Integritas dalam Mendidik
Integritas serupa cuaca, tulis Stephen L. Carter dalam buku Etika Integritas (Pustaka Sinar Harapan, 1999:8). Semua orang membicarakannya, tetapi mereka tidak tahu akan apa yang dikerjakannya kemudian. Kemudian Carter, mengilustrasikan bahwa integritas itu membutuhkan tiga langkah utama: (i) Membedakan apa yang benar dan apa yang salah; (ii) Melaksanakan apa yang telah Anda kaji itu, bahkan bila menderita rugi sendiri; dan (iii) Mengatakan secara terbuka bahwa Anda sedang melaksanakan berdasarkan pemahaman Anda mengenai apa yang benar dan salah (1999:9). Seorang pendidik sangat penting memiliki integritas agar mampu berandil dalam kemajuan anak didiknya untuk berkontribusi di suatu keluarga, masyarakat, negara, dan bangsa.
Tugas seorang guru (dosen) tidak saja mengajar, tetapi juga membimbing, mengelola kelas, dan terutama: mendidik. Jika tugas mengajar itu tugas berkaitan dengan orientasi pada kecendekiaan pembelajar maka mendidik itu mengasuhnya, agar mereka berkarakter baik dengan moralitas terpuji: melahirkan peserta didik dengan integritas tinggi. Integritas pendidik karena itu, menjadi kunci perbuatan dan tindakannya dalam mengantarkan generasi ke depan.
Keutamaan seorang guru (dosen) dengan sendirinya diukur sejauh mana integritas yang dimilikinya. Integritas sendiri berasal dari bahasa Latin, integer, yang berarti utuh. Orang yang berintegritas, serupa angka yang utuh, sebuah pribadi yang utuh, seorang pribadi yang entah bagaimana tak terpecah-pecah. Itulah ilustrasi Carter dalam menggambarkannya. Jika Anda bertekad menjadi guru yang berintegritas, jalannya sangat berliku sebab moralitas-spiritualitas adalah ukuran puncaknya.
Karena itu, seorang guru (dosen) yang berintegritas adalah mereka yang dapat dipercaya melakukan hal benar, bermain sesuai dengan aturan-aturan, dan tentu memenuhi janji profesinya. Bayangkanlah jika Anda seorang pendidik tetapi tidak memiliki mentalitas terpuji sehingga melanggar aturan moral. Celakanya, seringkali tak menepati janji atas tugas profesinya, apa yang akan terjadi pada kehidupan sosial berbangsa kelak? Intinya, integritas itu adalah spiritualitas diri seorang pendidik dalam menggembalakan tugas tersuci.
Contoh Tindakan Integritas
Katakanlah Anda seorang pendidik, yang –entah karena bagaimana tekniknya—Anda menemukan murid Anda berpacaran, hingga permisif atas perilaku seksual, dan bahkan melakukan aborsi. Apa yang Anda lakukan jika ingin digolongkan sebagai pendidik berintegritas? Bukankah “membentuk” moralitas di lembaga pendidikan adalah tugas Anda? Membiarkan, merendahkan, atau mengulurkan tangan apa pun risikonya agar mereka menempuh jalan kembali?
Realitanya, dalam kehidupan umum, tulis Carter, terlalu banyak kita yang terjebak pada langkah pertama: kita tidak mampu membedakan mana yang benar dan yang salah, atau bahkan karena itu realita salah yang umum kemudian dianggap benar. Biasa. Tugas kita, adalah benar-benar menganalisis dan menyakini tentang salah dan benar ini, dengan berani kemudian berkorban memerjuangkan perubahan yang harus dilakukan mereka dengan cara dan komitmen mendidik mereka kembali. Sakit, jika kita tidak melaksanakannya.
Penyimpangan seks atas nama cinta memang begitu masif dan nyata di masyarakat tetapi siapakah pendidik yang terpanggil mendidiknya? Dalih, bahwa itu urusan pribadi atau merupakan privasi individu, itulah yang sering diargumentasikan sendiri oleh mahasiswa atau pelajar kita. Seakan itu bukan tugas pendidikan, bukan tugas profesi yang melekat untuk menyadarkannya.
Jika dunia pendidikan dipenuhi dengan kemunafikan (pengingkaran citra diri dibangun untuk menutupi keaslian diri), maka ini sungguh merupakan gambaran hilangnya integritas. Baik integritas si peserta didik maupun pendidik. Kita menolak berpikir dalam kerangka benar dan salah dalam mendampingi perilaku peserta didik, padahal ini sesungguhnya seutamanya sisi terdalam atas profesi pendidik berintegritas tinggi.
