Belajar Bahasa Jawa, Mendidik Karakter
Beberapa tahun terakhir, pendidikan karakter menjadi isu sentral dalam dunia pendidikan nasional. Pemerintahpun telah mengeluarkan sejumlah kebijakan tentang pendidikan karakter. Tengok saja UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 (Pasal 3), Permendiknas No. 39 tahun 2008, Agenda Nawacita (No. 8), dan RPJMN 2015-2019.
Namun faktanya implementasi sejumlah kebijakan tersebut di lapangan masih jauh panggang dari api. Bagaimana tidak, sejak kebijakan tersebut dilegalkan, belum ada perubahan terukur yang dapat diamati. Bahkan guru pun seringkali kesulitan menerjemahkan kebijakan tersebut dalam konteks pembelajaran di sekolah. Karena prinsipnya, konsep pendidikan karakter tidak dimulai dari pendidikan di sekolah formal, tetapi dimulai dari kehidupan keluarga. Kedua orangtualah yang berkewajiban lebih untuk meneladankan anaknya. Karena prilaku orangtualah yang menjadi role model pertama bagi sang anak.
Sejatinya, untuk memulai pendidikan karakter di lingkungan keluarga dapat dimulai dengan cara yang sederhana namun efektif. Salah satu contoh adalah mengajarkan bahasa ibu sesuai dengan konteks lokalitas. Misalnya, sebagai orang Jawa, bahasa yang harus dikenalkan sejak awal adalah Bahasa Jawa itu sendiri. Bukan Bahasa Indonesia (Bahasa Kedua) atau bahkan bahasa asing. Kenapa demikian, karena bahasa Jawa merepresentasikan nilai pendidikan karakter yang luar biasa tinggi. Tidak ada bahasa lain di dunia ini yang sehebat bahasa Jawa. Bahkan, seorang peneliti Amerika, Clifford Geertz pada tahun 1960-an telah mengemukakan tentang nilai lokalitas dan keutamaan Bahasa Jawa tersebut berpuluh-puluh tahun lalu.
Tidak seperti bahasa lain, dalam penggunaannya Bahasa Jawa tidak terlepas dari prinsip kesantunan (politeness) dan penghormatan (respect). Bayangkan saja, jika sebuah bahasa selalu digunakan dengan prinsip ini sedari awal, tentu bisa menjadi fondasi kuat pendidikan karakter. Bahasa Jawa sedari awal mengajarkan prinsip ini. Realisasinya adalah melalui apa yang disebut sebagai ragam (tingkatan), yakni ngoko, kromo madyo, dan kromo inggil. Ketiga ragam tersebut digunakan pada konteks situasi dan mitra tutur (interlocuter) yang berbeda-beda.
Dalam konteks keluarga, kita tidak perlu bingung dari mana memulai pendidikan karakter. Ajarkan saja anak kita Bahasa Jawa dengan baik dan benar. Tanamkan kepada mereka kebanggaan sebagai orang Jawa. Jangan sampai istilah ‘Wong Jowo nanging ora nJawani’ semakin nampak jelas pada anak-anak kita. Buanglah jauh-jauh gengsi kalau mengajarkan Bahasa Jawa adalah ‘ndeso’. Jangan terburu-buru untuk mengajarkan bahasa selain Bahasa Jawa pada anak kita. Tunggu sampai anak mampu berkomunikasi dengan Bahasa Jawa secara baik dan benar.
Dengan mengajarkan Bahasa Jawa kepada anak-anak kita, sesungguhnya orang tua telah berperan besar dalam implementasi pendidikan karakter. Kita tidak perlu jauh-jauh mengajarkan ini dan itu untuk mendidik karakter anak. Mulai sekarang, mari kita ajari anak kita dengan Bahasa Jawa, bukan bahasa yang lain. Mengajarkan Bahasa Jawa pada anak kita bukan merupakan suatu hal yang berat. Asal ada kemauan, pasti bisa. Karena kita terlahir sebagai orang Jawa. Jangan sampai identitas sebagai orang Jawa luntur, karena melupakan bahasa ibunya. Mulai sekarang, mari ajarkan anak kita dengan Bahasa Jawa. Semoga bermanfaat, salam literasi.
Penulis: Adip Arifin, M.Pd
Staf Pengajar Pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Ponorogo
* Artikel terkait pernah dipublikasi Jawa Pos Radar Ponorogo, Edisi Juli 2017