Banaran dan Monumen Fenomena Alam
Teriring awan jernih di bawah langit Desa Banaran, matahari mulai meninggi. Tepat pukul 10.00 WIB, rombongan mahasiswa yang tergabung sebagai peserta KKNT STKIP PGRI Ponorogo berjalan menuju Dusun Tangkil, Minggu (29/1). Sebuah wilayah di Desa Banaran yang memiliki cerita misteri tanah bergerak.
Perjalanan dimulai dari SD Negeri Banaran menuju sebuah monumen longsor. Fenomena alam yang terjadi pada 1 April 2017 lalu didirikan sebuah monumen sebagai penanda. Begitu menjajaki lokasi tersebut, bekas longsoran lima tahun lalu masih tampak. Begitu pula, ingatan tentang longsor masih sering bergelayutan di benak warga desa Banaran.
“Masih merasa sedih saat fenomena itu datang secara tiba-tiba. Ketika melihat bekas longsoran, sayatan luka seolah terkorek. Ingatan itu terpanggil ulang,” ungkap salah seorang lelaki di sebuah lahan pertanian.
Perjalanan menuju titik lokasi monumen tidak begitu jauh. Cukup 15 menit perjalanan rombongan KKNT Desa Banaran tiba. Pemandangan mengerikan terlihat jelas dan nyata dari sebelah Barat menuju titik lokasi. Mereka melihat tebing bekas longsoran setinggi 200 meter. Begitu pula, beberapa gundukan tanah, jalanan, dan lahan warga yang di situ merupakan bekas tanah longsoran. Berdasarkan informasi, dari Kamituwo Gondangsari, daerah itu dulunya pusat pertanian warga. Tetumbuhan membentang bak permadani hijau. Tumbuhan tumbuh subur di hamparan yang diperkirakan seluas lapangan sepak bola.
“Dua kilometer lokasi monumen itu dari perumahan warga. Kami menempuh jalur bawah, jalanan rabatan. Kemudian, tiba di titik lokasi jalanan sudah berupa makadaman,” cerita Elysa Tri Nur Wayayanti penuh ekspresif.
Mahasiswa Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini itu baru kali pertama melihat secara langsung bekas longsoran di Desa Banaran. Saat kejadian tersiar, pihaknya hanya memantau dari tulisan-tulisan yang ada di media sosial. Terbayang sudah, fenomena alam itu sangat mengerikan seperti animasi-animasi yang ditayangkan di media sosial.
Bayangan serupa, juga terjadi pada Aidah Luthfia Nissa’ dan Alfi Khoirul Baqiyah. Dua mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2019 itu sangat terkejut saat mereka menapaki tanah yang merupakan tempat kejadian perkara (TKP) longsoran.
“Tanah ini tanah longsoran sampai sebelah Utara sana. Dulu tanah ini perumahan warga. Makanya dibangunlah monumen untuk mengenang desa dan warga korban longsoran,” tutur salah seorang petani yang saat itu sedang merumput.
Adapun monumen berukuran 4 x 3 meter bentuk persegi ini tertulis nama-nama korban meninggal. Di sekitaran monumen itu, biasanya masyarakat menabur bunga. Cerita laki-laki petani itu, tepat pukul 08.00 WIB gemuruh dari atas tercipta dari gerak tanah ke bawah. Fenomena alam itu menyebabkan 28 orang meninggal dunia. Faktor yang tidak diketahui secara pasti penyebabnya. Hanya saja sebelum kejadian, hujan terus-menerus mengguyur desa.
“Banaran bukan lahan kosong. Banaran wilayah yang hijau, subur. Namun, bencana sering bercerita lain,” tuturnya sesekali memandangi daerah bekas longsoran.
Bayangan lima tahun, menjadi peringatan bagi lelaki itu dan warga sekitar. Ketika hujan berhari-hari melanda, warga waspada mencari tempat aman. Hal itu disinyalir untuk keamanan apabila berulang kejadian serupa.
Kini, pasca lima tahun bencana Banaran, masyarakat kembali beraktivitas. Warga yang memiliki aset tanah di sekitaran TKP menjadikan lahan sebagai ladang untuk ditanami jahe, kunyit, singkong, jagung dan kini mencoba untuk ditanami Porang. Terlihat dari kejauhan beberapa petani sedang menggarap lahan tanah. Mereka memperbaiki perekonomian lewat bercocok tanam.
“Sebagian tumbuhan untuk makan ternak kami, Mas,” ungkap petani tersebut,
Setelah berlama-lama di bangunan monumen Banaran, Dwi Retno Liani dan Desi Sriningsih beralih tempat. Mereka penarasan melihat anak-anak sungai, yang dulunya hanya satu sungai. Kini, ketiga anak sungai itu di hadapan mereka. Kejernihan airnya membuat mereka puas menikmati kesegarannya. Mereka pun bergegas mengambil setangkup air, kemudian dibasuhlah pada area wajah.
“Seperti iklan air minum, ada manis-manisnya,” gurau Dwi.
Usai berkunjung dan menilik cerita Banaran, rombongan KKNT itu kembali ke monumen. Mereka melakukan ritual doa bersama sambil menabur bunga. “Alhamdulillah kita berada di tempat ini dan dapat mendoakan semua korban bencana longsor,” ungkap Pitrias Rahayu berkaca-kaca.
Pihaknya bersyukur mendapat kesempatan berdoa di TKP dan melihat bekas fenomena alam itu secara langsung. Tuntas di monumen Banaran, rombongan kembali ke posko bersamaan matahari tepat di atas kepala. Mereka pulang membawa segudang cerita di balik tanah Banaran dan monumen sebagai penanda bencana di tahun 2017 silam.
Pewarta/ Adi Santosa
Editor/ Suci Ayu Latifah