Sastra: Pondasi Kepribadian
Inggris dalam membentuk kepribadian para pelajarnya melakukan suatu cara unik. Yakni, mewajibkan peserta didik yang duduk di bangku sekolah dasar sampai sekolah menengah untuk membaca puisi-puisi Shakespeare dan penyair hebat lain. Berbeda dengan Prancis, di negeri ini nama-nama besar sastrawan beserta jejak singgahnya diberi tanda khusus. Lantas, apa kira-kira makna yang bisa kita ambil dari dua negara besar tersebut? Ya, kedua negara itu sadar pentingnya sastra sebagai pilar pembentuk karakter dan kepribadian.
Lalu bagaimana dengan pembelajaran sastra di negara kita?
Berbagai masalah masih menyelimuti pembelajaran sastra dalam dunia pendidikan kita. Dimulai dari (a) minusnya guru bahasa dan sastra yang memahami dan mencintai sastra, (b) keberadaan sastra yang masih “nempel” di pelajaran Bahasa Indonesia, dan (c) model pembelajaran sastra yang masih bersifat mengenal dan mengetahui tanpa memahami makna. Berpijak dari masalah di atas, rasanya sedikit pesimis membayangkan pembelajaran sastra dapat berhasil. Apalagi berharap terwujudnya karakter yang baik pada diri anak melalui sastra.
Membentuk karakter dan kepribadian berbasis sastra tidak dapat diajarkan melalui soal pilihan ganda (multiple choice), tapi melalui perenungan dan penghayatan yang bersifat emotif. Tokoh-tokoh dan alur dalam karya sastra mengandung banyak nilai dan pesan moral. Tugas guru mengajarkan pada siswa bagaimana memahami dan menghayati nilai dan pesan moral tersebut, kemudian mengimplementasikannya.
Guru Bahasa Minus Sastrawan
Barangkali sub-judul di atas terlalu sarkastik. Tapi realita ironis di dunia pendidikan negeri ini seperti itu adanya. Lihat di sekitar kita, berapa persen guru bahasa yang mengenal dan memahami betul sastrawan beserta karya-karyanya. Suatu ketika penulis memberikan pelatihan pada guru-guru SD di suatu UPT Dinas Pendidikan, penulis coba bertanya kepada beberapa diantara mereka. Pertanyaannya sederhana, yaitu nama-nama sastrawan yang dikenalnya. Rata-rata mereka menjawab nama Chairil Anwar. Selain itu? Bapak ibu guru tersebut terkesan agak kesulitan menjawab.
Penulis sedikit tersentak. Bukan karena ketenaran Chairil Anwar di kalangan para Bapak Ibu guru ini, tapi minimnya pemahaman mereka tentang sastrawan. Bukankah di Indonesia ini banyak sekali sastrawan hebat yang telah melahirkan karya-karya monumental. Sebut saja, Pramoedya Ananta Toer, Taufik Ismail, WS Rendra, dan sebagainya. Tapi mengapa yang dikenal hanya Chairil Anwar?
Lalu pertanyaannya, bagaimana Bapak Ibu guru dapat mengajarkan sastra dengan baik, apabila mereka sendiri sebatas mengenal sastrawan saja tidak.
Revitalisasi pemahaman
Satu hal yang penulis khawatirkan dengan kondisi di atas, yaitu keberadaan peserta didik. Apabila guru tidak paham betul tentang sastra, penulis yakin peserta didik menjadi “kering” sastra. Lantas, bagaimana menanamkan pendidikan karakter berbasis karya sastra? Sedangkan, mereka mengenal saja tidak.
Bukankah peran guru sebagai agen perubahan dan penyampai pengetahuan. Lantas apa yang akan disampaikan apabila seorang guru tidak paham yang ingin disampaikan. Maka guru harus (a) mengenal para sastrawan jauh lebih luas lagi, (b) membaca berbagai karya sastra terlebih yang up date, (c) mau memahami nilai-nilai dalam karya sastra, (d) menanamkan nilai-nilai tersebut dengan mengolaborasikan teknik pembelajaran tertentu.
Akses informasi yang sedemikian canggih harusnya dapat dimanfaatkan secara positif oleh Bapak Ibu guru. Literatur tentang sastrawan dan karya sastra tersimpan secara masif dan terbuka di internet. Tentu ini akan sangat memudahkan Bapak Ibu guru. Selama Bapak Ibu guru punya kemauan untuk itu. Lantas, siapkah Bapak Ibu guru?
Penulis: Edy Suptayitno, M.Pd (Wakil Ketua 2 STKIP PGRI Ponorogo)
*Artikel terkait pernah dipublikasi Jawa Pos Radar Ponorogo, Edisi Juli 2017.