Kenalilah Ruh Pendidikan!
Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara pernah berpesan, “Pendidikan dan pengajaran di Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan batin serta keselamatan hidup lahir.” Ki Hajar sendiri sesungguhnya, pada zamannya adalah seorang aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, seorang kolumnis dan politisi 1889-1959 yang disegani.
Ada dua pesan penting dari Ki Hajar. Pertama, jika kita seorang pendidik, ingat bagaimana pendidikan itu wajib berbasis kebudayaan bangsa. Bukankah di kebudayaan kita sudah melekat nilai-nilai luhur bangsa? Kebudayaan lokal, misalnya, menarik diulik dan disarikan sebagai modal pembelajaran dalam pendidikan kita. Mengapa? Agar akar ruh pendidikan tidak tercerabut dari tanah bumi tempat berpijak: pohon besar pendidikan itu sendiri.
Kedua, pentingnya disadari bahwa tujuan pendidikan itu hakikatnya membahagiakan dan menyehatkan secara lahiriah. Bukankah tujuan utama pendidikan itu membahagiakan –secara batiniah maupun lahiriah-? Dengan demikian, jika kita berkomitmen menjatuhkan pilihan hidup mengabdi pada pendidikan, jangan lupakan tujuan utama ini. Jangan lupakan bumi pendidikan yang sejati: kebudayaan luhur bangsa ini.
Sejumlah negara maju macam Jepang adalah contoh bagaimana mengembangkan pendidikan yang berkaki pada kebudayaan bangsanya; demikian pula negara macam Cina dan Korea Selatan. Dalam sebuah seminar internasional di Tulungagung, seorang dosen bertanya kepada pemateri dari Australia, “Adakah resep yang dapat dibagikan kepada kami agar pendidikan Indonesia dapat berkompetisi di tingkat internasional?” Dengan sangat mengagumkan, orang asing itu menjawab, “Perlunya kita menggali nilai-nilai kearifan budaya sendiri sebagai kaki berdiri pendidikan yang ditegakkan. Kebudayaan suatu bangsa adalah tanah subur yang tinggal untuk ditanami tunas-tunas pendidikan,” ungkapnya. Mengapa kita sering gagap, dan sok latah mengimpor konsep-konsep pendidikan asing?
***
Ada pesan dari filsuf Aristoteles yang menarik direnungkan dalam konteks membangun pendidikan bangsa ini, dia mengatakan bahwa: “Mendidik pikiran tanpa mendidik hati adalah bukan pendidikan sama sekali.” Ungkapan filsuf Yunani yang hidup pada era 384 SM-322 SM ini tentu sebangun dengan semangat pesan Ki Hajar Dewantara yang disinggung di awal tulisan. Hakikat pendidikan itu membahagiakan. Bukankah sumber kebahagiaan itu hati. Mendidik hati, bagi sang filsuf penting dijadikan falsafah pembelajaran yang kita gembalakan di ruang-ruang kelas pembelajaran.
Di sinilah, maka kita sebagai guru/dosen (termasuk calon guru), dituntut terus meningkatkan kualitas pribadi, kompetensi diri sehingga mampu berdiri sebagai penyangga bangunan pendidikan yang agung. Kompetensi personal, sosial, akademik, dan vokasional. Mantan Menteri Pendidikan, Anies Baswedan bilang, “Kurikulum berubah, tidak otomatis kualitas pendidikan meningkat. Namun, jika kualitas guru meningkat, kualitas pendidikan pasti meningkat, itu kuncinya.” Bukankah kurikulum hanya alat dan rambu saja dalam dinamika pendidikan? Aktor utama: kualitas dan kompetensi para guru dan dosen di Indonesia.
Ingat kompetensi yang wajib dimiliki seorang guru dalam amanat UU Sisdiknas Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 8 meliputi: (i) kompetensi pedagogik, (ii) kompetensi kepribadian, (iii) kompetensi sosial, dan (iv) profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pertama, mengingatkan bahwa kita tak saja memiliki kompetensi bidang tetapi juga kemampuan dalam menyuguhkannya.
Sementara, kompetensi kepribadian, mengingatkan akan pentingnya kualitas kepribadian (budi luhur) guru sebagai model teladan belajar yang bersifat melekat dan otomatis. Tak cukup dengan dua kompetensi itu, guru/dosen dituntut memiliki kompetensi sosial dan profesional. Dalam paradigma Daniel Goleman, misalnya, kecakapan sosial (kecerdasan emosi) memiliki kontribusi terbesar atas keberhasilan seseorang.
Di sinilah, akhirnya, guru adalah sebuah profesi yang menuntut jejiwa profesional dengan sekian parameter yang dilekatkan padanya. Mari, siapkan diri terus mengembangkan dan meningkatkan kompetensi dan profesionalitas diri agar pendidikan bangsa ke depan semakin maju dan kompetitif.
***
Seorang presenter berita yang sangat populer karena kecerdasannya, Najwa Shihab, pernah mengingatkan agar pengajaran dalam dunia pendidikan memanusiakan peserta didik bukan mengerdilkannya! Jargon ini, paralel dengan impian Mendikbudristek, Nadiem Makariem dengan sejumlah konsep pendidikan yang digelorakan: belajar merdeka, sekolah penggerak, kampus merdeka, dan kurikulum merdeka.
Ingatlah bahwa pendidikan itu ruh bangsa, kualitas bangsa tergantung kualitas pendidikannya. Apakah yang akan kita kontribusikan kepada bangsa jika tidak terus meningkatkan kualitas diri sebagai pendidik dan calon pendidik? Ingat pesan pemimpin Soviet Joseph Stalin (1879-1953), yang pernah mengingatkan hakikat penting dari politik pendidikan. “Pendidikan adalah senjata, yang efeknya tergantung pada siapa yang memegang di tangannya dan pada siapa itu ditujukan,” ungkap Stalin.
Dalam kehidupan mutakhir, ketika beragam jargon diksi merdeka dilekatkan dalam berbagai iklan pendidikan, ingatlah bahwa kemerdekaan dalam pendidikan tak boleh melahirkan penindasan atas yang lain. Ancaman demokratisasi pendidikan dalam konteks mutakhir, barangkali menarik diwaspadai agar kemerdekaan pendidikan tidak terjebak pada pendidikan intoleransi karena justru melahirkan indoktrinasi. Sebuah sisi negatif jargon merdeka yang tak terkendali.
Ingat, pesan Helen Keller, seorang penulis dari Amerika Serikat (1880-1968) yang pernah berujar bahwa hasil pendidikan tertinggi adalah toleransi (The highest result of education is tolerance).
Apalagi dalam pelaksanaan politik pendidikan negara, tidak diperkenankan terjadi intoleransi kekerasan secara sistematik. Demokratisasi pembelajaran yang bertanggung jawab tentu adalah impian terbesar dari bangsa ini. Seorang aktivis HAM Indonesia, Munir (1965-2004), mengingatkan bahwa pendidikan politik rakyat hanya akan berhasil dalam sistem yang demokratis dan adanya jaminan atas HAM.[*]