Finalis Buku Pilihan Tempo; Arafat Nur Tuai Banyak Penghargaan Nasional dan Internasional
Dengan masuknya buku kumpulan cerpen Serdadu dari Neraka (Diva Press, 2019) sebagai 10 Buku Pilihan Tempo 2020, maka hampir semua karya sastrawan Arafat Nur mendapatkan penghargaan bergensi tingkat nasional dan internasional.
Sejumlah penghargaan yang diraih Arafat Nur itu antara lain Khatulistiwa Literary Award, dua kali memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta yaitu tahun 2010 dan 2016, memenangkan Sayembara Novel Basabasi 2019, masuk 5 Besar Penghargaan Balai Badan Bahasa Kemendikbud 2020, dan novel-novel yang menang sayembara itu masuk kembali dalam finalis Kusala Sastra Khatulistiwa, dua buku lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Sedangkan buku Serdadu dari Neraka adalah satu-satunya buku kumpulan cerpen yang baru dirilis Arafat Nur dan dia sama sekali tidak menyangka kalau buku itu masuk sebagai 10 Buku Pilihan Tempo. “Sama sekali saya tidak menduga, dan saya merasa senang,” ungkapnya kepada warta kampus STKIP PGRIm Ponorogo, ketika ditemui di kediamannya, Senin (3/1).
Buku kumpulan cerpen ini membuat 17 cerpen yang memiliki keragaman warna dengan gaya penceritaan yang unik dan sangat orisinil. Kekayaan warna dan gaya buku ini karena cerpen-cerpen yang termuat di dalamnya memiliki rentang penggarapan yang amat jauh, dimulai dari kisah-kisah yang digarap dari awal kepenulisannya hingga cerpen yang terkini dengan gaya dan karakter yang lebih kuat.
Dalam buku Serdadu dari Neraka ini bisa dilihat bagaimana perkembangan proses kepenulisan Arafat Nur dengan kisah-kisah kemanusiaan yang berlatarkan Aceh yang dilanda gejolak politik. Sebagai penulis yang terlibat langsung dengan konflik kekerasan, kisah-kisah dalam buku ini seperti mencerminkan sebuah peristiwa nyata tragedi kemanusiaan yang dengan sendirinya menarik perhatian pembaca untuk menerenung dan memikirkannya.
Yang patut diberikan jempol, terhadap berbagai peristiwa tersebut, Arafat Nur tidak bersikap provokatif meskipunmemiliki banyak sekali peluang, dan dia tetap berada di ranah pencerita yang baik. Buku ini merekam banyak sisi dan sudut pandang yang bisa dikatakan sebagai salah satu buku cerita yang memotret tragedi kemanusiaan di Aceh secara lengkap.
Sastrawan yang Semakin Melejit
Sejak meluncurkan novel pertamanya, Percikan Darah di Bunga (cetak ulang oleh penerbit Basabasi, 2017) yang memenangkan sayembara Forum Lingkar Pena Jakarta 2005, nama Arafat Nur mulai dikenal di kancah sastra nasional. Namanya semakin meroket ketika tahun 2010 dia meluncurkan novel Lampuki (dan cetak ulang Gramedia, 2019) yang menyabet dua penghargaan bergensi sekaligus, yaitu Khatulistiwa Literary Award 2011 dan Sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2010.
Novel-bovel setelahnya terus menuai banyak penghargaan, memenangkan lomba berbeda, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dan mengalami cetak ulang. Selain itu, dia juga banyak memenangkan berbagai lomba penulisan cerpen dan puisi, terutama sejak dia memutuskan hijrah ke Jawa Timur dan menjadi Dosen Sastra di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo.
Diakui Arafat bahwa dia jarang sekali menulis cerpen dan puisi, kecuali ada momen-momen tertentu atau suatu sebab lainnya. “Sehari-hari saya lebih fokus menulis novel. Ketika menulis novel, saya mengabaikan untuk menggarap tulisan lain, kecuali dalam keadaan terdesak. Seperti saat ini, setelah menulis beberapa cerpen yang dimuat di media masa dan memenangkan lomba, sekarang saya akan fokus menggarap novel lagi,” ujarnya.
Berbagi Ilmu dengan Penulis di Ponorogo
Sebagai pengajar di Kampus STKIP PGRI Ponorogo, Arafat Nur sangat mudah ditemui dan dia terkenal tidak pelit membagi-bagikan ilmu dan pengalaman menulisnya kepada siapa saja. Dia senang sekali pada pemuda-pemuda di Jawa, terutama di Ponorogo, yang cinta sastra dan gemar membaca. “Mari sama-sama kita saling belajar untuk membangun dunia sastra yang lebih maju dan semarak,” ajaknya.
Menurutnya, di Ponorogo, mungkin juga di Tanah Jawa, STKIP PGRI Ponorogo adalah perguruan tinggi yang paling perhatian dan peduli terhadap dunia literasi dengan dibentuknya Sekolah Literasi STKIP PGRI Ponorogo sebagai wadah bagi pencinta sastra. Sekolah ini telah memberikan banyak kontribusi bagi pertumbuhan dan minat sejumlah generasi penulis yang mau tumbuh kembang.
Selain sebagai pengajar, sehari-harinya Arafat Nur juga terlibat diskusi lepas dengan sejumlah penulis dan calon penulis di Ponorogo. “Pada dasarnya saya tidak membagi ilmu kepada mereka, melainkan kita saling membagi pengalaman. Saya juga masih terus belajar, sama seperti yang lainnya. Rasanya tidak ada habisnya ilmu itu dipelajari dan kita semakin menyadari betapa lemahnya diri kita,” tandasnya.
Previous