Berkaitan dengan langkah kedua, pendidik yang berintegritas, kadang-kadang perlu mengayunkan langkah yang sangat sulit –untuk terlibat—secara terbuka, berjuang bagi apa yang diyakini sebagai nyata, benar, dan baik; bahkan, siap berisiko apabila timbul bahaya bagi sang guru itu sendiri. Begitu banyak pendidik yang tidak memperjuangkan keyakinan-keyakinan kebaikan itu dengan berbagai dalih yang dibuat untuk menutupi kelemahannya.
Di sinilah, maka tugas pendidik di langkah ketiga tentu yang tersulit: orang-orang yang menghayati tugas kependidikan dalam dunia pendidikan yang berintegritas, harus bersedia mengatakan bahwa dia bertindak secara tidak konsisten dengan apa yang telah diputuskan sebagai hal benar. Kebenaran untuk tidak ada logika seks dalam pacaran, misalnya, tetapi kemudian tak jarang generasi muda kita melanggar dengan melakukannya atas nama kebutuhan cinta.
Jika pernyataan seseorang yang memiliki integritas itu merupakan hasil dari pertimbangan, pemikiran yang matang, dan kesadaran akan masa depan; tak mungkin melakukan ‘cinta seks’ hanya untuk mewujudkan hedonisme semata. Jika Anda seorang guru, maka hal-hal demikian adalah kewajiban Anda untuk mengulurkan tangan, menyembuhkan, dan menyehatkannya.
Menghadapi tugas mendidik demikian, integritas diri pendidik sangat dipertaruhkan. Ingat langkah ketiga atas penanda integritas –yaitu: mengatakan terus terang secara terbuka bahwa kita sedang mengerjakan apa yang kita rasakan benar, bahkan apabila orang-orang tidak setuju—menjadi teramat sulit lantaran kecenderungan kita mengikuti keinginan umum. Kebanyakan pendidik berpikir agar kita dianggap selaras, ingin diterima, padahal mengakui (atau dengan bangga mempermaklumkan) yang tidak populer. Tersebab, tindakan salah ini merupakan sarana agar diterima orang lain.
Tugas pendidik dalam konteks kekinian, ketika bawah sadar pembelajar tergempur arus kemesuman dari segala penjuru (seringkali mereka tak menyadari –tak sekuat tenaga belajar mengenali benar salah–) maka integritas diri seringkali tergadaikan. Pembelajar instan, nirkerja keras, nirmoralitas; meskipun seakan-akan mereka bermoral tetapi menutupi perilakunya dengan topeng-topeng informasi media sosialnya.
Dalam konteks inilah, maka seorang pendidik penting untuk meningkatkan kecakapan sosialnya dengan pengembangan “pikiran bawah sadar” atau kemampuan “hipnosis dasar” agar mampu melaksanakan tugas mulia: mengatakan dan melakukan apa yang diyakini benar. Sebuah spiritualitas guru/dosen yang sangat dibutuhkan dalam konteks kekinian, di mana medsos dan internet serupa samudera lepas yang siap menenggelamkan.
Tugas sosial seorang guru dalam eera digitalisasi sungguh tidak mudah. Buih-buih dan riak kotoran pendidikan nyaris menyintas pikiran bawah sadar setiap saat. Setiap hari puluhan ribu informasi masuk ke dalam pikiran –baik sadar ataupun tidak—melalui kelima pancaindera, diterima begitu saja. Bayangkan jika asupan negatif setiap hari yang masuk ke pikiran bawah sadar peserta didik melalui gawai, puluhan ribu informasi negatif itu pula yang akan mempengaruhi tindakan-tindakan dalam kehidupannya.
Akhirnya, mari menjadi guru (dosen) dengan penuh integritas. Benar dalam berpikir dan bertindak, berani mengambil risiko atas keyakinan kebenaran yang dilakukan, dan selalu mengatakan dan mencontohkan tentang kebaikan itu meskipun di tengah ketidakbaikan yang sudah umum dipahami sebagai “kebaikan”. Hanya orang mereka yang berintegritas mendidik tinggilah yang akan terhindar dari dosa profesi, yang akan kita pertanggungjawabkan kelak hingga berkalang tanah. []
Penulis:
Sutejo, Ketua STKIP PGRI Ponorogo