Cerita Mahasiswa KKNT Seharian Menyusuri Banaran
Surya tidak lagi malu, seperti hari Kamis yang mendung. Jumat (28/1), surya mengantarkan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Terpadu (KKNT) menyusuri pedesaan di lingkup lingkungan Banaran. Setelah lima hari berada di Desa Banaran, mereka mahasiswa kelompok 2 yang dipimpin Aditya Fathurohman seharian melakukan petualangan antar dusun.
Adi Santosa dan Faza Nahrul Ulum, keliling Dusun Tangkil. Dusun ini terletak di ujung Timur Banaran. Setelah menempuh jarak sekitar 1 kilometer dari posko, kedua mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ini, tiba di Dusun Tangkil. Cukup keliling menikmati suasana pedesaan, mereka terhenti si sebuah embung buatan Pemerintah Desa Banaran. Embung tersebut oleh masyarakat sekitar digunakan sebagai irigasi sawah.
“Airnya jernih kebiruan. Seolah-olah pantulan langit menembus hingga kedalaman air dua meter,” cerita Faza, mahasiswa asal Trenggalek penuh ekspresif.
Menikmati kemolekan alam Banaran, tidak sekadar menyantap pedesaan yang dikelilingi pepohonan. Banaran, cukup menantang melalui kondisi jalannya belum dipoles aspal. Sebagaimana perjalanan menuju kediaman salah seorang guru mengaji di Dusun Gondangsari. Perjalanan menanjak hampir 60 derajat, mereka lewati. Mereka memakan waktu sekitar 15 menit.
“Tidak cukup jauh, sebenarnya. Hanya saja medan ekstrem membuat lama di perjalanan,” cerita Faza lagi.
Tepat pukul 02.40 WIB, Adi dan Faza ditambah sembilan mahasiswa KKNT lainnya tiba di rumah Bandi. Laki-laki paruh baya ini menyambut mesra. Obrolan dibuka dari cerita tentang Taman Pendidikan Quran (TPQ) di Dusun Gondangsari, hingga pada profil lingkungan sekitar yang perawan. “Ada sekitar 60-an santri yang belajar mengaji di sini. Santri-santri itu tidak saja dari desa sini. Beberapa dari desa sebelah,” kata tokoh agama itu.
Lelaki itu mengungkapkan, di lingkungannya tidak banyak ditinggali penduduk. Kurang lebih 35-an rumah. Sesuatu yang membuat ramai TPQ ini lantaran kedatangan anak-anak dari Desa Wagir. “TPQ Darul Mutaqin mengirimkan santrinya kemari,” tambahnya.
Usai bercakap-cakap dan berpamitan, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Dusun Soro. Perjalanan menuju ke sana tidak kalah menantang. Berhektar-hektar persawahan membentang, seolah-olah tidak ada titik habisnya. Kemudian, lembah dan sungai mereka takhlukkan demi sampai di dusun sebelah selatan Banaran. Dusun Soro merupakan perbatasan Banaran dan Wagir Kidul.
Perjalanan santai memakan 25 menit, akhirnya tiba di dusun Soro. Mereka terhenti di salah seorang rumah Kepala Dusun atau Kamituwo, Marjianto. Usai mengatur napas, dari tempat parkir, tokoh masyarakat itu terlihat sedang memperbaiki sound system milik pribadi. Tangannya bergerak lincah. Dihadapan laki-laki berkepala lima ini, mereka memulai perbincangan tentang literasi digital. Program ini akan dihelat pada minggu ke-2.
“Menarik. Silakan dikomunikasikan dengan pemuda-pemudi desa. Tentunya, program ini disenangi oleh generasi muda,” sambut Marjianto semangat. Pihaknya yakin, adanya program literasi digital dapat menambah ilmu dan pengetahuan tentang media sosial. Bagaimana memanfaatkannya, sehingga menghasilkan uang seperti cerita-cerita orang di televisi dan media sosial.
Perbincangan, sekaligus diskusi usai. Mereka melanjutkan perjalanan menuju posko. Rintangan dan tantangan membuat dada berdegup kencang. Setelah menghabisi jalan menanjak, mereka menelan jalanan menurun tajam—menukik membuat ketir-ketir. “Ayo kita coba pelan-pelan!” ajak Fanda Rizma Rochmatun Nikmah, berani. Yang kemudian, mahasiswa lain mengekor. Mereka menjaga jarak guna mengontrol rem.
Perjalanan menyusuri Desa Banaran usai. Banyak pesona yang mereka tangkap. Kecantikan alam yang murni, pemandangan hayati yang asri. Perjalanan tidak sia-sia. Lelah terbayar sudah oleh kealamian Desa Banaran. Desa yang cukup memacu adrenalin manusia.
Pewarta/ Elisya Nur Wijayanti
Editor/ Suci Ayu Latifah