Pendampingan Bukan Cuma di Kampus, di Warung Kopi
Dendam kemiskinan membuat Sutejo tak mau hanya menjadi pengajar. Dia juga menulis puluhan buku dan melatih menulis, mendirikan rumah baca, serta mendampingi anak-anak pekerja migran Indonesia yang terjebak problem sosial.
Di dalam laptop itu, ada perselingkuhan, dendam, dan cinta. Ada pula kisah seorang pelajar SMP di Ponorogo yang terjerumus ke pergaulan bebas.
“Sekitar 300 cerpen saya tersimpan di sini,” kata Sutejo, sang pemilik laptop, seraya menunjukkan folder bernama Karya kepada Jawa Pos.
Semuanya merupakan hasil pergulatan panjang ketua STKIP PGRI Ponorogo, Jawa Timur, itu menjadi pendamping sosial, terutama bagi anak-anak pekerja migran Indonesia (PMI).
Sekitar 90 persen karya yang menunggu untuk dibukukan tersebut, sebutnya, adalah ceita nyata yang dia dengar langsung dari yang mengalami.
Sejak kuliah di IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang), pria 54 tahun itu merenyut dengan dunia kepenulisan. Perjalanan hidup membawanya menjadi pengajar di dunia pendidikan, dunia tempatnya bersirobok dengan beragam kisah seputar para PMI dan keluarga mereka.
Ponorogo merupakan salah satu lumbung PMI di Jawa Timur, terutama dari kalangan perempuan. Bahkan pernah menjadi penyuplai terbesar.
Bekerja sebagai pekerja migran di berbagai negara Asia dianggap sebagai jalan terbaik keluar dari kesulitan hidup. Meski, tak sedikit yang kemudian menimbulkan efek sosial pelik.
”Lebih dari 50 persen anak TKI (tenaga kerja Indonesia, penyebutan lain untuk PMI, Red) di Ponorogo memerlukan penanganan. Selain motivasi, mereka memerlukan pendampingan,” ujar Sutejo.
”Lebih dari 50 persen anak TKI (tenaga kerja Indonesia, penyebutan lain untuk PMI, Red) di Ponorogo memerlukan penanganan. Selain motivasi, mereka memerlukan pendampingan,” ujar Sutejo.
Sebagian PMI yang merasa mapan enggan pulang kampung. ”Perceraian akhirnya menjadi pilihan yang merugikan anak-anak. Mereka (anak-anak PMI) giliran balas dendam dengan mabuk-mabukan dan pergaulan bebas,” ungkap Sutejo yang dua kali diundang ke Istana Presiden pada era B.J. Habibie dan Megawati Soekarnoputri berkat prestasinya di bidang kepenulisan.
Suami Siti Kutsijah itu mengungkapkan, sebagian anak PMI yang mengalami problem sosial tak menghilang begitu saja. Ada banyak yang saat ini berstatus mahasiswa dan belajar di kampusnya yang terus dia pantau dan dampingi.
Sudah sekitar 150 orang yang telah didampingi Sutejo. Tak semuanya anak-anak PMI, ada pula yang berstatus guru dan dosen. Dan, di luar persoalan cinta, perselingkuhan, serta pergaulan, tak sedikit juga yang bertanya soal kepenulisan.
Khusus anak-anak PMI yang ayah ibunya telah berpisah, dia mengakui tak mudah melakukan pendampingan. Nasihat tak akan cukup. Butuh sentuhan yang jauh lebih mendalam dan personal agar mereka bisa bangkit.
”Pendampingan biasanya tidak hanya saya lakukan di kampus, tapi juga saya lakukan di warung kopi. Kalau masih anak-anak, saya juga akan berusaha mendekati orang tuanya,” jelas Sutejo yang tahun depan menerbitkan buku ke-24-nya.
Tanpa menyebut nama, bapak tiga anak itu mengungkap salah satu contoh mahasiswinya yang kecanduan seks sejak kecil. ”Saya selalu meneteskan air mata saat melihat perjuangannya untuk bisa keluar dari kungkungan kebiasaannya sejak kecil itu,” ungkap Sutejo.
