Cara Sutejo Bimbing Penulis Muda hingga Matang Berkarya
Ada angan-angan besar Sutejo di balik berdirinya sebuah komunitas menulis. Dia sudah mengawalinya sejak empat dekade lalu. Mulai Jaringan Sastra, berganti nama ke Ukel, hingga melebur menjadi Sutejo Spectrum Center (SSC).
RONAA NISA, Jawa Pos Radar Ponorogo
NAMA penulis kawakan itu tertera di Sutejo Spectrum Center (SSC). Sebuah komunitas penulis. Sutejo yang menginisiasi komunitas itu ingin menularkan ilmunya. Sedari awal dia menegaskan anti plagiarisme. Sutejo mengedit tulisan orang lain untuk diklaim sebagai karyanya. ‘’Seorang penulis tidak boleh mengabaikan moralitas,’’ kata Sutejo.
Dia menganggap penulis muda yang tergabung di SSC sebagai anak asuh. Status mereka adalah mahasiswa. Sejak berdiri 2010 lalu, SSC sudah mengantarkan sekitar 20 penulis yang cukup matang berkarya. Sutejo memang menerapkan pola asah, asih, dan asuh yang mengadopsi pemikiran Ki Hajar Dewantara. Dalam proses belajar, wajib adanya interaksi. Sutejo mengajarkan proses kreatif menulis kepada anggota SSC secara gratis. ‘’Ilmu itu harus dibagi secara alami,’’ ujar rektor STKIP Ponorogo itu.
Sutejo sengaja membangun mental seorang penulis di SSC. Penulis harus terus mengasah kekritisannya. Setahun pertama, anggota SSC diminta rajin memelototi bacaan apa saja. Sutejo akan menanyakan apa yang didapat muridnya dari proses kutu buku itu. Setelah tumbuh kebiasaan kritis, baru mereka mulai belajar menulis. ‘’Membaca itu seperti menabung. Mereka juga dibiasakan memahami beragam realitas,’’ paparnya.
Gemblengan menulis pun dimulai. Anggota SSC harus rajin mengirim karyanya ke media online maupun cetak. Sutejo tidak pernah menentukan jenis tulisan kiriman itu. Anak asuhnya bebas berkarya seperti menulis diari. Teknik flow (mengalir) itu lumayan efektif mengasah keterampilan menulis. ‘’Akan leluasa mencurahkan isi pikiran. Tinggal bagaimana memoles agar sebuah tulisan layak dibaca banyak orang,’’ jelas laki-laki 54 tahun itu.
Dalam perjalanannya, anggota SSC menemukan kecenderungan jenis tulisan yang paling disenangi. Tinggal menekuni. Cerpen atau opini, misalnya. Setelah mampu menulis dengan lancar dan baik, baru beralih ke jenis tulisan lainnya. ‘’Proses menjadi penulis itu tidak bisa instan. Juga perlu sabar dan istiqamah agar mentalnya ikut terbentuk,’’ terang Sutejo.
Sutejo bakal merawat SSC hingga akhir hayatnya. Dia sejatinya sudah lama membangun komunitas penulis. Era 1990-an, Sutejo membentuk Jaringan Sastra. Satu dekade kemudian, komunitas itu berganti nama Ukel. Siklus 10 tahunan kembali berlaku hingga Ukel melebur menjadi SSC. ‘’Komunitas ini harus terus berjalan, penjaganya nanti anak-anak,’’ harapnya.
Dia menemukan banyak fakta ketika Balai Bahasa Jawa Timur memintanya membina komunitas penulis yang tersebar di sejumlah daerah. Banyak penulis yang memiliki daya tahan rentan hingga memilih berhenti. Mereka tidak kuat berada di bawah tekanan. Selain itu, muncul raja-raja kecil yang belum-belum sudah merasa menjadi penulis hebat. ‘’Beberapa komunitas lemah dalam proses regenerasi,’’ ungkapnya. *(hw/c1)
sumber berita; Radar Madiun