dan (g) keistikomahan dan sinergi dari peta jalan literasi, baik formal, keluarga, dan masyarakat. “Gerakan literasi tidak akan berarti jika kehilangan roh kesetiaannya. Keteladanan, kecermatan berpikir, kekuatan habitat, dukungan kebijakan, pengorbanan pelakuknya, adanya panggilan suci, dan keistikomahan kelas wahid.” Tandasnya dengan menggerakan telunjuk sebagai penanda wanti-wanti kepada peserta yang memadati.
Keteladan berliterasi (cetak dan digital), misalnya, adalah pintu terbesar yang bisa menggerakkan literasi hingga membudaya. Meminjam pesan Prof. Djoko Saryono literasi itu berkaitan dengan pemahaman, penyadaran, pemaknaan, penyintesaan atas teks dan nonteks –problem kehidupan sosial– merupakan tahapan hakikat literasi itu sendiri. Miskomunikasi dalam kehidupan sosial tak mungkin terjadi jika masyarakat sudah literat. “Untuk ini, pemerintah daerah dan pusat penting melalui para birokrat-pejabatnya untuk memberikan keteladanan sehingga berdaya gerak dahsyat. Guru dan masyarakat literat akan melahirkan kader dan generasi literat pula. Melek kahanan, kata Prof. Suwardi Endraswara dari UNY.” Tambah lelaki botak itu dengan penuh semangat.
Tidak saja itu, ungkap lelaki yang dua kali diundang ke Istana Negara karena pengalaman kepenulisannya, tetapi gerakan literasi sesungguhnya gerakan sadar pikir: kritis, logis, analitik, argumentatif, faktual, induktif, deduktif, ilmiah, sistematik, investigatif, eksploratif, dan seterusnya. Gerakan literasi adalah gerakan berpikir. Gerakan literasi adalah gerakan substansi berbahasa. Sementara, hakikat berbahasa itu sendiri adalah berpikir. Bukankah orang berpikir menggunakan bahasa, sebaliknya orang berbahasa sejatinya adalah refleksi berpikirnya? Di sinilah, maka penting disadari bahwa gerakan literasi –tidak lain dan tidak bukan—adalah gerakan berpikir benar sehingga memijarkan kemampuan berbahasa, bertindak, dan berkeputusan benar pula.
Sementara itu, Yani Paryono, M.Pd., mengajak peserta untuk tidak gampang mempercayai hasil-hasil penelitian internasional berkaitan dengan kemampuan membaca anak Indonesia. Dia mengutip pidato, kepada Badan Bahasa Nasional dan Perbukuan, Prof. Dadang Sunendar, yang mengingatkan bahwa kemampuan membaca anak dan pelajar Indonesia itu tidak jelek-jelek amat.
“Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebut tingkat kemampuan literasi siswa Indonesia berada di kisaran 61%. Hasil tersebut diklaim cukup bagus dan menjadi penanda bahwa minat membaca siswa Indonesia juga meningkat. Angka 61% itu muncul dari hasil penelitian terhadap 6.500 siswa kelas 10 yang tersebar di 34 provinsi.” Ungkap Yani Paryono dengan semangat di depan peserta.
“Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud, Dadang Sunendar mengatakan bahwa penelitian tersebut melibatkan 68 peneliti yang mengambil sampel dari total 298 sekolah perwakilan seluruh provinsi. Menurut dia, penelitian yang dilakukan Kemendikbud lebih komperehensif dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Programme for International Student Assessment (PISA).” Lanjutnya dengan memberikan perbandingan dan penekanan untuk jauh lebih bangga dengan hasil penelitian sendiri.
Pasalnya, ucap Dadang, PISA hanya mengambil sampel dari sekolah di 2 kabupaten, tidak mewakili seluruh provinsi di Indonesia. Kendati demikian, Dadang mengakui masih banyak kekurangan dalam minat baca siswa yang harus segera dibenahi pemerintah pusat dan daerah.
“Hasilnya, dari interval 200-800, rata-ratanya 489. Artinya tingkat kemampuan anak Indonesia sebesar 61%. Dalam satu kabupaten diambil maksimal 10 sekolah. Penelitian ini lebih komprehensif dari hasil penelitian PISA yang hanya mengambil sampel dari 2 kabupaten saja di Indonesia, di mana kita memperoleh angka 397,” kutip Kepala Kantor Bahasa Kepulauan Bangka Belitung itu sebagaimana sering diungkapkan oleh Prof. Dadang Sunendar.
Sementara itu, salah seorang peserta, Ibu Nurbaya seorang penggiat literasi merasa sangat senang bisa berpartisipasi dalam festival literasi dilanjutkan dengan talk show literasi ini. Dia mengakui mendapat pengalaman dan pengakuan langsung dari nara sumber sehingga menginspirasi untuk terus berbuat di ruang-ruang kelas nantinya. “Saya bersyukur, berterima kasih bisa beraudiensi langsung dengan Bu Pangesti, P.hD., Pak Yani Paryono, dan Pak Sutejo dari Ponorogo. Sungguh pengalaman ini begitu berarti bagi kami. Terima kasih juga untuk pemerintah kota Bangka Tengah yang telah menghadirkannya.” Akunya di tengah Tanya jawab dengan pemateri. [] Red/ Tim Humas
Previous