Sutejo Menginspirasi Wartawan di Swiss-Bell Hotel Pangkal Pinang
Sutejo, lelaki yang sudah menulis beragam tulisan dan dimuat lebih dari tiga puluh media massa nasional dan lokal itu tampil seperti biasa tak terduga. Usai mengenalkan diri, duka-duka kepenulisannya, dia mengingatkan dengan nada kejut bahwa begitu banyak penulis besar yang bermula dari jurnalis (wartawan). Bahkan, pendiri bangsa kita juga penulis dan seringkali sebagai jurnalis media.
“HOS Cokroaminoto, yang bermuridkan Soekarno, Semaun, dan Kartosuwiryo adalah seorang wartawan dan penulis yang menggerakkan murid-muridnya. Mochtar Lubis di samping jurnalis juga penulis kolom dan novel hebat. Goenawan Mohammad, wartawan dan penulis kolom inspiratif Catatan Pinggir majalah Tempo lebih dari 30 tahun. Dahlan Iskan, wartawan dan juga begitu banyak menulis kolom dan artikel.” Ungkap lelaki yang menggunakan batik khas Ponorogo, beraroma warna hijau redup. Sekitar 40 peserta yang mayoritas wartawan di Kepulauan Bangka Belitung itu tampak tersentak.
Sutejo menjadi pemateri kedua dalam kegiatan yang diselenggarakan Kantor Bahasa Kepulauan Bangka Belitung yang bertema “Pembinaan Bahasa Media Massa Bagi Jurnalistik di Kepulauan Bangka Belitung” pada 28-31 Oktober 2019 di Swiss BellHotel. Sebelumnya, Ery Sandra Amelia. Editor Kompas. Saat ini lebih banyak di televisi. Jika di kelas bicara dunia jurnalistik. Maka di warkop membahas soal kuliner. Mulai makanan hingga kopi. Ternyata dia –penyuka sejarah–dulunya penikmat kopi. Hanya saja saat ini terpaksa harus menolak. Tak bagus untuk tubuhnya.
Lelaki yang menulis di Kompas sejak 1995 itu, berbagi tip-tip kreatif bagaimana memulai artikel, mengembangkan, dan mengakhirinya secara memikat. Tampaknya para peserta luput perhatian, terkejut, mengingat selama ini lebih banyak berkutat dalam penulisan reportase atau berita news. “Begitu banyak yang tidak terkover di dalam berita langsung. Dimungkinkan, kita bisa menulis berita khas, cerpen, atau bahkan artikel. Di penulisan berita tentu pemikiran dan analisis kritis tidak boleh muncul.” Ungkapnya yang disambut dengan perhatian yang tetap fokus.
Dia lebih banyak juga memberikan motivasi produktif agar para jurnalis tidak saja menulis berita untuk koran atau media di mana dia bekerja. “Jadikan menulis artikel untuk ekspresi dan refleksi kritis terhadap kehidupan dan kebudayaan bangsa!” tandasnya sembari menyebutkan tulisan kritis Moctar Lubis yang menumental menyindir tentang belasan sikap negatif dari masyarakat Indonesia.
Di damping moderator Yani Paryono, Kepala Kantor Bahasa Kepulauan Bangka Belitung, yang sebelumnya sedikit bercerita tentang pentingnya bagaimana melihat sesuatu jangan dari bungkusnya. “Tadi pagi, mestinya Pak Tejo santai. Tetapi, karena bersama saya dan menggunakan pakaian preman (kaos), saya todong untuk memberikan motivasi kepenulisan kepada para guru SD dan SMP di hotel Novilla kabupaten Sungailiat. Mereka tercengang. Sebagai guru, dosen, dan tokoh literasi dia telah banyak berbuat untuk pengembangan dan pembudayaan literasi di Indonesia. Salah satu buktinya, koran Kompas memprofilnya dua tahun lalu.”
Sementara itu, satu pemateri lain yang akan berbagi adalah Ibnu Wahyudi dari Universitas Indonesia Jakarta. Kesan salah satu peserta, Budi Rahmat, redaktur senior dari Babel Pos menilai Sutejo sebagai pemateri gila. “Gila. Dia menulis puisi, cerpen, opini, kritik, dan lainnya. Apa yang ia ingin tulis akan ia tulis. Pertama biasa saja. Kedua jatuh cinta. Ketiga, kesimpulanku mengatakan bahwa dia memang gila.” [] Red/ Humas