Mau Mengutuk Perayaan Tahun Baru?
Barang pasti, saat mendengar kalimat “Selamat Tahun Baru!” Pikiran orang-orang theisme itu menganggap “Itu bukan perayaan kaumku!”. Bijaknya, kita menghilangkan sensitivitas theisme dulu. Lalu, melangkah untuk mencari ilmu dibalik buku-buku dan artikel-artikel, atau apa pun itu yang mengandung ilmu! Sekedar untuk mengisi nutrisi otak yang sedang terjejal ketamakan pribadi. Tentu, tak buru-buru menganggap negatif sesuatu dulu. Moral harus bersih tertuju pada hakikat kemanusiaanya.
Itu kalau kita masih mengganggap sebagai Homo Educandum (manusia yang wajib dididik). Makanya, harus siap belajar. Siap belajar menelaah segala permasalahan dan pandangan dengan pikiran terbuka. Selalu mengambil sebuah pelajaran dari permasalahan. Bukan melulu ikut bercampur baur dengan keruwetan. Entah! Itu penggiringan massa yang sengaja diciptakan atau hanya pikiran dangkal manusia.
Pikiran dangkal, negatif dan kaku itu pasti langsung menjelekkan kelakukan orang atau kelompok yang tak sepandangan. Sudahlah! Kita sebaiknya menghentikan itu semua. Lalu, kembali pada tabula rasa manusia. Manusia tak ada yang bisa mendapatkan pembelajaran tanpa mencarinya.
Ya kalau begitu “hidup harus terus belajar”menjadi falsafah penting sampai mati.
Nah, dalam memandang tahun baru kita pun perlu mengakui keterbatasan pandangan kita saat ini. Menelaah kembali berbagai cerita sejarah zaman dulu. Pelbagai pandangan cerita yang dapat menurunkan kadar negatif memandang perayaan tahun baru.
Kiranya, perayaan yang paling mengundang polemik adalah tahuna baru Masehi. Dari pemerintah, orang tua, anak muda banyak yang sinis memandang perayaan tahuan baru. Anggapannya sangatlah lucu, ini perayaan kaum Yahudi. Apalagi mereka yang sedang ber-hijrah. Langsung, dalil-dalil theisme digunkan membedahnya. Akibatnya, pengetahuan terpenggal, tertutup oleh rasa benci yang begitu menggunung.
Sekedar untuk berbelok dari riuhnya kutuk-mengkutuk, mari kita berpikir historis.
Sepengetahuan saya, tahun baru masehi itu bermula pada keputusan Kaisar Julius Cesar menetapkan penggunaan penanggalan baru. Mengganti sistem penanggalan tradisional yang telah digunakan sejak abad 7 Sebelum Masehi (SM) itu, dengan sistem penanggalan mengikuti perputaran matahari seperti yang kita ketahui saat ini.
Untuk merumuskannya, Julius Cesar meminta bantuan seorang ahli astronomi yang berasal dari Iskandariyah (Alexandria) yang bernama Sosigenes. Dari Sosigenes-lah sistem penanggalan digunakan mengikuti perputaran Matahari sama seperti penanggalan di zaman Mesir Kuno.
Januari yang digunakan sebagai permulaan tahun itupun oleh Julius Cesar diambil dari nama salah satu dewa yakni Dewa Janus. Kenapa Dewa Janus? Nah, inilah spiritualitas bangsa Romawi untuk meletakkan Dewa Janus sebagai bulan permulaan tahun.
Buku New Year’s Celebrations (2007) memaparkan bahwa Dewa Janus digambarkan sebagai dewa yang memiliki 2 wajah dengan hadap berlawanan. Simbol ini dimaknai sebagai renungan satu tahun lalu dan pandangan rencana satu tahun ke depan. Perenungan di titik pergantian dulu-mendatang!
Ditahun 46 SM, bulan Januari mulai dipakai sebagai sistem penanggalan baru. Saat itu, penyebutan Masehi belum diterapkan. Barulah dari orang Nazaret mulai menghitungnya mengacu pada kelahiran Yesus (Isa Al-Masih) dan menyebutnya tahun Masehi. Lalu, pada abad ke-8 diadopsi oleh bangsa Eropa Barat untuk menghitung tanggal Paskah. Kalender Julian inilah yang dimodifikasi menjadi kalender Gregorian dan disetuji oleh pemimpin besar vatikan pada tahun 1582.
Dulu, perayaan penghormatan Dewa Janus dilakukan dengan cara saling membagi hadiah berupa ranting keramat, emas dan perak, memasang gemerlap cahaya lampu di depan rumah dan menyediakan permen dan madu, lambang keberuntungan. Tradisi spiritual bangsa Romawi terhadap Dewa Janus sebagai bentuk refleksi dan harapan atas kehidupnya yang telah dan akan dilalui, di malam pergantian tahun.
Lalu, bagaimana perayaan tahun baru sekarang?
Saya tidak hanya membincang perayaan tahun barus Masehi saja. Namun, seluruh perayaan tahun baru. Entah, tahun baru Hijriah, Tahun baru Imlek, Tahun baru Saka (hari raya Nyepi), dan tahun baru Sankranti. Semua pasti lebih mengutamakan perenungan di malam pergantian.
Anehnya, sekarang tak ada lagi yang memaknai titik antara lalu-mendatang ini sebagai ajang refleksi diri. Perayaan yang sifatnya euforia akbar yang muncul dipermukaan. Simbol-simbol gemerlap diciptakan. Semua asyik dalam pesta perayaan tanpa ada sedikit pun tahap perenungan.
Ada pula yang melarang, tapi pelarangan itupun berdasarkan sensitivitas theisme tertentu. Bukan penganjuran untuk berenung. Pelarangannya pasti kembali memojokkan theisme atau kelompok tertentu.
Itulah kenapa kita harus menyebut titik pijak lalu-mendatang sebagai titik perenungan. Keburukan ataupun kebaikan harus kita refleksikan untuk menjadi manusia baik di esok yang akan datang. Mari kembali memaknai malam pergantian dengan perenungan. Mari menjadi manusia yang damai dan penyanyang.
Ikhsan Skuter berkata, jangan sampai terpengaruh dogma berpenyakit dan terperangkap budaya yang sakit. []
Frengki Nur Fariya Pratama
Staf LPPM dan penggiat Sekolah Literasi Gratis STKIP PGRI Ponorogo, Sekretaris Litbang PC NU Ponorogo, anggota Pramuka Garuda Pandega.
Sumber tulisan: geotimes.co.id