Stop Bullying Pada Anak Usia Dini
Perilaku bullying (perundungan) sebagai salah satu bentuk tindakan agresif, merupakan masalah yang sudah mendunia, salah satunya di negara kita Indonesia.Kita sering mendengar berita tentang perundungan atau bullying dialamai oleh anak-anak usia sekolah diberbagai tempat di Indonesia. Masih hangat pada ingatan kita terakhir ini kasus perundungan atau bullying yang dialami seorang mahasiswa berkebutuhan khusus (ABK) disalah satu Universitas di Depog Jawa Barat.
Kasus bullying (perundungan) bukan hanya terjadi pada jenjang Mahasiswa, SLTA maupun SLTP. Dari sejumlah data dan pantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bullying (perundungan) terjadi pula pada jenjang anak usia dini. Pada usia inilah, kasus bullying kurang mendapat perhatian lebih karena dianggap hal yang wajar. Padahal anak-anak yang sering di-bully baik oleh temannya maupun saudaranya sendiri berpotensi dua kali lebih besar mengalami depresi saat dewasa nanti. Selain itu, mereka juga berisiko dua kali lipat melakukan penganiayaan terhadap diri sendiri
Dari segi norma, Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai negara yang memiliki komitmen besar bagi perlindungan anak. Undang-Undang (UU) Nomor 35/2014 atas Perubahan UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 9 ayat 1 secara tegas menyatakan (a), ”setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain”. Meski secara normatif negara telah menunjukkan komitmennya, beragam permisivitas bullying masih terus terjadi dengan berbagai variasi dan polanya.
Maka dari itu kasus bullying (perundungan) yang semakin menjadi tradisi pada anak usia dini ini membutuhkan upaya serius dari berbagai elemen terutama keluarga sebagai penyusun kematangan individu dan struktur kepribadian anak. Keluaraga hendaknya menjadi teladan positif bagi anak. Menurut teori belajar Bandura, yang dikenal sebagai social learning (belajar sosial), anak belajar dari meniru tingkah laku orang lain. Pendek kata, lingkungan adalah faktor penting yang memengaruhi perilaku. Jika anak dibesarkan di lingkungan permisif (serba membeolehkan) dengan bully, berpotensi anak melakukan hal yang sama. Pola asuh orangtua dan orang sekitar yang sering berinteraksi dengan anak bisa menjadi stimulus. Maka itu, jadilah model perilaku yang tepat dan terbaik untuk anak.
Lingkungan keluarga juga harus menjadi surga yang aman bagi anak seusai aktifitas sekolah. Jadikan rumah sebagai surga bagi penghuninya. yang mendatangkan rasa aman dan nyaman, tanpa ada muatan kekerasan dalam bertutur kata, bersikap, dan bertindak. Tempat kembali dari aktivitas, untuk sama-sama menjadi pribadi yang saling menghargai dan saling melindungi, saling memahami, saling berbagi informasi, saling belajar, dan tak akan berhenti berlatih menjadi yang lebih baik dalam keluarga.
Selain itu jadilah pendengar yang baik untuk anak. Kesibukan kerja terkadang membuat orangtua mengabaikan cerita-cerita anak. Ada baiknya luangkan waktu sejenak untuk mendengarkan cerita, curhat, usulan, atau pandangan anak. Jauhkan kesan menghindar dari anak untuk menyampaikan cerita apalagi tertutup. Dengan menjadi pendengar yang baik, anak menjadi nyaman untuk mengungkapkan sesuatu serta membiasakan anak mendialogkan dengan orantua jika ada ihwal yang terjadi pada diri anak, termasuk kemungkinan menjadi korban atau pelaku bully. Bila lingkungan keluarga dapat memposisikan fungsinya seperti tersebut, maka maraknay bullying (perundungan) yang ada di Indonesia khususnya bullying (perundungan) pada anak-anak akan segara berkurang. Semoga…!
Penulis: Rohmad Arkam, M.S.I (Dosen PG-PAUD STKIP PGRI Ponorogo)
*Artikel terkait pernah dipublikasi Jawa Pos Radar Ponororo, Edisi Juli 2017.