Tawarkan Jasa Potong Rambut Gratis ke Sekolah-Sekolah
M. Khamim Nahrowi melakoni dua jenis pekerja berbeda. Pagi berkutat administrasi Sd tempanya bekerja, siang hingga sorenya memangkas rambut para pelanggan. Pekerjaan sambilan yang tetap dipertahankan sejak lulus kuliah karena gaji honorer rendah.
Sejumlah anak muda berambur panjang dan lebat menyilangkan kedua kaki di sebuah bangku panjang. Suara mesin cukur terdengar dari luar tempat mereka duduk. Sekitar 10 menit kemudian, seorang di antaranya masuk ke dalam ruangan 3×4 mater itu. M. Khamim Nahrowi mempersilakan duduk menghadap keca dan menutup separo bagian tubuhnya denga celemek. “Dirapikan saja, pak,” kata anak itu kepada Khamim.
Ya, Khamim adalah tukang cukur di utara perempuan Keron Ayu, Desa Sumoroto, Kauman. Salonnya buka sejak siang hingga sore. Tepatnya setelah selesai bekerja di salah satu SD di Ponorogo. Pegawai tidak tetap (PTT) dengan peranan administrasi tata usaha (TU) itu sengaja tidak langsung pulang kerumahnya di desa Sampung. Dia mencari penghasilan tambahan lewat usaha jasa yang telah dirintis sejak 10 tahun silam. “Gaji guru honorer sangat rendah,” ujarnya.
Pria 29 tahun itu tidak mau buka-bukaan denga gaji tenaga TU tempatnya bekerja sejak lima tahun lalu. Yang jelas, nilainya tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan istri an anaknya yang masih belia. Nilainya tidak sebanding dengan beban kerja dan tanggugan. Sebab tidak jarang harus membawa tugas untuk diselesaikan di rumah. Karenanya, meski menjadi PTT, dia tidak berhenti mencukur sejak lulus kuliah di STKIP PGRI Ponorogo pada 2013. “Sejak kuliah sudah membuka usaha potong rambut, saya jadikan sebagai side-job,” ungkap suami Fitriani Arifin Tika tersebut.
Khamim sudah mahir memotong sejak SMA. Namun, keahliannya itu tidak dipelajari dari kursus, melainkan autodidak. Bahkan terkesan nekat. Sebab selain masih berstatus pelajar, dia berkeliling dari satu SD ke lainnya untuk menawarkan profesi pangkas rambut gratis pada siswanya. Penolakan lebih sering didapat sebelum akhirnya ada satu lembaga berani mencoba kemampuannya. Namun, kegiatan tanpa pamrihnya yang sekaligus praktik belajar itu tidak berjalan mulus. “Sering sekali wali murid yang complain karena hasil cukur anaknya dinilai tidak bagus. Akhirnya saya pangkas lagi agar lebih rapi,” terangnya.
Tanpa disadari, skill Khamim mencukur pun menjadi mempuni. Menguasai teknik mencukur hingga gaya potongan rambutnya anak muda. Dia memutusakan bekerja di tempat cukur milik temannya. Upah digunakan untuk biaya kuliah. Hingga kini akhirnya bisa membuka usaha tempat cukur sendiri. Setidaknya ada 20-an pelanggan datang dalam lima jam. “Semoga bisa menjadi berkah,” tutur Khamim. *** (cor)
Pewarta: Nur Wachid, Jawa Pos Radar Ponorogo
Profil telah dipublikasi Jawa Pos Radar Ponorogo, Edisi 23 April 2019.