Ada pula yang berniat bunuh diri. Sutejo terus mengawani sampai si anak sampai benar-benar sadar bahwa niatannya tersebut tak sepatutnya dilakukan.
*
Menulis datang kepada Sutejo melalui perantaraan ”dendam” pada kemiskinan. Lahir dari keluarga yang sulit memenuhi kebutuhan dasar, kakek satu cucu itu langsung melampiaskan ”kesumatnya” dengan rutin membeli buku begitu sudah punya penghasilan sendiri.
”Dari membaca, saya sadar kenapa harus menulis. Ini adalah upaya untuk memuaskan diri,” jelasnya.
Saat kuliah, doktor lulusan Universitas Negeri Surabaya itu harus bekerja keras untuk membiayai kuliah. Penasihat PW ISNU (Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama) Jawa Timur tersebut sempat berjualan tas kresek ketika berstatus mahasiswa.
Dia adalah pelari maraton dalam rute kesulitan yang panjang. Kelak, latar belakang yang rudin itu pula yang menggerakkannya untuk mendampingi anak-anak PMI. Dia merasa sepenanggungan dengan mereka.
Stamina tinggi Sutejo untuk bertarung melawan kepelikan tak hanya mengantarkannya pada gelar sarjana sampai strata doktoral, tetapi juga mengasahnya sebagai penulis.
Dia tercatat sudah 14 kali memenangi lomba kepenulisan di tingkat nasional. Cerpen Jatil Suminten, misalnya, keluar menjadi juara pada lomba cerpen Depdiknas (sekarang Kemendikbudristek) pada 2001.
Membaca dan menulis adalah kendaraan dengan bahan bakarnya. Seiring dengan proses kepenulisannya, Sutejo kini juga sudah mengoleksi lebih dari 40 ribu buku. Bukan sebatas pada karya sastra, tetapi juga jenis lainnya seperti filsafat, politik, pendidikan, dan keagamaan.
Buku-buku itu disimpan rapi di tiga rumah baca miliknya yang berdekatan dengan kediaman pribadinya di Ponorogo. Ada enam anak asuhnya yang dia biayai kuliahnya yang bergantian menjaga perpustakaan yang buka setiap hari itu.
Tanpa kenal lelah, Sutejo yang pernah menolak ditetapkan sebagai guru berprestasi karena kecewa dengan pelayanan dinas pendidikan mengajak anak-anak muda rajin membaca. Tak terkecuali anak-anak PMI. Juga anak-anak putus sekolah.
Sejak awal tahun lalu, dia merancang program Sekolah Literasi Gratis (SLG). Program tersebut digarap bersama beberapa koleganya di STKIP PGRI Ponorogo.
Setiap dua minggu, mereka mengundang penulis yang telah lama malang melintang di kampus STKIP atau perpustakaan yang didirikan Sutejo. Siapa pun bisa jadi peserta. Termasuk warga luar Ponorogo.
Sejumlah penulis beken pernah mengisi kegiatan yang diadakan Sutejo. Di antaranya, Maman Mahayana, Djoko Saryono, Yuwono Sudikan, Tengsoe Tjahjono, Bagus Putu Parto, Beni Setia, Mashuri, J. Sumardianta, dan Sujiwo Tejo. ”Saya senang menghadirkan mereka (penulis) di hadapan anak-anak. Sebab, hakikat belajar sebenarnya ya niteni karo nerokne,” ungkap Sutejo.
Fans klub Manchester United itu bersyukur karena peserta SLG Ponorogo terus bertambah. Mereka tak asal ikut-ikutan. Sebagian karya mereka telah dimuat di media massa. Sebagian juga diterbitkan menjadi buku.
”Banyak anak TKI yang sudah merasakan pahit getir kehidupan. Itu modal menulis yang besar,” ungkap Sutejo seolah menceritakan ulang rute kepenulisannya dulu. []
Salinan feature Jawa Pos edisi Senin 20 Desember 2021, Pendampingan Bukan Cuma di Kampus, di Warung Kopi Juga.