Mitos Pembelajaran Bahasa Kedua
Mitos, hal yang selama ini dipercaya orang sebagai hal yang berkaitan dengan dunia gaib. Mitos seringkali juga dikaitkan dengan takhayul. Mitos biasanya disampaikan dari mulut ke mulut, sehingga sulit mencari tahu siapa yang pertama kali mengatakan. Toh demikian, mitos telah dipercaya secara turun-temurun tanpa ada pembuktian tentang kebenarannya. Beberapa mitos yang sudah sering kita dengar misalnya, larangan memakai baju berwarna hijau jika pergi berlibur ke pantai selatan, larangan menikahi gadis yang berdomisili arah barat daya dari calon pria di Ponorogo, dan banyak mitos-mitos lainnya yang dipercaya di sekitar kita .
Keberadaan mitos tidak hanya dalam konteks budaya dan kehidupan sosial masyarakat saja, tetapi juga dalam konteks pembelajaran bahasa. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Kirkpatrick dan dipublikasikan dalam jurnal Language Education in Asia, Volume 1, 2010, terungkap tiga mitos menarik tentang pembelajaran bahasa kedua. Ketiga mitos tersebut adalah; (i) untuk belajar bahasa kedua, pembelajar harus memulai sedini mungkin, (ii) cara terbaik belajar bahasa kedua adalah dengan menggunakannya sebagai bahasa instruksional, dan (iii) bahasa ibu bisa diperoleh melalui pembelajaran bahasa kedua.
Jika mitos tersebut diikuti, pelan-pelan akan berdampak pada semakin sedikitnya penutur bahasa ibu, dan lambat laun menyebabkan punahnya bahasa pertama. Mengenalkan bahasa kedua sedini mungkin kepada anak bukan hal yang salah. Tetapi jika anak belum mampu berliterasi menggunakan bahasa ibu, maka dapat berdampak serius terhadap perkembangan linguistik anak. Hal ini dapat memicu kebingungan bagi anak untuk menggunakan bahasa mana yang harus dituturkan. Kemampuan berliterasi dengan bahasa ibu merupakan fondasi yang perlu dikuatkan sebelum anak memasuki tahapan kehidupan yang lebih jauh.
Untuk menanggulangi dampak serius mitos tersebut, hal yang dapat dilakukan adalah; (i) menunda pengenalan bahasa kedua sampai anak mampu berliterasi dengan bahasa ibu, (ii) jika memungkinkan, gunakan bahasa ibu sebagai bahasa instruksional kapanpun, dan (iii) mengadopsi pola pembelajaran multilingual yang menekankan pada pentingnya penguasaan bahasa ibu.
Jika orang tua setiap saat mengajarkan bahasa ibu dimanapun dan kapanpun kepada anaknya, maka eksistensi bahasa ibu akan terus terjaga. Perkenalkanlah bahasa kedua sampai setidaknya anak berada pada fase pertengahan pendidikan dasar. Ketika mengenalkan bahasa kedua kepada anak, orang tua tidak perlu berharap anaknya akan berbicara seperti penutur asli. Karena esensi dari pembelajaran bahasa adalah komunikasi. Sepanjang anak mampu berkomunikasi dengan bahasa yang dipelajarinya, maka tujuannya telah tercapai.
Pada masa kanak-kanak, orang tua adalah pihak yang paling dekat dengan anak. Dengannya anak berkomunikasi dan berinteraksi. Pada tahap ini, hendaknya orang tua selalu menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa instruksional sehari-hari di rumah. Ketika orang tua mengajari sesuatu, menyuruh, maka bahasa ibulah yang terbaik untuk digunakan. Contoh kecil misalnya, ibu mengajari anak untuk menyebutkan nama benda di sekitar, maka sebutlah dengan bahasa ibu. Mulai sekarang, mari membelajarkan anak dengan bahasa ibu kemampuan literasinya kokoh, baru mengenalkan dengan bahasa kedua. Semoga bermanfaat, salam literasi.
Penulis: Adip Arifin, M.Pd (Wakil Ketua 1 Bidang Akademik STKIP PGRI Ponorogo)
Artikel terkait pernah dipublikasi Jawa Pos Radar Ponorogo, Edisi Juli 2017.