Mengukir Kehidupan dengan Menulis
“Jangan Kenang Namaku, tapi Kenanglah Karyaku”, laki-laki itu mengungkapkan apa yang dilihatnya ketika menemukan tulisan di salah satu gapura pemakaman di Surakarta kepada peserta HMP 2019, ialah Agus Setiawan. Sosok inspiratif yang sudah banyak berkiprah di duniakepenulisan.
Turut mendukung program kampus literasi, Unit Kegiatan Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Penulis STKIP PGRI Ponorogo melaksanakan diklat dan workshop kepenulisan berita pada Sabtu (07/12). Acara yang di gelar di Graha Saraswati ini, mengusung tema Olah Sikap Anti Hoax dengan Literasi.
“Bagi saya, menulis bisa membuat orang lebih percaya diri”, ungkap Agus. Menariknya lelaki yang berprofesi sebagai humas STKIP PGRI Ponorogo itu awalnya tidak menyangka bisa menjadi seorang penulis. Ia bercerita bahwa menulis perlu banyak latihan dan membaca. Berkat ketekunan itulah ia sukses berkarir dibidang jurnalistik.
Agus juga memberikan pengenalan kepada peserta diklat HMP tentang langkah-langkah menulis berita. Ia berpendapat bahwa setiap orang pasti memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menentukan tulisannya. Ia memaparkan pola piramida terbalik, dimana dalam pembuatan suatu
berita. Gambaran umum diletakkan di atas, lalu semakin khusus ketika mengerucut ke bawah.
Lain halnya dengan Sapta Arif Nur Wahyudin, seorang aktivis pramuka dan cerpenis yang juga didapuk sebagai pemateri, ia banyak menghibur peserta dengan ice breaking. “Jika kita mudah lupa, ikatlah sesuatu dengan tulisan. Supaya ilmu yang diperoleh tidak sia-sia”, ujarnya.
Senada dengan visi HMP yakni beribadah dan berguna untuk kehidupan, Dendi sebagai Ketua HMP 2019/2020 menekankan kepada anggotanya untuk semangat dalam menulis, meskipun masih pemula. Dendi menambahkan bahwa tujuan acara ini untuk menumbuhkan keakraban antara anggota baru dan anggota lama serta menanamkan jiwa berkarya bagi generasi muda.
Dibuka oleh pembimbing UKM, Sutejo mengungkapkan bahwa menulis butuh pengalaman manis dan pahit.
“Kiat untuk kesuksesan sebuah organisasi adalah satu visi, satu misi, satu gerak, satu semangat, satu rasa, dan satu jiwa”, tambah ketua STKIP PGRI Ponorogo itu saat menjadi pemateri.
Sementara Suci Ayu Latifah, alumni STKIP PGRI Ponorogo yang baru menyandang gelar sarjana turut memberikan wawasan tentang prosesnya menjadi seorang penulis yak ni bermula dari kebiasaan menulis di majalah dinding dan ekstrakulikuler KIR ( Karya Ilmiah Remaja) yang didapat di bangku menengah pertama.
“Dalam menulis, kita tidak usah memikirkan konsep baik dan benar. Menulislah dengan senang hati.” Perempuan berjilbab merah itu memaparkan bahwa menulis ibarat memasak, butuh alat dan bahan. Alatnya berupa catatan, buku tulis, dan komputer sedangkan, bahannya adalah data dan sumber tulisan.
“Saya berharap setelah keluar dari ruangan ini, semua bisa berkarya. Bukan hanya berita, tetapi juga opini, cerpen, dan puisi”, pungkas Sapta Arif (Red).
Penulis: Yeni Kartikasari
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2019.
Sumber Berita: www.kompasiana.com