Belajar Jiwa Merdeka dari Tan Malaka
Geger Riyanto pernah menulis tentang Tan Malaka dengan judul “Tan Malaka, Hantu Republik yang Tak Bisa Digebuk”. Tulisan Geger, mengingatkan betapa misteriusnya sosok Tan. Sepemahaman saya, ia adalah sosok misterius, pergerakan kemerdekaan, yang sangat mencintai bangsa Indonesia.
Pada 1940-an, tulis Geger, di antara orang-orang Sumatera, Tan Malaka adalah legenda. Ia diceritakan sebagai sosok yang bisa berpindah tempat ratusan kilometer dalam sekejap. Ia dapat mengubah wujudnya sekehendaknya. Satu hari Anda mengenalnya. Di keesokan hari, Anda tak mengenal lagi sosoknya maupun mengetahui di mana dirinya.
Tan Malaka dianggap orang berbahaya bagi rezim kolonial. Sosok yang cakap meyakinkan orang, penggalang massa ulung, serta penggugah pergerakan efektif. Tulisan-tulisannya lebih-lebih berbahaya. Sukarno dijatuhi hukuman yang lebih berat ketika diadili di Bandung hanya karena ketahuan menyimpan buku Massa Actie (Aksi Massa) yang terlarang karya Tan.
Dalam catatan sejarah, kemudian kita tahu Tan Malaka pun, menghabiskan lebih dari separuh hidupnya sebagai buron. Ia tak bisa berdiam di satu tempat lama, harus beridentitas palsu di banyak kesempatan. Kabarnya, ia memiliki 23 nama samaran dan selalu berpindah dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer. Harry Poeze menulis, Tan Malaka tak mudah percaya kepada orang. Ketika ia meyakinkan Sukarni, tokoh pemuda sekaligus pengagumnya, untuk mendorong Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan selekasnya, Sukarni hanya mengetahuinya sebagai Ilyas Hussein, seorang kerani di pertambangan batu bara di Bayah, Banten. Ini hanya sepotong kisah kecil, yang dituliskan Geger Riyanto sebagai pembuka refleksi nglaras ini dengan semangat memerdekakan diri, dan mendalami hakikat pendidikan bagi sebuah bangsa ke depan.
***
Berkaitan dengan arti pendidikan bagi suatu bangsa, Tan Malaka pernah berpesan: “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan”. Maka, apakah yang kita dapat pahami dari pesan demikian? Jika Anda seorang guru, maka tugas mulianya tentu adalah mempertajam kecerdasan siswa, menguatkan motivasi sehingga kemauannya tumbuh subur, dan tak kalah pentingnya berhalus budi, perasaan yang lembut atas sesama.
Tanggung jawab pembelajar, maka pentingnya memiliki kesadaran diri betapa perlunya kerja keras dalam memperoleh kecerdasan dengan kemauan berlapis dan perasaan lembut. Pendidikan itu menghaluskan budi dan tidak melahirkan kecongkaan karena merasa lebih tinggi dalam kehidupan sosial. Pesan Tan Malaka selanjutnya begini, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”. Bukankah tujuan pendidikan yang hakiki adalah memandirikan pembelajar agar mampu hidup terbaik dalam kehidupan sosial masyarakat.
Tanggung jawab pendidikan dengan kata lain adalah memerdekakan jiwa dan pikiran pembelajar. Ingat, pesan Pramudya Ananta Toer, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”. Salah satu visi memerdekakan diri adalah prinsip keadilan, karena merdeka, adalah hak setiap individu yang wajib disadari dan diperjuangkan atas nama dinamika kehidupan suatu bangsa.
Di sinilah, kekuatan berpikir pembelajar (mahasiswa dan dosen) dituntut memiliki kualitas berpikir memadahi sebagai alat belajar. Proklamator bangsa ini, Soekarno pernah mengingatkan bahwa “Belajar tanpa berpikir itu tidaklah berguna, tapi berpikir tanpa belajar itu sangatlah berbahaya!”
Apa yang dapat kita ambil dari pesan Soekarno? Sosok pendiri bangsa yang sangat terinspirasi oleh gerak liar Tan Malaka. Jelas, belajarlah dengan mengoptimalkan pikiran, karena pikiran adalah pisau kebenaran, alat untuk mengupas dan menganalisis segala persoalan kehidupan.
Dalam kehidupan akademik kita mengenal sejumlah keterampilan berpikir yang wajib dimiliki pembelajar, di antaranya: (i) berpikir kritis, (ii) berpikir analitis, (iii) berpikir logis, (iv) berpikir realistis, (v) berpikir kausalitas, (vi) berpikir idealis, (vii) berpikir empirik, (viii) berpikir sistematis, dst. Bukankah berpikir itu alat utama seorang yang bertekad memerdekaan jiwa?
Usaha keras, tak kenal kata menyerah, adalah pesan lain dari Soekarno kala menggelorakan semangat kecerdasan bagi bangsanya ketika itu. Ingat Soekarno juga pernah berpesan, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.” Klise? Ya, tetapi tetaplah menarik dan reflektif-dinamik dijadikan pijakan kuat belajar.
***
Pertanyaannya: tanggung jawab siapakah pendidikan yang memerdekakan? Pertama-tama jelas kewajiban negara dengan perangkat birokrasi pemerintahannya. Ini pun jika memang negara bertanggungjawab atas rakyat dan warganya. Setelah itu, lembaga pendidikan, masyarakat, dan keluarga. Salah satu filosofi pembelajaran yang menarik, penting direnungkan pesan Ki Hajar Dewantara, “Setiap orang adalah guru, setiap rumah adalah sekolah”.
Nah, untuk memerdekakan diri, rasanya, jika kita memiliki mental pembelajar untuk senantiasa meng-update informasi, mengikuti dinamika zaman, dan peka terhadap realitas sosial. Sehingga makna setiap orang adalah guru dan sesungguhnya setiap tempat (rumah) adalah sekolah, penting dijadikan pijakan dasar dalam belajar kehidupan.
Dan, jika Anda seorang calon guru—terlebih sudah jadi guru dan dosen—wajib menginternalisasikan pesan Ki Hajar Dewantara yang telah menjadi jargon pendidikan nasional. “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Di depan seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik; Di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide; Dari belakang seorang guru harus memberikan dorongan dan arahan”.
Apa pun keadaan yang memberatkan kita, jiwa pembelajar tetap tumbuh. Jika Anda mengenali dengan lembut awal tulisan ini, bagaimana riak dan gerak Tan Malaka begitu berat dalam menghadapi realitas kebangsaan? Tetapi Tan terpanggil untuk tetap memerdekakan diri dan bangsanya dari penjajahan kolonial. Jiwa-jiwa merdeka terus ia suarakan secara gerilya hingga memalsukan identitas personalnya.
Jika kita ingin merdeka pikiran, pinjamlah ruh Tan Malaka. Cintai bangsa ini dengan belajar dan kerja keras sehingga tidak menjadi tanggungan negara. Sehingga tidak terjajah dan direndahkan oleh bangsa yang lain!
Pendidikan terbaik itu mencerdaskan, melembutkan, dan menajamkan pikiran sehingga kemerdekaan individu. Dosen dan guru terbaik adalah mereka yang mampu menjadi teladan, dinamo, dan inspirator kehidupan murid-muridnya. Menjadi merdeka dengan tebusan nyawa sekalipun adalah konsekuensi dari tekad nasionalisme pendidikan yang sudah lebur dalam darah seorang pembelajar. []
Sutejo,
Ketua STKIP PGRI Ponorogo
5 Komentar pada Belajar Jiwa Merdeka dari Tan Malaka