Antara Senang dan Sedih, Enggar Rimayanti Wujudkan Harapan Keluarga
Jauh dari orang tua dirasakan kali pertama Enggar Rimayanti. Semenjak dirinya mengajar di Madrasah Tsanawiyah Negeri 8 Tulungagung rasa rindu terhadap keluarga dan tanah Ponorogo sesekali menggebu. Padatnya jadwal mengajar membuatnya jarang pulang.
Air mata adalah emosi kejiwaan paling jujur. Enggar, tepatnya ‘Guru Enggar’ mesti menunda pulang kampung karena tugas mengajar. Tahun 2018, guru lajang kelahiran 8 Agustus ini resmi lolos CPNS Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur. Surat Keputusan (SK) mengajar digenggamnya setelah selesai tes dan pemberkasan di Kanwil Jawa Timur. Status PNS didapati setelah bersaing dengan 1.054 pendaftar.
“Seketika menangis saat menerima SK mengajar karena sejak awal dorongan PNS dari ayah. Begitu SK saya terima langsung lihat bagian penempatan. Keesokan harinya, saya meluncur mencari sekolah madrasah tersebut,” cerita Enggar mengenang momen-momen saat menjadi calon guru PNS.
Saat dihubungi via WhatsApp pada awal bulan Mei, mahasiswa lulusan STKIP PGRI Ponorogo itu baru selesai mengajar. Dirinya usai mengajar Bahasa Indonesia di kelas VII. Mata pelajaran yang linier dengan lulusan sarjana membuatnya senang bertemu dengan murid-murid. Terlebih, kepribadiannya yang ceria, pandai bergaul, dan energik mudah mengakrabi pelajar. Tak perlu lama adaptasi, Enggar telah mengubah persepsi mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang menyenangkan.
“Terkait praktik di kelas, saya memanfaatkan ilmu-ilmu mengajar yang diajarkan dosen-dosen di kampus literasi. Teknik-teknik mengajar saya praktikkan di kelas sampai menemukan teknik yang tepat saat berhadapan dengan murid. Gool setting mengajar ya bagaimana materi yang saya sampaikan bisa diterima dan dipahami murid. Di kelas penting membawakan materi dengan fun,” ungkap gadis anak tunggal dari pasangan Parlan dan Supirah.
Lima tahun mengajar di MTs, Enggar menikmati betul harinya-harinya di daerah ujung Tulungagung, atau perbatasan Blitar. Mengaku kali pertama merantau, dirinya kini merasa Tulungagung menjadi kota kedua saksi hidupnya menjadi guru. Sebelumnya, gadis Dusun Genengan Desa Ngabar Kecamatan Siman Ponorogo ini pernah mengajar di Madrasah Aliyah daerah Magetan. Saat itu dirinya menjadi guru mata pelajaran Matematika. Diceritakan melalui telepon, semasa kuliah semester V, dirinya menerima tawaran mengajar di sekolah tersebut. Tawaran itu ia terima dan mengajar sekitar dua tahun.
“Wara-wiri pasti. Pagi mengajar, sore kuliah, pulang kuliah masih harus mendampingi anak-anak les di rumah. Saya merasa hari-hari padat aktivitas. Sangat lelah. Saya tidak mengira bisa menuntaskan itu mengatur waktu antara mengajar dan belajar. Syukur tidak ada yang terkorbankan, dan bisa lulus sarjana tepat waktu,” ungkap mantan anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Mapala, Pramuka, dan Teater itu.
Kini, Enggar berhembus lega. Pasalnya harapan orang tua berstatus PNS telah ia miliki. Selebihnya, mendidik generasi bangsa adalah tugas mulia baginya. Enggar meyakini jalan takdir yang meski diterima sekalipun pahit, asam, dan getir. Terlepas dari itu, dirinya bisa lebih mandiri dan mengoptimalkan potensi. Karena itu, dirinya bersyukur STKIP PGRI Ponorogo telah mengantarkannya menjadi guru profesional. Semua dosen di kampus jalan Ukel Kertosari Babadan adalah idolanya. Selama bergulat di dunia pendidikan, gadis berperawakan tinggi ini menerapkan hal-hal yang disampaikan dosennya saat di bangku kuliah.
“Di kelas saya sering mengajak murid diskusi. Hal ini seperti yang dilakukan dosen-dosen di STKIP karena dalam ajang diskusi cakrawala pengetahuan lebih terbuka luas. Murid bisa akrab menerima dan memberi argumentasi terhadap hal-hal yang sedang dibahas.”
Pewarta: Suci Ayu Latifah